Laman

Jumat, 13 Desember 2013

TEORI MITOLOGI

A. Dalam mempelajari mitos (myth) di masa lalu para ilmuwan membedakan mitos dengan jenis-jenis cerita lain, seperti legenda (legend), cerita rakyat (folktale), dan sebagainya. Namun kini, pembedaan-pembedaan seperti itu semakin lama dianggap semakin tidak penting. Secara ringkas, hal-hal tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Definisi mitos (myth), legenda (legend), dan cerita rakyat/dongeng (folktale).

a. Mitos
Mitos (dari Greek ????? mythos) menurut pengertian Kamus Dewan, adalah “cerita (kisah) tentang dewa-dewa dan orang atau makhluk luar biasa zaman dahulu yang dianggap oleh setengah golongan masyarakat sebagai kisah benar dan merupakan kepercayaan berkenaan kejadian dewa-dewa dan alam seluruhnya.” Mitos juga merujuk kepada satu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa dahulu. Ia dianggap sebagai suatu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang dijadikan sebagai rujukan, atau merupakan suatu dogma yang dianggap suci dan mempunyai konotasi upacara (www.google.com).

Menurut Bascom (via Danandjaja, 1986: 50) Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Mite tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji dan atau sebaliknya, ditakuti. Disisi lain, pemahaman atas cerita yang bernuansa mitos seringkali diikuti dengan adanya penghormatan yang dimanifestasikan ke dalam wujud pengorbanan (Suwardi, 2005: 163). Hal ini menyiratkan bahwa dalam mitos pada kenyataannya melahirkan sebuah keyakinan karena tokoh mitos bukan tokoh sembarangan. Keyakinan tersebut sering mempengaruhi pola pikir ke arah takhayul.

Menurut teori mitologi matahari yang dicetuskan oleh Max Muller (Danandjaja, 1986: 51), mite sesungguhnya adalah pengulangan kejadian pagi dan malam. Menurut Muller, dongeng Eropa berasal dari mite, karena mengandung perlambangan yang sama, yakni terjadinya pagi dan malam. Teori Muller ini dibuat berdasarkan bukti dari hasil penelitian ilmu linguistik perbandingan. Ketika bahasa Sanskerta telah dianggap sebagai kunci keluarga bahasa Indo-Eropa, Muller membandingkan nama-nama para dewa beberapa mitologi Eropa dengan nama-nama gejala alam dalam bahasa Sanskerta. Kesimpulan penelitiannya adalah bahwa semua nama dewa utama Eropa melambangkan fenomena matahari. Oleh sebab itu, teori Muller kemudia terkenal dengan nama mitologi matahari atau philological school. Teori mitologi matahari bersifat monogenesis karena para penganutnya menganggap bahwa semua mite di dunia berasal dari India. Hal tersebut merujuk pada Indianist theory (dipimpin oleh Theodore Benfey) yang mengembalikan semua dongeng Eropa ke negara asalnya (India).

Teori mite monogenesis tersebut mendapatkan tantangan dengan munculnya teori mite yang bersifat poligenesis (Danandjaja, 1986: 57-58). Teori ini dikemukakan oleh Charles Darwin (evolusi kebudayaan sama halnya dengan evolusi biologi), dan Andrew Lang yang menyatakan bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan berevolusi. Oleh karenanya, masing-masing folk mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama. Dengan demikian, jika sampai ada motif cerita rakyat yang sama dari beberapa negara, maka hal itu disebabkan masing-masing negara mempunyai kemampuan untuk menciptakannya sendiri secara berdiri sendiri maupun sejajar (independent of parallel invention). Penganut teori ini salah satunya adalah Euhemerus (terkenal dengan teori Euhemerisme) yang menyatakan bahwa manusia menciptakan para dewanya berdasarkan wajah dirinya sendiri. Menurutnya, para dewa dari mitologi pada hakekatnya adalah manusia (pria maupun wanita) yang didewakan, dan mite sebenarnya adalah kisah nyata orang-orang yang pernah hidup, namun kemudian kisah itu telah mengalami distorsi (Danandjaja, 1986: 59).

Dari beberapa penjelasan mengenai definisi mite tersebut, saya lebih sepakat dengan definisi yang dikemukakan oleh Bascom yang menganggap bahwa mite itu lahir dari sesuatu fenomena yang dianggap pernah terjadi, dimana mite itu ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa yang kemudian oleh empu cerita dituturkan sebagai cerita yang suci. Namun demikian, saya pribadi masih sangsi dengan latar belakang munculnya mite, karena tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tentunya hadir dalam rangka fungsi tertentu. Dalam hal ini munculnya mite itu berdasarkan kisah nyata, ataukah  hanya cerita yang dihadirkan dalam rangka politik legitimasi tertentu, mengingat munculnya mite disejajarkan dengan kisah tokoh manusia tertentu pula? Sebagai contoh, mitos Ratu Kidul hadir semasa pemerintahan Kasultanan Mataram. Masyarakat saat itu tentunya harus percaya terhadap apa yang diberitakan oleh pihak kasultanan, mengingat sultan adalah sebagai  junjungan (raja) rakyat. Kisah percintaan Ratu Kidul dengan Sultan Mataram yang berdampak bertambahnya prajurit Sultan maupun kesaktiannya ini dengan mudah tersebar ke berbagai pelosok nusantara. Dengan demikian, kedudukan Mataram akan semakin kokoh dengan adanya legitimasi politik kekuasaan tersebut.

b. Legenda

Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legenda tokohnya manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50). Lebih lanjut dikemukakan bahwa legenda seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan aslinya. Untuk menggunakan legenda sebagai bahan merekonstruksi sejarah suatu folk, maka harus membersihkannya dahulu dari bagian-bagian yang mengandung sifat-sifat folklor, misalnya yang bersifat pralogis atau yang merupakan rumus-rumus tradisi lisan, seperti yang pernah ditemukan oleh Lord Ragland (Danandjaja, 1986: 66).

Dalam bukunya (Tradisi Lisan Jawa, 2005: 164), Suwardi memaparkan bahwa legenda merupakan cerita asal-usul suatu tempat dengan ditandainya tokoh makhluk superior. Legenda sering memunculkan figur istimewa, namun tidak dianggap keramat seperti tokoh mite. Tokoh-tokoh kepahlawanan sering muncul dalam legenda tertentu dan legenda ini sering pula dianggap sebagai fakta sejarah yang pernah terjadi.
Legenda artinya suatu cerita yang dianggap benar oleh masyarakat. Kebenaran itu dianggap sebagai kebenaran dari segi sejarah atau kepercayaan semata-mata. Walau bagaimanapun menurut Prof. Dr. Ismail Hamid menganggap bahwa legenda merupakan sejarah rakyat karena legenda mempunyai latar belakang sejarah. Fokus legenda adalah tokoh tertentu, pada suatu sejarah tertentu dalam suatu masyarakat. Ceritanya dianggap benar dan sukar dinafikan. Sebagai contoh, bagi masyarakat Melayu ada cerita-cerita rekaan yang ditujukan kepada watak-watak  tertentu, disesuaikan dengan ketokohannya, perjuangannya, dan keperwiraannya. Ceritanya dikaitkan dengan semangat kebangsaan yang mengambarkan perjuangan mereka demi kedaulatan bangsa (www. google.com).

Menurut saya, beberapa definisi legenda tersebut esensinya sama, yakni legenda itu muncul dengan tokoh manusia yang sakti, tidak dianggap keramat seperti tokoh mite, dan keberadaannya dapat dianggap sebagai fakta sejarah tertentu. Mengenai legenda, Jan Harold Brunvand (via Danandjaja, 1986: 67) menggolongkannya menjadi empat kelompok, yakni: (1) legenda keagamaan (religious legends), (2) legenda alam gaib (supernatural legends), (3) legenda perseorangan (personal legends), dan (4) legenda setempat (local legends). Meski demikian, dalam perkembangannya, cerita legenda yang terkenal adalah golongan ke-4, yakni golongan legenda setempat (local legends). Golongan legenda ini menceritakan hubungan tokoh manusia sakti dengan munculnya suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi suatu daerah. Misalnya, tokoh Sangkuriang dan Dayang Sumbi merupakan background terjadinya gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, tokoh Bandung Bandawasa dan Rara Jonggrang sebagai background terjadinya Candi Prambanan (Candi Sewu) di Jawa Tengah, “Asal Mula Nama Banyuwangi” dan “Asal Mula Nama Desa Jember” di Jawa Timur, dll.

c. Dongeng

Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita, dan dongeng tidak terikat waktu maupun tempat (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50). Jika legenda adalah sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, berupa cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral, atau bahkan sindiran (Danandjaja, 1986: 83). Dongeng adalah cerita yang fantastis yang mengadopsi hampir  dari seluruh aspek kehidupan yang dapat digolongkan menjadi; dongeng binatang (fabel), dongeng lucu (joke tales), dan dongeng anak/nursery tales (Suwardi, 2005: 166).

Menurut saya, beberapa definisi dongeng tersebut pada dasarnya adalah sama, yakni memberikan gambaran bahwa dalam dongeng terkandung suatu unsur  rekayasa dalam penciptaannya. Sebagai contoh, dongeng dengan tema tertentu diciptakan untuk mengajarkan suatu nasehat maupun hiburan bagi penikmatnya, karena prinsip dongeng adalah bukan suatu hal yang benar-benar terjadi meskipun terdapat kemiripan didalamnya. Kemiripan  tersebut diadopsi dalam rangka fungsi tertentu, didaktis misalnya. Mengajarkan hal baik pada anak usia dini, akan lebih menarik jika dihadirkan dalam bentuk dongeng hewan (fabel).

2. Pembedaan-pembedaan terhadap mitos, legenda, dan cerita rakyat kini
dianggap semakin tidak penting.

Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa istilah-istilah tersebut mengingatkan manusia pada kisah atau cerita yang aneh, janggal, lucu, umumnya sulit dimengerti maknanya, tidak dapat diterima kebenarannya, dan bahkan tidak perlu ditanggapi secara serius isinya. Kisah yang dianggap berupa khayalan iseng tersebut, kebanyakan isinya tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari, sehingga orang sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dinamakan mitos. Fenomena ini membuktikan bahwa modernisasi juga mempengaruhi manusia untuk selalu berfikir rasional, lebih menekankan pada aspek material. Oleh sebab itulah, pembedaan terhadap mite, legenda, dan dongeng tidak begitu diperhatikan.
Sebab lain adalah adanya konsep mementingkan isi daripada klasifikasi. Dengan kata lain, supaya lebih eksplanatif (menjelaskan isi) maka tidak perlu klasifikasi terhadap mite, legenda, dan dongeng. Yang terpenting adalah menetapkan relasi/menentukan hubungan satu dengan yang lain dalam rangka mengungkapkan fungsi mitos, agar mitos tersebut tidak stagnan pada penggolongan saja. Dengan kajian relasi fungsi tersebut mitos dapat dikaji/dihadirkan secara ilmiah untuk menepis anggapan bahwa mitos merupakan fenomena irasional. Melalui analisis relasi fungsi, hal yang tidak rasional tersebut dapat dibuktikan secara rasional.

B. Dua paradigma yang digunakan oleh para ahli antropologi untuk mempelajari mitos adalah paradigma fungsionalisme dan fungsionalisme struktural. Meskipun seringkali paradigma ini dianggap sudah “ketinggalan jaman” , namun paradigma ini tetap penting dan relevan dalam kajian mitos, demikian juga pengaruhnya masih tetap kuat. Demikian penjabaran kedua paradigma tersebut:

1. Konsep, asumsi, model, perbedaan dan persamaan paradigma
fungsionalisme dan fungsionalisme struktural.
Perspektif fungsionalisme mengandaikan bahwa kehidupan sosio-budaya itu seperti tubuh makhluk hidup. Penganut aliran fungsionalisme ini percaya, bahwa analogi biologi (organisme) dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan sosio-budaya masyarakat (Kaplan, 1999: 77). Individu-individu maupun kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup, kelangsungan kehidupan sosio-budaya dapat dipertahankan apabila individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini memandang kehidupan sosio-budaya sebagai sesuatu yang harus selalu ada dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya.  Dengan mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka perspektif ini melihat gerakan sosio-budaya sebagai gejala terjadinya krisis di dalam masyarakat.
Sementara itu, B. Malinowski dalam teori fungsionalismenya  mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.” Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.

Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun -setidaknya- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi. Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena manusia membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.

Mengenai paradigma fungsionalisme struktural, para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini dengan menuangkan berbagai ide dan gagasannya mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer (1980), Margaret M.Poloma (1987), dan Turner (1986). Drs. Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional- structural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis“. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan sosial. Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis (www.google.com).

Dari penjelasan masing-masing paradigma tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama perspektif yang mengkaji tentang fungsi fenomena budaya tertentu. Adapun perbedaan kedua paradigma itu terletak pada analisisnya. Analisis dalam paradigma fungsional lebih sederhana daripada paradigma fungsionali-struktural. Jika fenomena budaya dikaji dengan paradigma fungsional dan telah ditemukan fungsinya dalam masyarakat, itu dianggap sudah memenuhi syarat.

Berbeda dengan analisis dalam paradigma fungsional-struktural, paradigma ini lebih menekankan pada relasi fungsi. Artinya, dalam analisis ini peneliti harus bisa menunjukkan relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial-budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk dapat memberikan penekanan pada struktur sosial. Dengan demikian, deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak kalah pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi fungsional itu sendiri. Data kualitatif berupa contoh-contoh kasus yang konkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan pembaca akan adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala sosial-budaya yang dimaksud dengan struktur sosial yang ada (Diktat kuliah Teori Kebudayaan S2 oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra).

2. Contoh analisis mitos dengan menggunakan paradigma fungsional:

a. Paparan Kisah Sunan Mas dan upacara Nyadran di dusun Poyahan,
Seloharjo, Pundong Bantul.
Pada waktu Raden Mas Sutikna (Putra Sunan Amangkurat II Mataram Islam) dan pasukannya menumpas pemberontakan Trunajaya sampai di wilayah pegunungan selatan, ia kemudian beristirahat. Untuk menghimpun kekuatan dan bersemedi, RM. Sutikna dengan dibantu oleh Demang Somabrata dan pengikutnya kemudian membuat goa di daerah pegunungan selatan tersebut. Pada saat membuat goa, RM. Sutikna disapa oleh Ki Joko Umar. Ki Joko Umar adalah putra dari Nyi Glenggangjati garwa ampil dari Ki Ageng Giring IV yang memerintah di wilayah Gunung Kidul. Ki Joko Umar heran melihat pembuatan goa yang hanya dilakukan dengan menatah batu tebing. Merasa ada yang memperhatikan pekerjaannya, RM. Sutikna menanyakan kepada Joko Umar apakah ia sanggup membantu pembuatan goa tersebut. Joko Umar menyanggupi, kemudian ia bekerja dengan caranya sendiri, mengambil tempat di sebelah goa yang dibuat oleh RM. Sutikna dan menggaruk tebing terjal itu dengan bathok kelapa. Goa-pun jadi dan diberi nama Goa Sunan Mas. Merasa ditolong oleh Joko Umar, RM. Sutikna menjanjikan akan  memberikan hadiah kepadanya.
RM. Sutikna kemudian mengutus salah satu pengikutnya menghadap ke Kraton Mataram untuk  melaporkan keberadaan RM. Sutikna dan R. Sukra (putra Trunajaya) belum dapat ditangkap. Mendapat laporan tersebut Sunan Amangkurat II yang ketika itu sudah menginjak usia tuanya, segera memerintahkan prajurit untuk menangkap dan menghukum R. Sukra. Setelah R. Sukra ditangkap dan dihukum gantung, RM. Sutikna kembali ke Mataram dengan dikawal oleh Demang Somabrata dan  pengikutnya. Ia kemudian menggantikan ayahandanya (Sunan Amangkurat II) yang wafat, memerintah Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat III (Sunan Mas).
Sementara itu, Ki Joko Umar telah dewasa. Ia kemudian memperistri seorang putri Kedu Bagelen dan menurunkan dua orang putra. Seorang laki-laki bernama Mertalaya dan seorang putri yang tidak jelas namanya yang tinggal di daerah Kedu Bagelen. Singkat cerita Ki Joko Umar kemudian meninggal dan jenasahnya dikebumikan di wilayah Ngrangkah sebelah barat Dusun Biro. Menurut cerita yang berkembang, jenasah Ki Joko Umar telah dicuri oleh orang-orang dari Kedu Bagelen.
Sepeninggal Joko Umar, putranya yang bernama Mertalaya dipanggil menghadap ke Mataram dan diberi kedudukan sebagai Patuh (Lurah) di dalam kraton. Hal ini dilakukan karena besarnya jasa Joko Umar terhadap Mataram. Pada suatu malam hari menjelang pisowanan para Patuh, Patuh Mertalaya mencukur bulu kumisnya. Rontoknya bulu kumis terlihat bercahaya seperti percikan api yang jatuh ke tanah. Melihat hal tersebut, para Patuh kemudian melaporkan kejadian itu kepada Sunan Mas. Mendengar laporan para Patuh, Sunan Mas memanggil Mertalaya untuk menghadap.

Waktu itu, Sunan Mas masih perang batin dengan Raden Pragula yang terlihat diam namun batinnya tidak setuju dengan diangkatnya RM. Sutikna sebagai Sunan Amangkurat III. Raden Pragula adalah salah satu bupati di pesisir utara (Pati) yang sejak jaman Kanjeng Sunan Amangkurat I selalu menjadi penghalang raja-raja di Mataram. Maka itulah Sunan Mas kawatir dan memerintahkan Mertalaya untuk menumpas R. Pragula dengan membawa prajurit secukupnya. Mertalaya menyanggupi perintah itu, dan ia tidak meminta dikawal dengan prajurit yang banyak, namun cukup dengan empat orang prajurit yang ia anggap tangguh dan kuat. Empat orang itu adalah: Ki Jogasatru, Ki Rujakbeling, Ki Gobangkinosek, dan Ki Penthungpinanggul. Singkat cerita Patuh Mertalaya bersama empat orang prajurit tersebut akhirnya dapat menangkap dan membunuh R. Pragula. Lima orang tersebut kemudian kembali ke Mataram dengan membawa mayat R. Pragula.

Sunan Mas kemudian mengadakan selamatan di lingkungan kraton atas kemenangannya tersebut. Selanjutnya, Patuh Mertalaya dianugrahi pangkat Tumenggung dan kedudukan sebagai Bupati di Kraton Mataram dengan nama Tumenggung Mertanegara (Kanjeng Raden Tumenggung Mertanegara), sedangkan empat orang pengawalnya dianugrahi pangkat dan kedudukan sebagai bekel. Tumenggung Mertanegara kembali ke Biro dengan dianugrahi Kuda Boncengsari, Songsong Empok Lampit, Caping Sigar Jongkang, dan dikawal 40 prajurit.

Setelah kembali ke daerah asalnya, Mertanegara kemudian meneruskan adat selamatan tersebut di lokasi peninggalan Sunan Mas pada hari Rabu Kliwon bertepatan dengan hari kemenangannya. Sesuai dengan kondisi wilayahnya, upacara tersebut mulai dikaitkan dengan kegiatan pertanian. Tanah yang mereka terima sebagai imbalan pengabdian terhadap kerajaan (plungguh) harus digarap untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adapun penggarapan tanah untuk pertanian tentu saja memerlukan air. Untuk itu, mereka mengadakan upacara sebagai sarana pepeling atas kemenangan Mertanegara, dan sebagai permohonan keselamatan serta keberhasilan kaum tani dalam mengolah lahan pertaniannya, dengan jalan tetap mengadakan upacara di komplek sumber air peninggalan Sunan Mas sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur. Tradisi isi tetap dilaksanakan setiap tahunnya dalam rangka fungsi-fungsi tertentu, yakni sebagai pelestarian tradisi, fungsi spiritual, dan fungsi sosial.

b. Analisis

Kisah Sunan Mas dan Mertanegara yang dalam hal ini dianggap sebagai pepundhen atas keberadaan kolektif masyarakat Poyahan merupakan kisah yang mendasari adanya perayaan upacara tradisional Nyadran di wilayah tersebut. Tradisi yang dulu dilaksanakan Sunan Mas dan Mertanegara sebagai perwujudan selamatan atas kemenangan perang, kini diwujudkan untuk permohonan kemakmuran dan keselamatan masyarakat pendukungnya. Hal ini merupakan usaha masyarakat pendukungnya dalam hal pelestarian tradisi.
Pada masa pra Islam, tradisi selamatan adalah perilaku budaya masyarakat terhadap konsep animisme dan dinamisme. Namun pada kenyataannya, pada waktu ini tradisi selamatan masih dilaksanakan dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya (doa-doanya dalam versi Islam). Begitu juga dengan tradisi Nyadran di dusun Poyahan, meski sebagian besar masyarakatnya beragama Islam upacara tradisi tersebut masih terus dilaksanakan. Hal ini menunjukkan spiritual masyarakat dusun Poyahan dalam hal keyakinan. Mereka percaya, dengan penyelenggaraan upacara tersebut mereka akan terhindar dari marabahaya, mendapatkan ketentraman dan hasil bumi yang mencukupi.

Jika dilihat dari sosial-kemasyarakatannya, upacara tersebut secara tidak langsung berfungsi sebagai sarana sosial. Antara lain menunjukkan adanya kerukunan, kegotong-royongan, dan pengendali sosial. Hal ini dapat dilihat dari perilaku pendukung upacara dari persiapan, pelaksanaan hingga penutupan kegiatan, dimana mereka tidak dapat terlepas dari interaksi sosial untuk mewujudkan upacara tersebut.

c. Kesimpulan

Dari analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mitos Sunan Mas yang mengadakan upacara di dusun Poyahan, oleh masyarakat pendukungnya kemudian diselenggarakan secara turun temurun. Penyelenggaran upacara ini tentunya mengalami berbagai perubahan. Sebagai contoh adalah tujuan penyelenggaraan upacara yang pada mulanya merupakan selamatan atas kemenangan perang Sunan Mas dengan Pragulapati, kemudian difungsikan sebagai media permohonan keselamatan dan keberhasilan dalam mengolah lahan pertanian oleh masyarakatnya. Hal tersebut sesuai dengan konsep budaya yang bersifat dinamis, selalu mencari bentuk baru sesuai dengan kondisi sosial masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara fungsional mitos Sunan Mas merupakan kisah yang mendasari penyelenggaraan upacara Nyadran di dusun Poyahan. Upacara daerah yang melibatkan banyak orang, secara tidak langsung juga menunjukkan adanya fungsi sosial (kerukunan dan pengendali sosial), fungsi pelestarian tradisi, dan fungsi spiritual (menunjukkan keyakinan tertentu).
3. Contoh analisis mitos dengan menggunakan paradigma fungsionalisme struktural:
a. Paparan Mitos Percintaan Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati
Sebelum Panembahan Senopati menjadi raja, pada saat beliau mulai berambisi untuk melepaskan diri dari Kasultanan Pajang, pamannya, yaitu Juru Martani menyarankan agar Panembahan Senopati memohon petunjuk kepada Tuhan dengan bertapa di pantai laut selatan. Sementara Ki Juru Martani akan memohon petunjuk Tuhan dengan bertapa di Gunung Merapi. Panembahan Senopati lalu mengapung di Kali Opak, mengikuti arus sampai ke muaranya di pantai laut selatan. Ketika Panembahan Senopati sampai di muara Sungai Opak, yaitu di Parangkusuma, muncul seekor ikan bernama Tunggul Wulung, menawarkan jasa untuk menggendongnya ke dasar samudra. Panembahan Senopati menolak, lalu ia duduk disebuah batu gilang untuk bertapa. Kekhusukan tapa Panembahan Senopati menimbulkan huru-hara di Kraton Laut Selatan. Air laut seakan mendidih, angin bertiup kencang menjadi badai dan taufan. Air bergelombang bagaikan diaduk. Karena itu, banyak ikan mati terlempar ke pantai.

Mengetahui kejadian itu, Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Lautan Selatan tergopoh-gopoh keluar dari laut untuk melihat hal apakah yang menyebabkan huru-hara di kerajaannya. Begitu melihat Panembahan Senopati yang sedang bertapa, Kanjeng Ratu Kidul memohon agar Panembahan Senopati menghentikan tapanya. Panembahan Senopati tidak menghiraukan permohonan Kanjeng Ratu Kidul tersebut. Keinginannya hanya satu, yaitu mohon petunjuk atas keinginannya untuk menjadi raja Mataram. Kanjeng Ratu Kidul lalu memberi tahu bahwa keinginannya akan terkabul. Dia akan menjadi raja besar di Mataram. Kanjeng Ratu Kidul juga berjanji akan ikut membantu menjaga ketentraman kerajaan Mataram nantinya secara turun temurun. Mendengar pernyataan dan janji Ratu Kidul, Panembahan Senopati lalu menghentikan tapanya. Oleh Kanjeng Ratu Kidul. Beliau diajak masuk ke Kraton Laut Kidul di dasar Samudra Indonesia sebagai tamu agung dan sekaligus mengikat jalinan percintaan. Sejak saat itulah Kanjeng Ratu Kidul menjadi kekasih Panembahan Senopati, dan selalu siap membantu apapun yang dibutuhkan Kerajaan Mataram.

Setelah Panembahan menjadi raja, Panembahan Senopati memberikan persembahan dalam bentuk upacara labuhan sebagai imbalannya. Persembahan itu berupa barang-barang tertentu sebagai pernyataan cintanya kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sebagai balasannya, Kanjeng Ratu Kidul akan membantu menjaga ketentraman Kerajaan Mataram. Sebagai makhluk halus, Kanjeng Ratu Kidul hidup sepanjang masa. Sementara Panembahan Senopati sebagai manusia masa hidupnya terbatas. Untuk menjaga kelangsungan hubungan baik antara kerajaan Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul, raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senopati-pun meneruskan tradisi itu. Bahkan menurut kepercayaan masyarakat, Kanjeng Ratu Kidul tetap menjadi kekasih para raja Mataram keturunan Panembahan Senopati. Oleh karena itu, upacara labuhan sebagai persembahan ungkapan tanda kasih terus dilaksanakan oleh raja-raja Mataram.

Apabila kewajiban itu diabaikan oleh anak cucu Panembahan Senopati yang memerintah Mataram, maka menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan murka. Beliau akan mengirimkan pasukan makhluk halusnya untuk menyebarkan penyakit dan berbagai macam musibah yang akan menimbulkan mala petaka bagi rakyat dan kerajaan. Akan tetapi, apabila anak cucu Panembahan Senopati senantiasa memenuhi kewajibannya untuk menyelenggarakan labuhan, maka Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa ikut membantu keselamatan rakyat dan Kerajaan Mataram.

b. Cara Analisis

Langkah analisis yang pertama adalah mengambil ceriteme-ceriteme yang terdapat dalam mitos tersebut, yaitu:
(1)   Ki Juru Martani menyarankan agar Panembahan Senopati bertapa di pantai Laut Selatan agar terlepas dari Pajang dan nantinya menjadi raja di tanah Jawa.
(2)   Panembahan Senopati mengapungkan diri di Kali Opak mengikuti arus sampai muara pantai Laut Selatan.
(3)   Dalam perjalanannya ia bertemu dengan seekor ikan bernama Tunggul Wulung yang menawarkan jasa untuk mengantar Panembahan Senopati sampai dasar samudra, namun P. Senopati menolak.
(4)   Panembahan Senopati duduk bertapa di atas batu gilang.
(5)   Oleh karena kekhusukan tapanya menyebabkan timbulnya huru-hara di Kraton Lautan Selatan
(6)   Mengetahui hal tersebut, Ratu Kidul datang menemui Panembahan Senopati dan memohon untuk menghentikan tapanya.
(7)   Ratu Kidul memberi tahu bahwa keinginan Panembahan Senopati akan terkabul dan Ratu Kidul juga berjanji akan menjaga wilayah kekuasaan Panembahan Senopati kelak dikemudian hari secara turun temurun.
(8)   Mendengar pernyataan dan janji Ratu Kidul, Panembahan Senopati kemudian menghentikan tapanya.
(9)   Panembahan Senopati kemudian diajak masuk ke Kraton Lautan Selatan sebagai tamu agung dan sekaligus mengikatkan jalinan kasih dengan  Ratu Kidul.
(10). Panembahan  Senopati berhasil menjadi Raja Mataram Islam. Sebagai
imbalannya, Panembahan Senopati mengadakan labuhan dengan
mempersembahkan barang-barang tertentu sebagai wujud pernyataan
cintanya pada Ratu Kidul.
(11). Anak keturunan Panembahan Senopati tetap menjalankan tradisi
labuhan. Sebagai imbalannya, Ratu Kidul bersedia membantu Kerajaan
Mataram secara turun temurun.

Analisis selanjutnya dengan mencari relasi-relasi fungsi yang terdapat dalam struktur mitos Ratu Kidul tersebut. Jika ditinjau dari sejarahnya, kisah percintaan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul terjadi ketika sebagian besar orang Jawa masih memeluk agama Hindu-Budha. Kisah persekutuan Panembahan Senopati yang berstatus sebagai Raja Mataram dengan Ratu Kidul sebagai Ratu Kraton Laut Selatan (penguasa makhluk halus) membuktikan adanya upaya kerjasama demi keberlangsungan masing-masing wilayahnya.
Panembahan Senopati yang seolah-olah lebih superior dibanding Ratu Kidul, namun tidak terkesan menguasai, merupakan kisah yang dapat dimaknai sebagai perembesan budaya secara damai. Hal ini berkaitan dengan adanya mitos Ratu Kidul merupakan kisah pra-Islam (Hindu-Budha) dan Panembahan Senopati sebagai penguasa kerajaan Islam Mataram, dimana keduanya mengalami sinkretisasi. Masa pra Hindu, Budha dan Islam di Jawa kemudian tidak dipandang sebagai bagian yang mencolok dan terpisah-pisah. Ada kesinambungan budaya dalam proses internalisasi Islam pada masa peralihan tersebut. Melalui mitos tersebut, kehadiran Islam di Kraton Jawa kemudian terasa sah, damai, dan masuk akal (Ahimsa-Putra, 2006: 361).

c. Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: adanya persekutuan Panembahan Senopati sebagai penguasa Mataram dan Ratu Kidul sebagai penguasa makhluk halus Kraton Lautan Selatan, menyatakan adanya hubungan Raja dengan Ratu sebagai pemegang kekuasaan wilayah yang dipimpinnya. Dengan demikian, kisah tersebut merupakan sanara legitimasi politik kekuasaan Mataram Islam, dimana Panembahan yang terkenal sakti tersebut akan semakin mudah memperluas wilayahnya dengan bantuan pasukan makhluk halus Ratu Kidul.

Disamping itu, proses internalisasi agama Islam di Kraton Mataram waktu peralihan menunjukkan adanya perembesan agama dan budaya secara damai, tidak terputus, sambung-menyambung dan dapat diterima oleh masyarakatnya (Raja berpengaruh terhadap penyebaran agama di wilayahnya). Dengan demikian secara fungsional-struktural, mitos persekutuan Panembahan Senopati dan Ratu Kidul tersebut menunjukkan legitimasi kekuasaan raja dan agama Islam melalui sinkretisme budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar