DONGENG DAN
REFLEKSI SOSIO-CULTURE MASYARAKAT: Tinjauan Relevansi Nilai Moral Dongeng
dengan Kehidupan Masa Kini
1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia menimbulkan berbagai dampak positif maupun negatif,
sehingga menyebabkan perubahan sosial secara menyeluruh. Perubahan itu terutama
terletak pada tata nilai dan pandangan hidup masyarakat terhadap norma-norma
kehidupan (Soeparno, 1990: 3). Sebagai contoh, pada saat ini telah banyak media
elektronika maupun cetak bersaing menyajikan berbagai tayangan vulgar bahkan
melenceng dari norma-norma dan ajaran agama, seperti beredarnya gambar maupun
video porno melalui media internet, majalah, dan handphone. Fenomena ini
menjadi salah satu penyebab terjadinya dekadensi (kemerosotan) moral yang
memprihatinkan terutama pada kalangan generasi muda dan masyarakat umum. Wujud
dari dekadensi moral tersebut berupa merebaknya minuman keras, seks bebas (freesex),
pencabulan, perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, peredaran dan
pemakaian narkoba. Bahkan lebih parah lagi adalah para pemimpin bangsa kita
yang semakin hari terkesan mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya,
berpesta-pora di atas penderitaan rakyat.
Keadaan semacam itu perlu diperhatikan
dan diantisipasi agar tidak semakin membuat carut-marutnya bangsa ini.
Nilai-nilai moral perlu ditanamkan dan diaplikasikan, baik dalam kehidupan
individu maupun dalam bermasyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut
sebaiknya diajarkan sedini mungkin, yaitu sejak usia anak-anak, mulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan penanaman pendidikan moral
sejak dini tersebut, diharapkan pada saat dewasa, anak akan mampu menyesuaikan
dirinya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Ada berbagai cara untuk menanamkan
nilai moral, salah satunya adalah melalui media karya sastra. Karya sastra
merupakan media untuk mengungkapkan pikiran-pikiran pengarang. Karya sastra
bersifat imajinatif, estetik, dan menyenangkan pembaca. Hal ini sejalan dengan
pendapat Damono (1978:1), bahwa karya sastra diciptakan pengarang atau
sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Karya
sastra memiliki manfaat bagi pembacanya. Horace (dalam terjemahan Melani
Budianta, 1995: 25) menyatakan bahwa karya sastra berfungsi sebagai dulce dan
utile, yang berarti indah dan bermanfaat. Keindahan yang ada dalam sastra
dapat menyenangkan pembacanya, menyenangkan dalam arti dapat memberikan hiburan
bagi pembaca atau penikmatnya dari segi bahasanya, cara penyajiannya, jalan
ceritanya, penyelesaian persoalannya, dan lain-lain. Bermanfaat dalam arti
karya sastra dapat diambil manfaat pengetahuan dan tidak terlepas dari
ajaran-ajaran moralnya. Karya sastra juga dapat digunakan sebagai media dalam
pendidikan, salah satunya, yaitu media penyampaian pendidikan moral kepada anak
atau peserta didik melalui dongeng. Dengan media karya sastra berupa dongeng
tersebut, diharapkan siswa akan lebih mudah memahami nilai-nilai moral yang
disampaikan melalui alur ceritanya.
2. Dongeng dan Nilai Moral
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak
benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh
(Depdikbud, 1990: 212). Dongeng merupakan bagian dari folklor yang tergolong
dalam cerita prosa rakyat. Adapun cerita prosa rakyat tersebut dapat dibagi
menjadi tiga golongan besar, yaitu : (1) mite (myth), (2) legenda (legend),
dan (3) dongeng (folktale). Sebagai sarana pembeda, pengertian
mite, legenda, dan dongeng dijelaskan sebagai berikut:
Mite adalah cerita prosa rakyat yang
dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Mite
tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain,
atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa
lampau. Sedangkan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip
dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.
Berlainan dengan mite, legenda tokohnya manusia, walaupun ada kalanya mempunyai
sifat-sifat luar biasa, dan seringkali Juga dibantu makhluk-makhluk ajaib.
Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu
terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya dongeng adalah prosa rakyat yang
tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita, dan dongeng tidak
terikat waktu maupun tempat (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50)
Selanjutnya, Danandjaja (1986: 83)
berpendapat bahwa dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan.
Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang
melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.
Hartoko (1986:34), memberi batasan pada dongeng dari dua sisi sebagai berikut.
Pertama, dongeng yang secara lisan turun-temurun disampaikan kepada masyarakat,
pengarangnya tidak dikenal, di dunia khayalan alam gaib dan nyata jadi satu
saling lebur, tidak ada catatan mengenai tempat dan waktu peristiwa, biasanya
berakhir dengan happy ending, susunan kalimat dan penokohannya sederhana.
Kedua, dongeng kebudayaan artinya ditulis oleh seorang pengarang berbudaya
untuk kalangan berbudaya pula. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka
dapat dirangkum bahwa ciri-ciri dongeng itu adalah (1) menjadi milik bersama
(kolektif) dari kolektif tertentu, (2) bersifat fiktif, imajinatif, dan tidak
benar-benar terjadi, (3) mengandung ajaran moral, (4) sebagai bagian dari
folklor lisan dan diwariskan secara turun-temurun, (5) tidak terikat oleh waktu
dan tempat, dan (6) bahasanya sederhana.
Sastra dongeng isinya banyak
menampilkan khayalan, sehingga lebih disukai, didengar, dan dibaca oleh
anak-anak (Luxemburg dkk, 1992: 1). Dari pengertian tersebut menunjukkan
bahwa dongeng lebih dominan digemari anak-anak. Dengan media dongeng,
dimungkinkan anak akan lebih mudah menangkap dan memahami suatu pendidikan
moral. Dongeng biasanya disampaikan orang tua kepada anak atau buah hatinya,
selain itu dongeng juga dapat digunakan seorang pendidik sebagai media
pengajaran di dunia pendidikan.
Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal
yang penting dan berguna bagi kemanusiaan (Depdikbud, 1990: 615). Menurut
Mardiatmaja (1986: 55), nilai menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal
yang baik. Nilai-nilai dapat saling berkaitan membentuk suatu sistem dan antara
satu dengan yang lain koheren dan mempengaruhi segi kehidupan manusia. Nilai
bersifat mengarahkan seseorang kepada hal-hal yang bersifat positif. Contohnya,
mencuri merupakan suatu perbuatan yang merugikan orang lain. Oleh karena itu,
manusia dilarang untuk melakukan perbuatan tersebut karena adanya nilai
kejahatan yang terkandung di dalamnya.
Nilai-nilai itu telah ada dalam diri
setiap manusia (Mardiatmaja, 1986: 20). Dalam proses kehidupan, nilai-nilai itu
disadari, diidentifikasi, diserap, dan dimiliki untuk kemudian dikembangkan dan
diamalkan. Dalam proses pendidikan, yang terjadi adalah pendidik bukan
menciptakan, memberikan atau mengajarkan nilai-nilai pada peserta didik. Akan
tetapi, pendidik membantu peserta didik agar dapat menyadari adanya nilai-nilai
itu, mengakui, mendalami, memahami hakikat, dan kaitannya antara yang satu
dengan yang lainnya serta peranan dan kegunaannya dalam kehidupan. Hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sikap seseorang terhadap sesuatu hal yang
baik dan buruk yang telah ada dalam diri manusia, kemudian disadari,
diidentifikasi, diserap, dan dikembangkan melalui proses belajar demi
peningkatan kualitas kemanusiaan.
Moral adalah ajaran tentang baik-buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti;
dan susila (Depdikbud, 1990: 592). Menurut Darusuprapta (1990b: 1) ajaran moral
adalah ajaran yang berkaitan dengan perbuatan dan kelakuan yang pada hakikatnya
merupakan pencerminan akhlak dan budi pekerti. Pendapat tersebut sesuai dengan
pendapat Edgel dan Magnis (dalam Darusuprapta, 1990b: 1) yang menyatakan bahwa
ajaran moral merupakan kaidah atau aturan yang menentukan hal-hal yang dianggap
baik atau buruk, serta menerapkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh manusia
terhadap manusia lain. Dengan demikian, moral adalah aturan yang disepakati
secara umum mengenai perbuatan serta semua hal yang dianggap baik dan buruk
termasuk dalam hubungan dengan manusia lain.
3. Relevansi Nilai Moral Dongeng dengan
Kehidupan Masa Kini
Pendidikan agama merupakan pondasi dari
pendidikan-pendidikan moral yang lain. Pendidikan moral percaya atas kekuasaan
Tuhan perlu ditanamkan kepada anak-anak kita sedini mungkin. Dengan
pengenalan tentang kekuasaan Tuhan diharapkan anak-anak akan belajar mensyukuri
nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan dan lebih mudah diajak dalam beribadah,
meninggalkan larangan-Nya, serta menjalankan perintah-perintah-Nya. Sebagai
gambaran misalnya anak diberikan materi dongeng yang di dalamnya mengandung
nasihat tentang kekuasaan Tuhan. Oleh orang tua maupun guru, materi kekuasaan
Tuhan tersebut dikembangkan sampai dengan adanya hari kiamat dan siksa kubur.
Generasi yang bermoral merupakan investasi bangsa yang senantiasa mengharapkan
kedamaian. Kondisi bangsa yang semakin tidak menentu seperti sekarang ini
dipengaruhi oleh pemegang pemerintahan yang kurang memahami makna ke-Tuhanan
dalam dirinya, sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
kedudukan dan jabatan.
Nilai pendidikan moral percaya atas
takdir Tuhan perlu ditanamkan kepada anak-anak atau peserta didik, karena itu
merupakan salah satu upaya penyadaran diri, bahwa Tuhan adalah Sang Pengatur
dan manusia tinggal menjalankan apa yang sudah ditentukan-Nya. Dengan mempunyai
sikap percaya kepada takdir Tuhan, manusia akan lebih tegar dalam menghadapi
cobaan hidup. Apabila mendapat cobaan akan selalu dihadapi dengan sabar dan
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Hal itu untuk mengimbangi seperti banyak
terjadinya bencana alam, banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya. Berbagai cobaan
tersebut jika tanpa disikapi dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, maka akan
mengakibatkan suatu hal yang tidak baik, seperti kekerasan dan berbagai
tindakan kriminal.
Dongeng dengan tema kemanusiaan dan
kemasyarakatan merupakan refleksi sikap hidup manusia dan lingkungannya.
Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, oleh karena itu
sesama manusia harus saling tolong-menolong, mau balas budi, tidak saling
memfitnah, dan saling menghormati dalam hidup bermasyarakat. Hubungan sosial antar
individu perlu diperhatikan agar tidak menjadi pemicu kriminalitas atau
kejahatan. Saat ini banyak terjadi kasus kriminal yang pelaku dan
korbannya masih ada hubungan kerabat. Hal itu merupakan bukti retaknya hubungan
antar sesama. Sebaiknya, untuk menyikapi persaingan hidup yang semakin berat
hendaklah manusia membina kerukunan antar sesama dengan sebaik-baiknya. Salah
satu upaya membina kerukunan antar sesama yaitu dengan tolong-menolong apabila
mendapatkan kesulitan.
Sikap menghormati orang lain perlu
ditanamkan sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga. Menurunnya sikap yang
kurang bisa menghormati orang lain, baik di lingkungan pendidikan maupun dalam
masyarakat dapat dilihat dari cara masyarakat berbicara, bersikap, dan
berpakaian. Dalam berbicara, mereka kadang menggunakan bahasa yang kurang sopan
dan sikap yang tidak pas. Dalam berpakaian, kadang tidak memperhatikan pantas
atau tidaknya, dalam bahasa Jawa disebut ora êmpan papan Sikap-sikap
seperti itu perlu diperhatikan mulai di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Tema kerukuran sering juga diusung
dalam dongeng. Kerukunan sebaiknya juga dibina mulai dalam sebuah keluarga
dengan saling menyayangi antar anggota keluarga, yaitu suami dengan istri,
orang tua dengan anak, dan anak dengan anak. Dengan saling menyayangi, hubungan
antar anggota keluarga akan selalu harmonis. Banyaknya anak-anak yang berani
membantah perintah orang tuanya merupakan hal yang bertentangan dengan agama
dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Seorang anak seharusnya berbakti
kepada kedua orang tuanya, yaitu dengan mematuhi perintahnya, selama perintah
tersebut tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain
menghormati orang tua kandung, seseorang juga harus menghormati mertuanya,
sebagai orang tua yang kedua.
Tema kasih sayang juga sering
dimunculkan dalam sebuah dongeng. Kasih sayang dalam keluarga dan bermasyarakat
sangatlah penting. Pada jaman yang serba canggih ini banyak orang tua yang
kurang perhatian dan kasih sayang kepada anaknya. Mereka telah disibukkan
dengan pekerjaan untuk mencari nafkah. Anak hanya tercukupi dari segi materi
tetapi tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang
tuanya. Dampak dari hal tersebut akhirnya anak dapat terjerumus ke dalam
hal-hal yang tidak baik, yang dilarang oleh agama dan hukum. Contohnya,
pergaulan bebas, minum-minuman keras, penyalahgunaan narkoba, pornografi dan
lain-lain.
Selanjutnya, agar kasih sayang terhadap
anak selalu terjaga dengan baik, hubungan kedua orang tua juga harus terjaga
dengan baik pula. Dalam rumah tangga, apabila hubungan suami dan istri kurang
harmonis, maka akan mempengaruhi kondisi kejiwaan anak. Anak merasa tidak di
perhatikan oleh kedua orang tuanya, mereka merasa tidak betah dirumah, dan
akhirnya mencari dunia baru. Hubungan suami istri dapat terjaga dengan baik
apabila dari keduanya bisa saling mengerti dan melaksanakan kewajibannya dengan
baik. Suami yang baik adalah suami yang setia, dapat menafkahi dan melindungi
istri dan anak-anaknya. Istri yang baik adalah istri yang setia, dan berbakti
kepada keluarganya.
Munculnya tema dongeng untuk selalu
berbuat baik merupakan hal mendasar dalam kehidupan manusia. Pada masa ini,
persaingan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup semakin berat. Akan tetapi,
seberat apapun hidup, kerukunan harus tetap dijaga dan jangan saling memfitnah
antar sesama, karena fitnah akan merugikan orang lain. Ada ungkapan yang
menyatakan “memfitnah lebih kejam daripada membunuh’. Adanya fitnah di tengah
masyarakat akan mengakibatkan retaknya kerukunan dalam masyarakat.
Dongeng yang mengisahkan sikap pantang
menyerah dan tanggungjawab, mengajarkan manusia untuk selalu berusaha dan
berani bertanggungjawab atas usaha yang dilakukannya. Nasib manusia di dunia
ini memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi Tuhan tidak akan merubah nasib
seseorang tanpa dia berusaha merubahnya. Artinya, diri sendirilah yang
menentukan nasib dalam menjalani hidup ini. Untuk itu pada saat ini diperlukan
suatu sikap dalam diri manusia agar manusia itu tidak kehilangan
kepribadiannya. Manusia dituntut agar tidak mudah putus asa, hati-hati dalam
bertindak, bertanggung jawab, sadar dan bertaubat apabila melakukan kesalahan,
dan rendah hati. Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, manusia harus
pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Dengan sikap seperti itu,
kesempatan memperoleh sesuatu yang diinginkan akan lebih besar. Selain harus
berhati-hati dalam bertindak, manusia hendaknya berjiwa ksatria, yaitu berani
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah diperbuatnya. Dengan sikap
bertanggung jawab, manusia akan dihormati dan dipercaya oleh orang lain. Di
Indonesia banyak terjadi korupsi di kalangan pejabat. Hal itu mencerminkan
bahwa pelaku korupsi tersebut tidak bisa bertanggung jawab terhadap
pekerjaannya, dan tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya.
Selanjutnya, selain berhati-hati dalam
bertindak dan bertanggung jawab, dalam menjalani hidup manusia hendaknya sadar
apabila melakukan kesalahan, bertaubat, dan tidak mengulangi lagi
kesalahan tersebut. Sikap menyadari kesalahan dan bertaubat akan membawa
manusia menuju jalan yang lebih baik. Beberapa sikap seperti tidak mudah putus
asa, berhati-hati, bertanggung jawab, dan menyadari kesalahan, akan lebih
sempurna apabila diikuti sikap rendah hati atau tidak sombong. Di jaman yang
serba modern ini banyak sekali orang yang kaya raya dan berpangkat tinggi.
Semua itu tidak akan membawa manfaat yang baik apabila tidak diikuti sikap
rendah hati dan ikhlas beramal kepada orang lain.
Dengan bersikap selalu rendah hati dan
ikhlas berbuat kebaikan, manusia akan mendapatkan kemuliaan dunia akhirat,
yaitu akan dihormati orang lain dan mendapatkan pahala dari keikhlasannya.
Sementara itu ketidakpedulian manusia terhadap alam sekitar, pada saat ini,
dibuktikan dengan banyaknya bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran
hutan, dan lain-lain. Itu semua disebabkan karena ulah manusia yang tidak
bertanggung jawab atau tidak peduli dengan keseimbangan ekosistem, dengan
menebangi hutan tanpa menggunakan aturan. Mereka hanya memikirkan materi dan
tidak memikirkan pelestarian alam. Contoh lain, seringkali terjadi banjir di
kota-kota besar yang disebabkan oleh aliran sungai yang tidak lancar dan penuh
dengan sampah. Hal itu terjadi karena kesadaran masyarakat akan kebersihan
lingkungan sangat kurang, mereka hanya mencari praktis dan gampang, tidak
memikirkan akibatnya yang terjadi. Wujud ketidakpedulian yang lain misalnya
ketika mencari ikan menggunakan bom atau racun. Hal itu dapat merusak
ekoksistem laut seperti terumbu karang dan bibit-bibit ikan. Hal tersebut
hanyalah sebagian contoh sikap masyarakat Indonesia yang tidak peduli terhadap
kelestarian lingkungan. Keanekaragaman alam di Indonesia ini seharusnya
dimanfaatkan dengan sebaik-bainya dengan tidak mengesampingkan kelestarian
lingkungannya, sebagai wujud dari kecintaan kita terhadap negara Indonesia.
4. Kesimpulan
Pentingnya penyiapan generasi penerus
bangsa yang lebih matang sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa ini.
Kemajuan yang diimbangi dengan sikap hidup yang matang pula. Kematangan
kepribadian harus dibentuk sejak dini, dan ‘mendongeng’ merupakan salah satu
upaya pembentukan karakter kepribadian terhadap generasi tersebut. Melalui
dongeng, orang tua dapat mentransfer nilai-nilai baik guna membekali anak-anaknya
dalam mengarungi kehidupan ini. Dongeng-dongeng yang disampaikan dapat berupa:
(1) nilai pendidikan moral berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan, ynag
meliputi percaya atas kekuasaan Tuhan, dan percaya atas takdir Tuhan; (2) nilai
pendidikan moral berkaitan hubungan manusia dengan manusia meliputi:
tolong-menolong, menghormati tamu, sayang kepada istri, sayang kepada anak,
sayang kepada saudara, berbakti suami, balas budi, mematuhi perintah atasan dan
berbakti kepada orang tua; (3) nilai pendidikan moral berkaitan hubungan
manusia dengan diri sendiri, meliputi: bertanggung jawab, tidak mudah putus
asa, bersikap berhati-hati, dan menyadari kesalahan; (4) nilai pendidikan moral
berkaitan hubungan manusia dengan alam sekitar, meliputi: menjaga kelestarian
lingkungan dengan menyayangi binatang.
Nilai-nilai pendidikan moral tersebut
masih memiliki relevansi dengan kehidupan saat ini, yaitu setiap manusia
hendaknya mempercayai dan menerima atas semua kehendak-Nya. Hubungan sesama
manusia hendaknya ditekankan untuk saling menghormati dan selalu menjaga
kerukunan dalam masyarakat. Hubungannya dengan diri sendiri, manusia hendaknya
selalu rendah hati, berhati-hati dalam bertindak, tidak mudah menyerah, berani
bertanggung jawab atas perbuatannya dan mau menyadari bila melakukan kesalahan.
Disamping itu, manusia wajib menjaga keseimbangan ekosistem dan menjaga
kelestarian lingkungan.
DAFTAR RUJUKAN
Damono, S.D. 1978. Sosiologi Sastra:
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Danandjaja, James. 1986. Folklor
Indonesia. Jakarta: Pustaka Graffiti.
Darusuprapta.1990. Ajaran Moral
dalam Susastra Suluk. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi
Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.
_________________. 2005. Tradisi
Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hartoko, D. dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu
di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar
Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mardiatmaja, B.S. 1986. Tujuan Dunia
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Padmosoekotjo, S. 1995. Ngèngrèngan
Kasusastraan Djawi I. Yogyakarta: Hien Hoosing.
Subandi. 1999. “Ajaran Moral pada
Dongeng Anak dalam Bahasa Jawa Kumpulan B. Tujosunoro”. Skripsi Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Yogyakarta.
Soeparno. 1990. Rekayasa
Perkembangan Watak dan Moral Bangsa. Jakarta: Purel Mordial.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika
Jawa Sebuah Analisis Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Widayat, Affendy. 2006. Teori
Sastra Jawa. Diktat mata kuliah Teori Sastra Jawa. Pendidikan Bahasa Daerah.
Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Yogyakarta.
Budianta, Melani. 1995. Teori
Kesusastraan. Terjemahan. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar