TEORI MITOLOGI
A. Dalam mempelajari mitos (myth) di masa lalu para ilmuwan membedakan mitos dengan jenis-jenis cerita lain, seperti legenda (legend), cerita rakyat (folktale),
dan sebagainya. Namun kini, pembedaan-pembedaan seperti itu semakin
lama dianggap semakin tidak penting. Secara ringkas, hal-hal tersebut
dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Definisi mitos (myth), legenda (legend), dan cerita rakyat/dongeng (folktale).
a. Mitos
Mitos (dari Greek ????? mythos) menurut pengertian Kamus Dewan, adalah “cerita (kisah) tentang dewa-dewa
dan orang atau makhluk luar biasa zaman dahulu yang dianggap oleh
setengah golongan masyarakat sebagai kisah benar dan merupakan
kepercayaan berkenaan kejadian dewa-dewa dan alam seluruhnya.” Mitos
juga merujuk kepada satu cerita dalam sebuah kebudayaan
yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah
terjadi pada masa dahulu. Ia dianggap sebagai suatu kepercayaan dan
kebenaran mutlak yang dijadikan sebagai rujukan, atau merupakan suatu
dogma yang dianggap suci dan mempunyai konotasi upacara
(www.google.com).
Menurut Bascom (via Danandjaja, 1986: 50) Mite
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh empunya cerita. Mite tokohnya para dewa atau makhluk
setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan
seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Karena itu,
dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji dan atau sebaliknya,
ditakuti. Disisi lain, pemahaman atas cerita yang bernuansa mitos
seringkali diikuti dengan adanya penghormatan yang dimanifestasikan ke
dalam wujud pengorbanan (Suwardi, 2005: 163). Hal ini menyiratkan bahwa
dalam mitos pada kenyataannya melahirkan sebuah keyakinan karena tokoh
mitos bukan tokoh sembarangan. Keyakinan tersebut sering mempengaruhi
pola pikir ke arah takhayul.
Menurut teori mitologi matahari yang
dicetuskan oleh Max Muller (Danandjaja, 1986: 51), mite sesungguhnya
adalah pengulangan kejadian pagi dan malam. Menurut Muller, dongeng
Eropa berasal dari mite, karena mengandung perlambangan yang sama, yakni
terjadinya pagi dan malam. Teori Muller ini dibuat berdasarkan bukti
dari hasil penelitian ilmu linguistik perbandingan. Ketika bahasa
Sanskerta telah dianggap sebagai kunci keluarga bahasa Indo-Eropa,
Muller membandingkan nama-nama para dewa beberapa mitologi Eropa dengan
nama-nama gejala alam dalam bahasa Sanskerta. Kesimpulan penelitiannya
adalah bahwa semua nama dewa utama Eropa melambangkan fenomena matahari.
Oleh sebab itu, teori Muller kemudia terkenal dengan nama mitologi
matahari atau philological school. Teori mitologi matahari
bersifat monogenesis karena para penganutnya menganggap bahwa semua mite
di dunia berasal dari India. Hal tersebut merujuk pada Indianist theory (dipimpin oleh Theodore Benfey) yang mengembalikan semua dongeng Eropa ke negara asalnya (India).
Teori mite monogenesis tersebut
mendapatkan tantangan dengan munculnya teori mite yang bersifat
poligenesis (Danandjaja, 1986: 57-58). Teori ini dikemukakan oleh
Charles Darwin (evolusi kebudayaan sama halnya dengan evolusi biologi),
dan Andrew Lang yang menyatakan bahwa setiap kebudayaan di dunia ini
mempunyai kemampuan berevolusi. Oleh karenanya, masing-masing folk
mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama
dalam setiap taraf evolusi yang sama. Dengan demikian, jika sampai ada
motif cerita rakyat yang sama dari beberapa negara, maka hal itu
disebabkan masing-masing negara mempunyai kemampuan untuk menciptakannya
sendiri secara berdiri sendiri maupun sejajar (independent of parallel invention).
Penganut teori ini salah satunya adalah Euhemerus (terkenal dengan
teori Euhemerisme) yang menyatakan bahwa manusia menciptakan para
dewanya berdasarkan wajah dirinya sendiri. Menurutnya, para dewa dari
mitologi pada hakekatnya adalah manusia (pria maupun wanita) yang
didewakan, dan mite sebenarnya adalah kisah nyata orang-orang yang
pernah hidup, namun kemudian kisah itu telah mengalami distorsi
(Danandjaja, 1986: 59).
Dari beberapa penjelasan mengenai
definisi mite tersebut, saya lebih sepakat dengan definisi yang
dikemukakan oleh Bascom yang menganggap bahwa mite itu lahir dari
sesuatu fenomena yang dianggap pernah terjadi, dimana mite itu ditokohi
oleh dewa atau makhluk setengah dewa yang kemudian oleh empu cerita
dituturkan sebagai cerita yang suci. Namun demikian, saya pribadi masih
sangsi dengan latar belakang munculnya mite, karena tradisi lisan
sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tentunya hadir dalam rangka
fungsi tertentu. Dalam hal ini munculnya mite itu berdasarkan kisah
nyata, ataukah hanya cerita yang dihadirkan dalam rangka politik
legitimasi tertentu, mengingat munculnya mite disejajarkan dengan kisah
tokoh manusia tertentu pula? Sebagai contoh, mitos Ratu Kidul hadir
semasa pemerintahan Kasultanan Mataram. Masyarakat saat itu tentunya
harus percaya terhadap apa yang diberitakan oleh pihak kasultanan,
mengingat sultan adalah sebagai junjungan (raja) rakyat. Kisah
percintaan Ratu Kidul dengan Sultan Mataram yang berdampak bertambahnya
prajurit Sultan maupun kesaktiannya ini dengan mudah tersebar ke
berbagai pelosok nusantara. Dengan demikian, kedudukan Mataram akan
semakin kokoh dengan adanya legitimasi politik kekuasaan tersebut.
b. Legenda
Legenda adalah prosa rakyat yang
mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar
terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legenda
tokohnya manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa,
dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya
adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu terjadinya
belum terlalu lampau (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50). Lebih lanjut
dikemukakan bahwa legenda seringkali dipandang sebagai “sejarah”
kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak
tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh
berbeda dengan aslinya. Untuk menggunakan legenda sebagai bahan
merekonstruksi sejarah suatu folk, maka harus membersihkannya dahulu
dari bagian-bagian yang mengandung sifat-sifat folklor, misalnya yang
bersifat pralogis atau yang merupakan rumus-rumus tradisi lisan, seperti
yang pernah ditemukan oleh Lord Ragland (Danandjaja, 1986: 66).
Dalam bukunya (Tradisi Lisan Jawa, 2005:
164), Suwardi memaparkan bahwa legenda merupakan cerita asal-usul suatu
tempat dengan ditandainya tokoh makhluk superior. Legenda sering
memunculkan figur istimewa, namun tidak dianggap keramat seperti tokoh
mite. Tokoh-tokoh kepahlawanan sering muncul dalam legenda tertentu dan
legenda ini sering pula dianggap sebagai fakta sejarah yang pernah
terjadi.
Legenda artinya suatu cerita yang
dianggap benar oleh masyarakat. Kebenaran itu dianggap sebagai kebenaran
dari segi sejarah atau kepercayaan semata-mata. Walau bagaimanapun
menurut Prof. Dr. Ismail Hamid menganggap bahwa
legenda merupakan sejarah rakyat karena legenda mempunyai latar belakang
sejarah. Fokus legenda adalah tokoh tertentu, pada suatu sejarah
tertentu dalam suatu masyarakat. Ceritanya dianggap benar dan sukar
dinafikan. Sebagai contoh, bagi masyarakat Melayu ada cerita-cerita
rekaan yang ditujukan kepada watak-watak tertentu, disesuaikan dengan
ketokohannya, perjuangannya, dan keperwiraannya. Ceritanya dikaitkan
dengan semangat kebangsaan yang mengambarkan perjuangan mereka demi
kedaulatan bangsa (www. google.com).
Menurut saya, beberapa definisi legenda
tersebut esensinya sama, yakni legenda itu muncul dengan tokoh manusia
yang sakti, tidak dianggap keramat seperti tokoh mite, dan keberadaannya
dapat dianggap sebagai fakta sejarah tertentu. Mengenai legenda, Jan
Harold Brunvand (via Danandjaja, 1986: 67) menggolongkannya menjadi
empat kelompok, yakni: (1) legenda keagamaan (religious legends), (2) legenda alam gaib (supernatural legends), (3) legenda perseorangan (personal legends), dan (4) legenda setempat (local legends). Meski demikian, dalam perkembangannya, cerita legenda yang terkenal adalah golongan ke-4, yakni golongan legenda setempat (local legends).
Golongan legenda ini menceritakan hubungan tokoh manusia sakti dengan
munculnya suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi suatu daerah.
Misalnya, tokoh Sangkuriang dan Dayang Sumbi merupakan background terjadinya gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, tokoh Bandung Bandawasa dan Rara Jonggrang sebagai background
terjadinya Candi Prambanan (Candi Sewu) di Jawa Tengah, “Asal Mula Nama
Banyuwangi” dan “Asal Mula Nama Desa Jember” di Jawa Timur, dll.
c. Dongeng
Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita, dan dongeng tidak
terikat waktu maupun tempat (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50). Jika
legenda adalah sejarah kolektif (folk history), maka dongeng
adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, berupa cerita prosa
rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan
terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran,
berisikan pelajaran (moral, atau bahkan sindiran (Danandjaja, 1986: 83).
Dongeng adalah cerita yang fantastis yang mengadopsi hampir dari
seluruh aspek kehidupan yang dapat digolongkan menjadi; dongeng binatang
(fabel), dongeng lucu (joke tales), dan dongeng anak/nursery tales (Suwardi, 2005: 166).
Menurut saya, beberapa definisi dongeng
tersebut pada dasarnya adalah sama, yakni memberikan gambaran bahwa
dalam dongeng terkandung suatu unsur rekayasa dalam penciptaannya.
Sebagai contoh, dongeng dengan tema tertentu diciptakan untuk
mengajarkan suatu nasehat maupun hiburan bagi penikmatnya, karena
prinsip dongeng adalah bukan suatu hal yang benar-benar terjadi meskipun
terdapat kemiripan didalamnya. Kemiripan tersebut diadopsi dalam
rangka fungsi tertentu, didaktis misalnya. Mengajarkan hal baik pada
anak usia dini, akan lebih menarik jika dihadirkan dalam bentuk dongeng
hewan (fabel).
2. Pembedaan-pembedaan terhadap mitos, legenda, dan cerita rakyat kini
dianggap semakin tidak penting.
Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan
bahwa istilah-istilah tersebut mengingatkan manusia pada kisah atau
cerita yang aneh, janggal, lucu, umumnya sulit dimengerti maknanya,
tidak dapat diterima kebenarannya, dan bahkan tidak perlu ditanggapi
secara serius isinya. Kisah yang dianggap berupa khayalan iseng
tersebut, kebanyakan isinya tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari,
sehingga orang sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dinamakan mitos.
Fenomena ini membuktikan bahwa modernisasi juga mempengaruhi manusia
untuk selalu berfikir rasional, lebih menekankan pada aspek material.
Oleh sebab itulah, pembedaan terhadap mite, legenda, dan dongeng tidak
begitu diperhatikan.
Sebab lain adalah adanya konsep
mementingkan isi daripada klasifikasi. Dengan kata lain, supaya lebih
eksplanatif (menjelaskan isi) maka tidak perlu klasifikasi terhadap
mite, legenda, dan dongeng. Yang terpenting adalah menetapkan
relasi/menentukan hubungan satu dengan yang lain dalam rangka
mengungkapkan fungsi mitos, agar mitos tersebut tidak stagnan pada
penggolongan saja. Dengan kajian relasi fungsi tersebut mitos dapat
dikaji/dihadirkan secara ilmiah untuk menepis anggapan bahwa mitos
merupakan fenomena irasional. Melalui analisis relasi fungsi, hal yang
tidak rasional tersebut dapat dibuktikan secara rasional.
B. Dua paradigma yang digunakan oleh
para ahli antropologi untuk mempelajari mitos adalah paradigma
fungsionalisme dan fungsionalisme struktural. Meskipun seringkali
paradigma ini dianggap sudah “ketinggalan jaman” , namun paradigma ini
tetap penting dan relevan dalam kajian mitos, demikian juga pengaruhnya
masih tetap kuat. Demikian penjabaran kedua paradigma tersebut:
1. Konsep, asumsi, model, perbedaan dan persamaan paradigma
fungsionalisme dan fungsionalisme struktural.
Perspektif fungsionalisme mengandaikan
bahwa kehidupan sosio-budaya itu seperti tubuh makhluk hidup. Penganut
aliran fungsionalisme ini percaya, bahwa analogi biologi (organisme)
dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan sosio-budaya masyarakat
(Kaplan, 1999: 77). Individu-individu maupun kebudayaan sebagai bagian
dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam
tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari
fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup,
kelangsungan kehidupan sosio-budaya dapat dipertahankan apabila
individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi
dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini
memandang kehidupan sosio-budaya sebagai sesuatu yang harus selalu ada
dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk
tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap
sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas
individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam
masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya. Dengan
mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka
perspektif ini melihat gerakan sosio-budaya sebagai gejala terjadinya
krisis di dalam masyarakat.
Sementara itu, B. Malinowski dalam teori
fungsionalismenya mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama
dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar,
fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau,
dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.” Partisipan
yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai
sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada
dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional
melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik
dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah
ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari
simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap
simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan
arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah
ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” Tuhan atau kebutuhan
spiritualnya sendiri.
Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual
juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai
“alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian.
Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini
sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium),
yakni menciptakan situasi rukun -setidaknya- di kalangan para
partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah
Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan
masih banyak lagi. Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual
(agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual
maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban
terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan.
Jawaban tersebut tentu saja muncul karena manusia membutuhkannya sebagai
perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Mengenai paradigma fungsionalisme struktural, para
ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini dengan
menuangkan berbagai ide dan gagasannya mencari paradigma tentang teori
ini, sebut saja George Ritzer (1980), Margaret M.Poloma (1987), dan
Turner (1986). Drs. Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari
paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma
fakta sosial.
Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi
terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut
teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut
berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau
elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
teori ini (fungsional- structural) menekankan kepada keteraturan dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi
dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional
terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu
tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut,
teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari
para penganutnya.
Emile Durkheim, seorang sosiolog
Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural
merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim
melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki
realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi
oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal,
tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka
akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis“.
Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai
ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan
patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan sosial.
Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli
teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang
teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang
mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa
pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi
pengetahuan sosiologis (www.google.com).
Dari penjelasan masing-masing paradigma
tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama perspektif yang
mengkaji tentang fungsi fenomena budaya tertentu. Adapun perbedaan kedua
paradigma itu terletak pada analisisnya. Analisis dalam paradigma
fungsional lebih sederhana daripada paradigma fungsionali-struktural.
Jika fenomena budaya dikaji dengan paradigma fungsional dan telah
ditemukan fungsinya dalam masyarakat, itu dianggap sudah memenuhi
syarat.
Berbeda dengan analisis dalam paradigma
fungsional-struktural, paradigma ini lebih menekankan pada relasi
fungsi. Artinya, dalam analisis ini peneliti harus bisa menunjukkan
relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial-budaya
tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal
ini, peneliti dituntut untuk dapat memberikan penekanan pada struktur
sosial. Dengan demikian, deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak
kalah pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi
fungsional itu sendiri. Data kualitatif berupa contoh-contoh kasus yang
konkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan pembaca akan
adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala sosial-budaya
yang dimaksud dengan struktur sosial yang ada (Diktat kuliah Teori
Kebudayaan S2 oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra).
2. Contoh analisis mitos dengan menggunakan paradigma fungsional:
a. Paparan Kisah Sunan Mas dan upacara Nyadran di dusun Poyahan,
Seloharjo, Pundong Bantul.
Pada waktu Raden Mas Sutikna (Putra
Sunan Amangkurat II Mataram Islam) dan pasukannya menumpas pemberontakan
Trunajaya sampai di wilayah pegunungan selatan, ia kemudian
beristirahat. Untuk menghimpun kekuatan dan bersemedi, RM. Sutikna
dengan dibantu oleh Demang Somabrata dan pengikutnya kemudian membuat
goa di daerah pegunungan selatan tersebut. Pada saat membuat goa, RM. Sutikna disapa oleh Ki Joko Umar. Ki Joko Umar adalah putra dari Nyi
Glenggangjati garwa ampil dari Ki Ageng Giring IV yang
memerintah di wilayah Gunung Kidul. Ki Joko Umar heran melihat pembuatan
goa yang hanya dilakukan dengan menatah batu tebing. Merasa ada yang
memperhatikan pekerjaannya, RM. Sutikna menanyakan kepada Joko Umar
apakah ia sanggup membantu pembuatan goa tersebut. Joko Umar
menyanggupi, kemudian ia bekerja dengan caranya sendiri, mengambil
tempat di sebelah goa yang dibuat oleh RM. Sutikna dan menggaruk tebing
terjal itu dengan bathok kelapa. Goa-pun jadi dan diberi nama
Goa Sunan Mas. Merasa ditolong oleh Joko Umar, RM. Sutikna menjanjikan
akan memberikan hadiah kepadanya.
RM. Sutikna kemudian mengutus salah satu
pengikutnya menghadap ke Kraton Mataram untuk melaporkan keberadaan
RM. Sutikna dan R. Sukra (putra Trunajaya) belum dapat ditangkap.
Mendapat laporan tersebut Sunan Amangkurat II yang ketika itu sudah
menginjak usia tuanya, segera memerintahkan prajurit untuk menangkap dan
menghukum R. Sukra. Setelah R. Sukra ditangkap dan dihukum gantung, RM.
Sutikna kembali ke Mataram dengan dikawal oleh Demang Somabrata dan
pengikutnya. Ia kemudian menggantikan ayahandanya (Sunan Amangkurat II)
yang wafat, memerintah Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat III (Sunan
Mas).
Sementara itu, Ki Joko Umar telah
dewasa. Ia kemudian memperistri seorang putri Kedu Bagelen dan
menurunkan dua orang putra. Seorang laki-laki bernama Mertalaya dan
seorang putri yang tidak jelas namanya yang tinggal di daerah Kedu
Bagelen. Singkat cerita Ki Joko Umar kemudian meninggal dan jenasahnya
dikebumikan di wilayah Ngrangkah sebelah barat Dusun Biro. Menurut
cerita yang berkembang, jenasah Ki Joko Umar telah dicuri oleh
orang-orang dari Kedu Bagelen.
Sepeninggal Joko Umar, putranya yang bernama Mertalaya dipanggil menghadap ke Mataram dan diberi kedudukan sebagai Patuh (Lurah) di dalam kraton. Hal ini dilakukan karena besarnya jasa Joko Umar terhadap Mataram. Pada suatu malam hari menjelang pisowanan para Patuh,
Patuh Mertalaya mencukur bulu kumisnya. Rontoknya bulu kumis terlihat
bercahaya seperti percikan api yang jatuh ke tanah. Melihat hal
tersebut, para Patuh kemudian melaporkan kejadian itu kepada Sunan Mas. Mendengar laporan para Patuh, Sunan Mas memanggil Mertalaya untuk menghadap.
Waktu itu, Sunan Mas masih perang batin
dengan Raden Pragula yang terlihat diam namun batinnya tidak setuju
dengan diangkatnya RM. Sutikna sebagai Sunan Amangkurat III. Raden
Pragula adalah salah satu bupati di pesisir utara (Pati) yang sejak
jaman Kanjeng Sunan Amangkurat I selalu menjadi penghalang raja-raja di
Mataram. Maka itulah Sunan Mas kawatir dan memerintahkan Mertalaya untuk
menumpas R. Pragula dengan membawa prajurit secukupnya. Mertalaya
menyanggupi perintah itu, dan ia tidak meminta dikawal dengan prajurit
yang banyak, namun cukup dengan empat orang prajurit yang ia anggap
tangguh dan kuat. Empat orang itu adalah: Ki Jogasatru, Ki Rujakbeling,
Ki Gobangkinosek, dan Ki Penthungpinanggul. Singkat cerita Patuh
Mertalaya bersama empat orang prajurit tersebut akhirnya dapat menangkap
dan membunuh R. Pragula. Lima orang tersebut kemudian kembali ke
Mataram dengan membawa mayat R. Pragula.
Sunan Mas kemudian mengadakan selamatan
di lingkungan kraton atas kemenangannya tersebut. Selanjutnya, Patuh
Mertalaya dianugrahi pangkat Tumenggung dan kedudukan sebagai Bupati di
Kraton Mataram dengan nama Tumenggung Mertanegara (Kanjeng Raden
Tumenggung Mertanegara), sedangkan empat orang pengawalnya dianugrahi
pangkat dan kedudukan sebagai bekel. Tumenggung Mertanegara kembali ke Biro dengan dianugrahi Kuda Boncengsari, Songsong Empok Lampit, Caping Sigar Jongkang, dan dikawal 40 prajurit.
Setelah kembali ke daerah asalnya,
Mertanegara kemudian meneruskan adat selamatan tersebut di lokasi
peninggalan Sunan Mas pada hari Rabu Kliwon bertepatan dengan hari
kemenangannya. Sesuai dengan kondisi wilayahnya, upacara tersebut mulai
dikaitkan dengan kegiatan pertanian. Tanah yang mereka terima sebagai
imbalan pengabdian terhadap kerajaan (plungguh) harus digarap
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adapun penggarapan tanah untuk
pertanian tentu saja memerlukan air. Untuk itu, mereka mengadakan
upacara sebagai sarana pepeling atas kemenangan Mertanegara,
dan sebagai permohonan keselamatan serta keberhasilan kaum tani dalam
mengolah lahan pertaniannya, dengan jalan tetap mengadakan upacara di
komplek sumber air peninggalan Sunan Mas sebagai wujud penghormatan
terhadap leluhur. Tradisi isi tetap dilaksanakan setiap tahunnya dalam
rangka fungsi-fungsi tertentu, yakni sebagai pelestarian tradisi, fungsi
spiritual, dan fungsi sosial.
b. Analisis
Kisah Sunan Mas dan Mertanegara yang
dalam hal ini dianggap sebagai pepundhen atas keberadaan kolektif
masyarakat Poyahan merupakan kisah yang mendasari adanya perayaan
upacara tradisional Nyadran di wilayah tersebut. Tradisi yang
dulu dilaksanakan Sunan Mas dan Mertanegara sebagai perwujudan selamatan
atas kemenangan perang, kini diwujudkan untuk permohonan kemakmuran dan
keselamatan masyarakat pendukungnya. Hal ini merupakan usaha masyarakat
pendukungnya dalam hal pelestarian tradisi.
Pada masa pra Islam, tradisi selamatan
adalah perilaku budaya masyarakat terhadap konsep animisme dan
dinamisme. Namun pada kenyataannya, pada waktu ini tradisi selamatan
masih dilaksanakan dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya
(doa-doanya dalam versi Islam). Begitu juga dengan tradisi Nyadran di
dusun Poyahan, meski sebagian besar masyarakatnya beragama Islam upacara
tradisi tersebut masih terus dilaksanakan. Hal ini menunjukkan
spiritual masyarakat dusun Poyahan dalam hal keyakinan. Mereka percaya,
dengan penyelenggaraan upacara tersebut mereka akan terhindar dari
marabahaya, mendapatkan ketentraman dan hasil bumi yang mencukupi.
Jika dilihat dari
sosial-kemasyarakatannya, upacara tersebut secara tidak langsung
berfungsi sebagai sarana sosial. Antara lain menunjukkan adanya
kerukunan, kegotong-royongan, dan pengendali sosial. Hal ini dapat
dilihat dari perilaku pendukung upacara dari persiapan, pelaksanaan
hingga penutupan kegiatan, dimana mereka tidak dapat terlepas dari
interaksi sosial untuk mewujudkan upacara tersebut.
c. Kesimpulan
Dari analisis yang dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa mitos Sunan Mas yang mengadakan upacara di dusun
Poyahan, oleh masyarakat pendukungnya kemudian diselenggarakan secara
turun temurun. Penyelenggaran upacara ini tentunya mengalami berbagai
perubahan. Sebagai contoh adalah tujuan penyelenggaraan upacara yang
pada mulanya merupakan selamatan atas kemenangan perang Sunan Mas dengan
Pragulapati, kemudian difungsikan sebagai media permohonan keselamatan
dan keberhasilan dalam mengolah lahan pertanian oleh masyarakatnya. Hal
tersebut sesuai dengan konsep budaya yang bersifat dinamis, selalu
mencari bentuk baru sesuai dengan kondisi sosial masyarakat
pendukungnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
secara fungsional mitos Sunan Mas merupakan kisah yang mendasari
penyelenggaraan upacara Nyadran di dusun Poyahan. Upacara daerah yang
melibatkan banyak orang, secara tidak langsung juga menunjukkan adanya
fungsi sosial (kerukunan dan pengendali sosial), fungsi pelestarian
tradisi, dan fungsi spiritual (menunjukkan keyakinan tertentu).
3. Contoh analisis mitos dengan menggunakan paradigma fungsionalisme struktural:
a. Paparan Mitos Percintaan Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati
Sebelum Panembahan Senopati menjadi
raja, pada saat beliau mulai berambisi untuk melepaskan diri dari
Kasultanan Pajang, pamannya, yaitu Juru Martani menyarankan agar
Panembahan Senopati memohon petunjuk kepada Tuhan dengan bertapa di
pantai laut selatan. Sementara Ki Juru Martani akan memohon petunjuk
Tuhan dengan bertapa di Gunung Merapi. Panembahan Senopati lalu
mengapung di Kali Opak, mengikuti arus sampai ke muaranya di pantai laut
selatan. Ketika Panembahan Senopati sampai di muara Sungai Opak, yaitu
di Parangkusuma, muncul seekor ikan bernama Tunggul Wulung, menawarkan
jasa untuk menggendongnya ke dasar samudra. Panembahan Senopati menolak,
lalu ia duduk disebuah batu gilang untuk bertapa. Kekhusukan tapa
Panembahan Senopati menimbulkan huru-hara di Kraton Laut Selatan. Air
laut seakan mendidih, angin bertiup kencang menjadi badai dan taufan.
Air bergelombang bagaikan diaduk. Karena itu, banyak ikan mati terlempar
ke pantai.
Mengetahui kejadian itu, Kanjeng Ratu
Kidul sebagai penguasa Lautan Selatan tergopoh-gopoh keluar dari laut
untuk melihat hal apakah yang menyebabkan huru-hara di kerajaannya.
Begitu melihat Panembahan Senopati yang sedang bertapa, Kanjeng Ratu
Kidul memohon agar Panembahan Senopati menghentikan tapanya. Panembahan
Senopati tidak menghiraukan permohonan Kanjeng Ratu Kidul tersebut.
Keinginannya hanya satu, yaitu mohon petunjuk atas keinginannya untuk
menjadi raja Mataram. Kanjeng Ratu Kidul lalu memberi tahu bahwa
keinginannya akan terkabul. Dia akan menjadi raja besar di Mataram.
Kanjeng Ratu Kidul juga berjanji akan ikut membantu menjaga ketentraman
kerajaan Mataram nantinya secara turun temurun. Mendengar pernyataan dan
janji Ratu Kidul, Panembahan Senopati lalu menghentikan tapanya. Oleh
Kanjeng Ratu Kidul. Beliau diajak masuk ke Kraton Laut Kidul di dasar
Samudra Indonesia sebagai tamu agung dan sekaligus mengikat jalinan
percintaan. Sejak saat itulah Kanjeng Ratu Kidul menjadi kekasih
Panembahan Senopati, dan selalu siap membantu apapun yang dibutuhkan
Kerajaan Mataram.
Setelah Panembahan menjadi raja,
Panembahan Senopati memberikan persembahan dalam bentuk upacara labuhan
sebagai imbalannya. Persembahan itu berupa barang-barang tertentu
sebagai pernyataan cintanya kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sebagai
balasannya, Kanjeng Ratu Kidul akan membantu menjaga ketentraman
Kerajaan Mataram. Sebagai makhluk halus, Kanjeng Ratu Kidul hidup
sepanjang masa. Sementara Panembahan Senopati sebagai manusia masa
hidupnya terbatas. Untuk menjaga kelangsungan hubungan baik antara
kerajaan Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul, raja-raja Mataram keturunan
Panembahan Senopati-pun meneruskan tradisi itu. Bahkan menurut
kepercayaan masyarakat, Kanjeng Ratu Kidul tetap menjadi kekasih para
raja Mataram keturunan Panembahan Senopati. Oleh karena itu, upacara
labuhan sebagai persembahan ungkapan tanda kasih terus dilaksanakan oleh
raja-raja Mataram.
Apabila kewajiban itu diabaikan oleh
anak cucu Panembahan Senopati yang memerintah Mataram, maka menurut
kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan murka. Beliau akan mengirimkan
pasukan makhluk halusnya untuk menyebarkan penyakit dan berbagai macam
musibah yang akan menimbulkan mala petaka bagi rakyat dan kerajaan. Akan
tetapi, apabila anak cucu Panembahan Senopati senantiasa memenuhi
kewajibannya untuk menyelenggarakan labuhan, maka Kanjeng Ratu Kidul
akan senantiasa ikut membantu keselamatan rakyat dan Kerajaan Mataram.
b. Cara Analisis
Langkah analisis yang pertama adalah mengambil ceriteme-ceriteme yang terdapat dalam mitos tersebut, yaitu:
(1) Ki Juru Martani menyarankan agar
Panembahan Senopati bertapa di pantai Laut Selatan agar terlepas dari
Pajang dan nantinya menjadi raja di tanah Jawa.
(2) Panembahan Senopati mengapungkan diri di Kali Opak mengikuti arus sampai muara pantai Laut Selatan.
(3) Dalam perjalanannya ia bertemu
dengan seekor ikan bernama Tunggul Wulung yang menawarkan jasa untuk
mengantar Panembahan Senopati sampai dasar samudra, namun P. Senopati
menolak.
(4) Panembahan Senopati duduk bertapa di atas batu gilang.
(5) Oleh karena kekhusukan tapanya menyebabkan timbulnya huru-hara di Kraton Lautan Selatan
(6) Mengetahui hal tersebut, Ratu Kidul datang menemui Panembahan Senopati dan memohon untuk menghentikan tapanya.
(7) Ratu Kidul memberi tahu bahwa
keinginan Panembahan Senopati akan terkabul dan Ratu Kidul juga berjanji
akan menjaga wilayah kekuasaan Panembahan Senopati kelak dikemudian
hari secara turun temurun.
(8) Mendengar pernyataan dan janji Ratu Kidul, Panembahan Senopati kemudian menghentikan tapanya.
(9) Panembahan Senopati kemudian
diajak masuk ke Kraton Lautan Selatan sebagai tamu agung dan sekaligus
mengikatkan jalinan kasih dengan Ratu Kidul.
(10). Panembahan Senopati berhasil menjadi Raja Mataram Islam. Sebagai
imbalannya, Panembahan Senopati mengadakan labuhan dengan
mempersembahkan barang-barang tertentu sebagai wujud pernyataan
cintanya pada Ratu Kidul.
(11). Anak keturunan Panembahan Senopati tetap menjalankan tradisi
labuhan. Sebagai imbalannya, Ratu Kidul bersedia membantu Kerajaan
Mataram secara turun temurun.
Analisis selanjutnya dengan mencari
relasi-relasi fungsi yang terdapat dalam struktur mitos Ratu Kidul
tersebut. Jika ditinjau dari sejarahnya, kisah percintaan Panembahan
Senopati dengan Ratu Kidul terjadi ketika sebagian besar orang Jawa
masih memeluk agama Hindu-Budha. Kisah persekutuan Panembahan Senopati
yang berstatus sebagai Raja Mataram dengan Ratu Kidul sebagai Ratu
Kraton Laut Selatan (penguasa makhluk halus) membuktikan adanya upaya
kerjasama demi keberlangsungan masing-masing wilayahnya.
Panembahan Senopati yang seolah-olah
lebih superior dibanding Ratu Kidul, namun tidak terkesan menguasai,
merupakan kisah yang dapat dimaknai sebagai perembesan budaya secara
damai. Hal ini berkaitan dengan adanya mitos Ratu Kidul merupakan kisah
pra-Islam (Hindu-Budha) dan Panembahan Senopati sebagai penguasa
kerajaan Islam Mataram, dimana keduanya mengalami sinkretisasi. Masa pra
Hindu, Budha dan Islam di Jawa kemudian tidak dipandang sebagai bagian
yang mencolok dan terpisah-pisah. Ada kesinambungan budaya dalam proses
internalisasi Islam pada masa peralihan tersebut. Melalui mitos
tersebut, kehadiran Islam di Kraton Jawa kemudian terasa sah, damai, dan
masuk akal (Ahimsa-Putra, 2006: 361).
c. Kesimpulan
Dari analisis yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa: adanya persekutuan Panembahan Senopati sebagai
penguasa Mataram dan Ratu Kidul sebagai penguasa makhluk halus Kraton
Lautan Selatan, menyatakan adanya hubungan Raja dengan Ratu sebagai
pemegang kekuasaan wilayah yang dipimpinnya. Dengan demikian, kisah
tersebut merupakan sanara legitimasi politik kekuasaan Mataram Islam,
dimana Panembahan yang terkenal sakti tersebut akan semakin mudah
memperluas wilayahnya dengan bantuan pasukan makhluk halus Ratu Kidul.
Disamping itu, proses internalisasi
agama Islam di Kraton Mataram waktu peralihan menunjukkan adanya
perembesan agama dan budaya secara damai, tidak terputus,
sambung-menyambung dan dapat diterima oleh masyarakatnya (Raja
berpengaruh terhadap penyebaran agama di wilayahnya). Dengan demikian
secara fungsional-struktural, mitos persekutuan Panembahan Senopati dan
Ratu Kidul tersebut menunjukkan legitimasi kekuasaan raja dan agama
Islam melalui sinkretisme budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar