Laman

Jumat, 13 Desember 2013



DONGENG DAN REFLEKSI SOSIO-CULTURE MASYARAKAT: Tinjauan Relevansi Nilai Moral Dongeng dengan Kehidupan Masa Kini

1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia menimbulkan berbagai dampak positif maupun negatif, sehingga menyebabkan perubahan sosial secara menyeluruh. Perubahan itu terutama terletak pada tata nilai dan pandangan hidup masyarakat terhadap norma-norma kehidupan (Soeparno, 1990: 3). Sebagai contoh, pada saat ini telah banyak media elektronika maupun cetak bersaing menyajikan berbagai tayangan vulgar bahkan melenceng dari norma-norma dan ajaran agama, seperti beredarnya gambar maupun video porno melalui media internet, majalah, dan handphone. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab terjadinya dekadensi (kemerosotan) moral yang memprihatinkan terutama pada kalangan generasi muda dan masyarakat umum. Wujud dari dekadensi moral tersebut berupa merebaknya minuman keras, seks bebas (freesex), pencabulan, perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, peredaran dan pemakaian narkoba. Bahkan lebih parah lagi adalah para pemimpin bangsa kita yang semakin hari terkesan mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya, berpesta-pora di atas penderitaan rakyat.
Keadaan semacam itu perlu diperhatikan dan diantisipasi agar tidak semakin membuat carut-marutnya bangsa ini. Nilai-nilai moral perlu ditanamkan dan diaplikasikan, baik dalam kehidupan individu maupun dalam bermasyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut sebaiknya diajarkan sedini mungkin, yaitu sejak usia anak-anak, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan penanaman pendidikan moral sejak dini tersebut, diharapkan pada saat dewasa, anak akan mampu menyesuaikan dirinya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Ada berbagai cara untuk menanamkan nilai moral, salah satunya adalah melalui media karya sastra. Karya sastra merupakan media untuk mengungkapkan pikiran-pikiran pengarang. Karya sastra bersifat imajinatif, estetik, dan menyenangkan pembaca. Hal ini sejalan dengan pendapat Damono (1978:1), bahwa karya sastra diciptakan pengarang atau sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Karya sastra memiliki manfaat bagi pembacanya. Horace (dalam terjemahan Melani Budianta, 1995: 25) menyatakan bahwa karya sastra berfungsi sebagai dulce dan utile, yang berarti indah dan bermanfaat. Keindahan yang ada dalam sastra dapat menyenangkan pembacanya, menyenangkan dalam arti dapat memberikan hiburan bagi pembaca atau penikmatnya dari segi bahasanya, cara penyajiannya, jalan ceritanya, penyelesaian persoalannya, dan lain-lain. Bermanfaat dalam arti karya sastra dapat diambil manfaat pengetahuan dan tidak terlepas dari ajaran-ajaran moralnya. Karya sastra juga dapat digunakan sebagai media dalam pendidikan, salah satunya, yaitu media penyampaian pendidikan moral kepada anak atau peserta didik melalui dongeng. Dengan media karya sastra berupa dongeng tersebut, diharapkan siswa akan lebih mudah memahami nilai-nilai moral yang disampaikan melalui alur ceritanya.
2. Dongeng dan Nilai Moral
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh (Depdikbud, 1990: 212). Dongeng merupakan bagian dari folklor yang tergolong dalam cerita prosa rakyat. Adapun cerita prosa rakyat tersebut dapat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu : (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Sebagai sarana pembeda,  pengertian mite, legenda, dan dongeng dijelaskan sebagai berikut:
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Mite tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Sedangkan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legenda tokohnya manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali Juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita, dan dongeng tidak terikat waktu maupun tempat (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50)
Selanjutnya, Danandjaja (1986: 83) berpendapat bahwa dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Hartoko (1986:34), memberi batasan pada dongeng dari dua sisi sebagai berikut. Pertama, dongeng yang secara lisan turun-temurun disampaikan kepada masyarakat, pengarangnya tidak dikenal, di dunia khayalan alam gaib dan nyata jadi satu saling lebur, tidak ada catatan mengenai tempat dan waktu peristiwa, biasanya berakhir dengan happy ending, susunan kalimat dan penokohannya sederhana. Kedua, dongeng kebudayaan artinya ditulis oleh seorang pengarang berbudaya untuk kalangan berbudaya pula. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat dirangkum bahwa ciri-ciri dongeng itu adalah (1) menjadi milik bersama (kolektif) dari kolektif tertentu, (2) bersifat fiktif, imajinatif, dan tidak benar-benar terjadi, (3) mengandung ajaran moral, (4) sebagai bagian dari folklor lisan dan diwariskan secara turun-temurun, (5) tidak terikat oleh waktu dan tempat, dan (6) bahasanya sederhana.
Sastra dongeng isinya banyak menampilkan khayalan, sehingga lebih disukai, didengar, dan dibaca oleh anak-anak (Luxemburg dkk, 1992: 1). Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa dongeng lebih dominan digemari anak-anak. Dengan media dongeng, dimungkinkan anak akan lebih mudah menangkap dan memahami suatu pendidikan moral. Dongeng biasanya disampaikan orang tua kepada anak atau buah hatinya, selain itu dongeng juga dapat digunakan seorang pendidik sebagai media pengajaran  di dunia pendidikan.
Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan (Depdikbud, 1990: 615). Menurut Mardiatmaja (1986: 55), nilai menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik. Nilai-nilai dapat saling berkaitan membentuk suatu sistem dan antara satu dengan yang lain koheren dan mempengaruhi segi kehidupan manusia. Nilai bersifat mengarahkan seseorang kepada hal-hal yang bersifat positif. Contohnya, mencuri merupakan suatu perbuatan yang merugikan orang lain. Oleh karena itu, manusia dilarang untuk melakukan perbuatan tersebut karena adanya nilai kejahatan yang terkandung di dalamnya.
Nilai-nilai itu telah ada dalam diri setiap manusia (Mardiatmaja, 1986: 20). Dalam proses kehidupan, nilai-nilai itu disadari, diidentifikasi, diserap, dan dimiliki untuk kemudian dikembangkan dan diamalkan. Dalam proses pendidikan, yang terjadi adalah pendidik bukan menciptakan, memberikan atau mengajarkan nilai-nilai pada peserta didik. Akan tetapi, pendidik membantu peserta didik agar dapat menyadari adanya nilai-nilai itu, mengakui, mendalami, memahami hakikat, dan kaitannya antara yang satu dengan yang lainnya serta peranan dan kegunaannya dalam kehidupan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sikap seseorang terhadap sesuatu hal yang baik dan buruk yang telah ada dalam diri manusia, kemudian disadari, diidentifikasi, diserap, dan dikembangkan melalui proses belajar demi peningkatan kualitas kemanusiaan.
Moral adalah ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; dan susila (Depdikbud, 1990: 592). Menurut Darusuprapta (1990b: 1) ajaran moral adalah ajaran yang berkaitan dengan perbuatan dan kelakuan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak dan budi pekerti. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Edgel dan Magnis (dalam Darusuprapta, 1990b: 1) yang menyatakan bahwa ajaran moral merupakan kaidah atau aturan yang menentukan hal-hal yang dianggap baik atau buruk, serta menerapkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain. Dengan demikian, moral adalah aturan yang disepakati secara umum mengenai perbuatan serta semua hal yang dianggap baik dan buruk termasuk dalam hubungan dengan manusia lain.
3. Relevansi Nilai Moral Dongeng dengan Kehidupan Masa Kini
Pendidikan agama merupakan pondasi dari pendidikan-pendidikan moral yang lain. Pendidikan moral percaya atas kekuasaan Tuhan  perlu ditanamkan kepada anak-anak kita sedini mungkin. Dengan pengenalan tentang kekuasaan Tuhan diharapkan anak-anak akan belajar mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan dan lebih mudah diajak dalam beribadah, meninggalkan larangan-Nya, serta menjalankan perintah-perintah-Nya. Sebagai gambaran misalnya anak diberikan materi dongeng yang di dalamnya mengandung nasihat tentang kekuasaan Tuhan. Oleh orang tua maupun guru, materi kekuasaan Tuhan tersebut dikembangkan sampai dengan adanya hari kiamat dan siksa kubur. Generasi yang bermoral merupakan investasi bangsa yang senantiasa mengharapkan kedamaian. Kondisi bangsa yang semakin tidak menentu seperti sekarang ini dipengaruhi oleh pemegang pemerintahan yang kurang memahami makna ke-Tuhanan dalam dirinya, sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan.
Nilai pendidikan moral percaya atas takdir Tuhan perlu ditanamkan kepada anak-anak atau peserta didik, karena itu merupakan salah satu upaya penyadaran diri, bahwa Tuhan adalah Sang Pengatur dan manusia tinggal menjalankan apa yang sudah ditentukan-Nya. Dengan mempunyai sikap percaya kepada takdir Tuhan, manusia akan lebih tegar dalam menghadapi cobaan hidup. Apabila mendapat cobaan akan selalu dihadapi dengan sabar dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Hal itu untuk mengimbangi seperti banyak terjadinya bencana alam, banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya. Berbagai cobaan tersebut jika tanpa disikapi dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, maka akan mengakibatkan suatu hal yang tidak baik, seperti kekerasan dan berbagai tindakan kriminal.
Dongeng dengan tema kemanusiaan dan kemasyarakatan merupakan refleksi sikap hidup manusia dan lingkungannya. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, oleh karena itu sesama manusia harus saling tolong-menolong, mau balas budi, tidak saling memfitnah, dan saling menghormati dalam hidup bermasyarakat. Hubungan sosial antar individu perlu diperhatikan agar tidak menjadi pemicu kriminalitas atau kejahatan. Saat ini banyak terjadi kasus kriminal yang  pelaku dan korbannya masih ada hubungan kerabat. Hal itu merupakan bukti retaknya hubungan antar sesama. Sebaiknya, untuk menyikapi persaingan hidup yang semakin berat hendaklah manusia membina kerukunan antar sesama dengan sebaik-baiknya. Salah satu upaya membina kerukunan antar sesama yaitu dengan tolong-menolong apabila mendapatkan kesulitan.
Sikap menghormati orang lain perlu ditanamkan sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga. Menurunnya sikap yang kurang bisa menghormati orang lain, baik di lingkungan pendidikan maupun dalam masyarakat dapat dilihat dari cara masyarakat berbicara, bersikap, dan berpakaian. Dalam berbicara, mereka kadang menggunakan bahasa yang kurang sopan dan sikap yang tidak pas. Dalam berpakaian, kadang tidak memperhatikan pantas atau tidaknya, dalam bahasa Jawa disebut ora êmpan papan Sikap-sikap seperti itu perlu diperhatikan mulai di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Tema kerukuran sering juga diusung dalam dongeng. Kerukunan sebaiknya juga dibina mulai dalam sebuah keluarga dengan saling menyayangi antar anggota keluarga, yaitu suami dengan istri, orang tua dengan anak, dan anak dengan anak. Dengan saling menyayangi, hubungan antar anggota keluarga akan selalu harmonis. Banyaknya anak-anak yang berani membantah perintah orang tuanya merupakan hal yang bertentangan dengan agama dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Seorang anak seharusnya berbakti kepada kedua orang tuanya, yaitu dengan mematuhi perintahnya, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain menghormati orang tua kandung, seseorang juga harus menghormati mertuanya, sebagai orang tua yang kedua.
Tema kasih sayang juga sering dimunculkan dalam sebuah dongeng. Kasih sayang dalam keluarga dan bermasyarakat sangatlah penting. Pada jaman yang serba canggih ini banyak orang tua yang kurang perhatian dan kasih sayang kepada anaknya. Mereka telah disibukkan dengan pekerjaan untuk mencari nafkah. Anak hanya tercukupi dari segi materi tetapi tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya. Dampak dari hal tersebut akhirnya anak dapat terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak baik, yang dilarang oleh agama dan hukum. Contohnya, pergaulan bebas, minum-minuman keras, penyalahgunaan narkoba, pornografi dan lain-lain.
Selanjutnya, agar kasih sayang terhadap anak selalu terjaga dengan baik, hubungan kedua orang tua juga harus terjaga dengan baik pula. Dalam rumah tangga, apabila hubungan suami dan istri kurang harmonis, maka akan mempengaruhi kondisi kejiwaan anak. Anak merasa tidak di perhatikan oleh kedua orang tuanya, mereka merasa tidak betah dirumah, dan akhirnya mencari dunia baru. Hubungan suami istri dapat terjaga dengan baik apabila dari keduanya bisa saling mengerti dan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Suami yang baik adalah suami yang setia, dapat menafkahi dan melindungi istri dan anak-anaknya. Istri yang baik adalah istri yang setia, dan berbakti kepada keluarganya.
Munculnya tema dongeng untuk selalu berbuat baik merupakan hal mendasar dalam kehidupan manusia. Pada masa ini, persaingan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup semakin berat. Akan tetapi, seberat apapun hidup, kerukunan harus tetap dijaga dan jangan saling memfitnah antar sesama, karena fitnah akan merugikan orang lain. Ada ungkapan yang menyatakan “memfitnah lebih kejam daripada membunuh’. Adanya fitnah di tengah masyarakat akan mengakibatkan retaknya kerukunan dalam masyarakat.
Dongeng yang mengisahkan sikap pantang menyerah dan tanggungjawab, mengajarkan manusia untuk selalu berusaha dan berani bertanggungjawab atas usaha yang dilakukannya. Nasib manusia di dunia ini memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang tanpa dia berusaha merubahnya. Artinya, diri sendirilah yang menentukan nasib dalam menjalani hidup ini. Untuk itu pada saat ini diperlukan suatu sikap dalam diri manusia agar manusia itu tidak kehilangan kepribadiannya. Manusia dituntut agar tidak mudah putus asa, hati-hati dalam bertindak, bertanggung jawab, sadar dan bertaubat apabila melakukan kesalahan, dan rendah hati. Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, manusia harus pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Dengan sikap seperti itu, kesempatan memperoleh sesuatu yang diinginkan akan lebih besar. Selain harus berhati-hati dalam bertindak, manusia hendaknya berjiwa ksatria, yaitu berani bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah diperbuatnya. Dengan sikap bertanggung jawab, manusia akan dihormati dan dipercaya oleh orang lain. Di Indonesia banyak terjadi korupsi di kalangan pejabat. Hal itu mencerminkan bahwa pelaku korupsi tersebut tidak bisa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, dan tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya.
Selanjutnya, selain berhati-hati dalam bertindak dan bertanggung jawab, dalam menjalani hidup manusia hendaknya sadar apabila melakukan kesalahan, bertaubat, dan  tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut. Sikap menyadari kesalahan dan bertaubat akan membawa manusia menuju jalan yang lebih baik. Beberapa sikap seperti tidak mudah putus asa, berhati-hati, bertanggung jawab, dan menyadari kesalahan, akan lebih sempurna apabila diikuti sikap rendah hati atau tidak sombong. Di jaman yang serba modern ini banyak sekali orang yang kaya raya dan berpangkat tinggi. Semua itu tidak akan membawa manfaat yang baik apabila tidak diikuti sikap rendah hati dan ikhlas beramal kepada orang lain.
Dengan bersikap selalu rendah hati dan ikhlas berbuat kebaikan, manusia akan mendapatkan kemuliaan dunia akhirat, yaitu akan dihormati orang lain dan mendapatkan pahala dari keikhlasannya. Sementara itu ketidakpedulian manusia terhadap alam sekitar, pada saat ini, dibuktikan dengan banyaknya bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan lain-lain. Itu semua disebabkan karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab atau tidak peduli dengan keseimbangan ekosistem, dengan menebangi hutan tanpa menggunakan aturan. Mereka hanya memikirkan materi dan tidak memikirkan pelestarian alam. Contoh lain, seringkali terjadi banjir di kota-kota besar yang disebabkan oleh aliran sungai yang tidak lancar dan penuh dengan sampah. Hal itu terjadi karena kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan sangat kurang, mereka hanya mencari praktis dan gampang, tidak memikirkan akibatnya yang terjadi. Wujud ketidakpedulian yang lain misalnya ketika mencari ikan menggunakan bom atau racun. Hal itu dapat merusak ekoksistem laut seperti terumbu karang dan bibit-bibit ikan. Hal tersebut hanyalah sebagian contoh sikap masyarakat Indonesia yang tidak peduli terhadap kelestarian lingkungan. Keanekaragaman alam di Indonesia ini seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-bainya dengan tidak mengesampingkan kelestarian lingkungannya, sebagai wujud dari kecintaan kita terhadap negara Indonesia.
4. Kesimpulan
Pentingnya penyiapan generasi penerus bangsa yang lebih matang sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa ini. Kemajuan yang diimbangi dengan sikap hidup yang matang pula. Kematangan kepribadian harus dibentuk sejak dini, dan ‘mendongeng’ merupakan salah satu upaya pembentukan karakter kepribadian terhadap generasi tersebut. Melalui dongeng, orang tua dapat mentransfer nilai-nilai baik guna membekali anak-anaknya dalam mengarungi kehidupan ini. Dongeng-dongeng yang disampaikan dapat berupa: (1) nilai pendidikan moral berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan, ynag meliputi percaya atas kekuasaan Tuhan, dan percaya atas takdir Tuhan; (2) nilai pendidikan moral berkaitan hubungan manusia dengan manusia meliputi: tolong-menolong, menghormati tamu, sayang kepada istri, sayang kepada anak, sayang kepada saudara, berbakti suami, balas budi, mematuhi perintah atasan dan berbakti kepada orang tua; (3) nilai pendidikan moral berkaitan hubungan manusia dengan diri sendiri, meliputi: bertanggung jawab, tidak mudah putus asa, bersikap berhati-hati, dan menyadari kesalahan; (4) nilai pendidikan moral berkaitan hubungan manusia dengan alam sekitar, meliputi: menjaga kelestarian lingkungan dengan menyayangi binatang.
Nilai-nilai pendidikan moral tersebut masih memiliki relevansi dengan kehidupan saat ini, yaitu setiap manusia hendaknya mempercayai dan menerima atas semua kehendak-Nya. Hubungan sesama manusia hendaknya ditekankan untuk saling menghormati dan selalu menjaga kerukunan dalam masyarakat. Hubungannya dengan diri sendiri, manusia hendaknya selalu rendah hati, berhati-hati dalam bertindak, tidak mudah menyerah, berani bertanggung jawab atas perbuatannya dan mau menyadari bila melakukan kesalahan. Disamping itu, manusia wajib menjaga keseimbangan ekosistem dan menjaga kelestarian lingkungan.
DAFTAR RUJUKAN
Damono, S.D. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Graffiti.
Darusuprapta.1990. Ajaran Moral dalam Susastra Suluk. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.
_________________. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hartoko, D. dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mardiatmaja, B.S. 1986. Tujuan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Padmosoekotjo, S. 1995. Ngèngrèngan Kasusastraan Djawi I. Yogyakarta: Hien Hoosing.
Subandi. 1999. “Ajaran Moral pada Dongeng Anak dalam Bahasa Jawa Kumpulan B. Tujosunoro”. Skripsi Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Soeparno. 1990. Rekayasa Perkembangan Watak dan Moral Bangsa. Jakarta: Purel Mordial.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa Sebuah Analisis Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Widayat, Affendy. 2006.  Teori Sastra Jawa. Diktat mata kuliah Teori Sastra Jawa. Pendidikan Bahasa Daerah. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Yogyakarta.
Budianta, Melani. 1995. Teori Kesusastraan. Terjemahan. Jakarta: Gramedia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar