TEORI BUDAYA; Resume Buku Karya David Kaplan & Robert A. Manners, Penerjemah Landung Simatupang
I
Antropologi: Metode dan Pokok Soal dalam Penyusunan Teori
Antropologi merupakan satu-satunya ilmu
pengetahuan sosial yang berusaha mempelajari/membahas kedua sisi
sifat-hakikat manusia sekaligus, yakni sisi biologis (antropologi
ragawi) dan sisi kultural (antropologi budaya). Antropologi mengambil
budaya manusia dari segala waktu dan tempat, menjelajahi masalah-masalah
yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, teknologi,
ekologi, agama, bahasa, kesenian dan mitologi. Masalah utama dalam
antropologi adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya,
pemeliharaan budaya maupun perubahannya dari masa ke masa. Oleh karena
budaya itu bersifat dinamis, berbeda dari yang satu dengan budaya yang
lain, maka untuk dapat menjelaskan hal tersebut kita harus mempelajari
mekanisme, struktur, dan sarana-sarana kolektif di luar diri manusia,
yang kemudian disebut sebagai “budaya” (culture). Kultur/budaya
merupakan suatu golongan fenomen yang diberi muatan makna tertentu oleh
antropolog dalam rangka menghadapi soal-soal yang mereka coba untuk
memecahkannya.
Mengenai keragaman/perbedaan pengaturan budaya, antropolog memandang (a) bahwa perbedaan sesuatu yang ada begitu saja
sebagai fenomen untuk dicatat, atau sebagai variasi-variasi dalam suatu
tema besar yang bernama relativisme budaya, pandangan ini memunculkan
kepustakaan yang melukiskan cara hidup sejumlah bangsa besar di dunia.
Fatwa antropologi ini “Manusia itu sama, budayanya yang beraneka”.
Pandangan selanjutnya, (b) keragaman tidak dipandang sebagai fenomen
untuk sekedar dicatat, melainkan dipersoalkan juga alasan penjelasannya,
yang berarti antropolog menuntut adanya teori.
Relativisme lawan perbandingan
Relativisme (sebagai tesis ideologis)
menyatakan bahwa setiap budaya merupakan konfigurasi unik yang memiliki
citarasa khas dan gaya serta kemampuan tersendiri. Kaum relativis
menyatakan, bahwa suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan
tunggal, dan hanya sebagai dirinya sendiri. Sedangkan komparativis
menyatakan bahwa suatu institusi, proses, kompleks, atau ihwal, haruslah
dicopot dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu
sehingga dapat dibandingkan dengan insitusi, proses, kompleks, atau
ihwal-ihwal dalam konteks sosiokultural lain. Relativisme ekstrim
berangkat dari anggapan bahwa tiada dua budaya pun yang sama; bahwa
pola, tatanan, dan makna akan terperkosa jika elemen-elemen
diabstraksikan demi perbandingan. Kedua pandangan tersebut memiliki
titik temu, yaitu tidak diizinkannya pemerkosaan. Soal ideologi, minat
dan tekananlah yang menimbulkan keragaman metodologis. Kedua pandangan
tersebut mengakui bahwa tidak ada dua budaya pun yang persis sama.
Perbandingan dan Tipe Struktural
Tipe struktural adalah suatu klasifikasi
fenomen yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan,
selagi kita mendefinisikan ciri tersebut. Perbandingan yang dilakukan
oleh antropolog yang lebih sadar diri dan sistematis dapat dilakukan
dengan dua jenis kajian. Pertama adalah jenis perbandingan skala kecil
dalam suatu wilayah geografis; jenis kedua adalah survei lintas-budaya
berskala besar yang mencakup sejumlah budaya yang tidak memiliki
hubungan historis.
Perbandingan dengan lintas budaya skala
kecil lebih menguntungan dibanding dengan lintas-budaya skala besar,
yaitu (1) kajian ini lebih siap mempergunakan teknik penelitian lapangan
tradisional; (2) masyarakat-masyarakat dengan teknologi sederhana di
suatu kawasan geografis cenderung memiliki hubungan historis sehingga
memojokkan kita untuk memutuskan apakah kita sedang menghadapi kasus
tunggal yang berfragmentasi, atau beberapa kasus yang muncul secara
bebas (independen).
Kajian besar memungkinkan dicakupnya
banyak kasus independen. Kelemahan dari kajian skala besar ini adalah
ketidakmampuannya mendeskripsikan tipe-tipe dengan sesuatu cara yang
akan memungkinkan pembandingan dalam setiap tipe itu masing-masing
maupun antara tipe yang satu dengan tipe yang lain.
Masalah Pendefinisian Teori
Pengetahuan teoritik berusaha
menjelaskan fenomen empirik. Teori bukanlah sekedar ikhtisar data yang
ringkas, karena tidak hanya mengatakan ‘apa’ yang terjadi melainkan juga
‘mengapa’ sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan. Maka,
teori yang berharga harus melaksanakan fungsi ganda, yaitu (1)
menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan (b) membuka celah
pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta baru pula
Hubungan antara Teori Etnologi dan Fakta Etnografi
Perbedaan antara fakta dan teori telah dikeramatkan dalam antropologi, yaitu berupa perbedaan antara etnografi (pemerian/deskripsi budaya) dan etnologi (pembentukan teori mengenai pemerian itu). “Pengumpulan fakta sendiri bukanlah prosedur ilmiah yang telah memadai; fakta hanyalah ada sehubungan dengan teori; dan teori tidak dirusak oleh fakta, teori digantikan oleh teori-teori baru yang memberikan penjelasan yang lebih baik tentang fakta iru” (Julian Steward, ‘Cultural Causality and Law’).
Masalah-masalah Khusus dalam Pembentukan Teori Antropologi;
Pandangan-dalam lawan Pandangan-luar Mengenai suatu Budaya
Ilmuwan sosial dihadapkan pada masalah khusus dalam hal data yang ditanganinya. Konsep-konsep yang digunakan oleh orang-orang yang dipelajarinya sering berbeda dengan konsep si antropolog, hingga timbul soal metodologis yang tak kunjung usai dalam antropologi. Dalam menyususn deskripsi mengenai budaya lain, apakah kita akan memerikannya sesuai dengan lihatan orang-orang yang berada di dalam budaya itu, yaitu menurut kaegori konseptual warga budaya yang bersangkutan (pendekatan emik)?; atau, apakah pemerian itu kita susun kategori konseptual dalam antropologi, yakni sebagaimana budaya itu kelihatan dari luar (pendekatan etik)?
Objektivitas Pelaporan Antropologis
Masalah lama dalam ilmu-ilmu sosial yang
belum terpecahkan sampai sekarang adalah kesenjangan si peneliti.
Bagaimana dapat diharap tercapai pengetahuan objektif mengenai fenomena
sosio-kultural bila praktisi ilmu sosial sekaligus ideolog? Masalah yang
muncul adalah adanya bias pribadi dari si antropolog sendiri, rasa suka
dan tak sukanya sendiri. Pada dasarnya semua manusia mengalami bias.
Objektivitas harus dicari dalam institusi dan tradisi kritik suatu
disiplin. Lewat saling memberi dan menerima kritik terbuka serta melalui
saling pengaruh antara bermacam-macam bias dapat kita harapkan
munculnya sesuatu yang mendekati objektivitas. Dengan kata lain,
objektitivitas hakiki sesuatu disiplin diupayakan dan ditingkatkan
secara kumulatif dari masa-ke masa.
Pembentukan Teori
Ilmu pengetahuan atau sains adalah rentetan pertanyaan dan pengujian bukti mengenai suatu fenomena.
Verstehen.
Verstehen adalah pandangan bahwa ilmu
sosial bukanlah perumusan sistem penjelasan yang umum, melainkan lebih
cenderung pada pengorganisasian dan presentasi data dengan cara tertentu
yang menjadikan data itu dapat dipahami melalui suatu proses pemahaman
dan empati individual. Ilmu-ilmu sosial bersifat ideografis
(partikularistik) dan tidak bersifat nomotetis (menggeneralisasi). Ilmu
bukanlah metode untuk menghasilkan teori. Teori adalah tindak kreatif
yang lahir dari pikiran yang menggenggam informasi dan berdisiplin.
Historisitas/Kesejarahan.
Pertama, adanya kondisi sosial yang
berubah-ubah dalam perjalanan waktu mendorong harus diciptakannya teori
baru untuk menjelaskan struktur baru dan pengaturan sosial baru. Hal ini
sesuai dengan konsep teori dinamis, yaitu teori mengenai sistem-sistem
yang berubah, sedangkan teori statis adalah mengenai daur yang muncul
berulang dalam sesuatu sistem.
Kedua, Sistem Terbuka. Pada intinya
sistem yang dihadapi oleh antropolog bersifat terbuka. Berbeda dengan
ahli-ahli ilmu alam yang lebih berhasil dalam menyatakan kondisi-kondisi
tertutup atau kondisi batas dari sistem-sistem yang mereka kaji. Hal
ini karena jenis variabel yang mereka hadapi memang memungkinkan, dan
karena variabel-variabel itu lebih dapat dikontrol dalam situasi
eksperimental. Sedangkan antropolog yang mempersoalkan jenis variabel
yang jauh lebih banyak, tidak dapat mengontrol semua variabel yang
mungkin relevan. Dengan demikian penjelasan terebut bersifat sangat
probabilistik.
Ketiga, Isu-isu Sosial. Antropologi dan
ilmu-ilmu sosial lain sering menghadapi masalah yang tersodorkan atas
nama kepentingan dan kepribadian masyarakat luas. Sementara, dalam
kenyataannya disiplin-disiplin tersebut tidak memiliki alat-alat
konseptual dan analisis yang memadai untuk memecahkannya, berbeda dengan
ilmu alam yang seimbang dengan taraf kecanggihan yang dicapai ilmu itu
pada saat tertentu.
Keempat, Ideologi. Reaksi orang terhadap
proposisi-proposisi umum dalam ilmu sosial mempunyai konteks ganda,
yakni sebagai teori maupun sebagai ideologis sekaligus. Hal ini
mempersulit penyaringan teori, mana yang harus dipertahankan karena
bermanfaat, dan mana pula yang harus disisihkan karena kurang
bermanfaat. Teori sering diajukan dan direaksi sehubungan dengan
faktor-faktor yang sepenuhnya bersifat ekstra-ilmiah,misalnya adalah
implikasi moral atau yang dianggap sebagai implikasi moral dari suatu
teori. Banyak teori yang ditolak karena dipandang bersifat deterministik
dan merendahkan martabat manusia; tegasnya, ia ditolak bukan atas dasar
alasan logis atau empiris.
IIORIENTASI TEORITIK
Orisentasi teoritik atau pendekatan yang akan dibahas dalam bab ini adalah evolusionisme, fungsionalisme, sejarah, dan ekologi.
Evolusionisme Abad Kesembilan Belas: Suatu Perspektif Historis
Beberapa kritik terhadap era ini adalah,
bahwa Evolusionis abad ini sangat etnosentris. Pertama, mereka
menganggap bahwa Inggris dalam era (Victorian England) atau ekuivalennya
merupakan prestasi tertinggi yang dicapai umat manusia. Kedua,
evoluisionis ini telah melakukan spekulasi dari belakang yang ceroboh;
mereka melakukan rekonstruksi logis berdasarkan data yang diragukan.
Ketiga, mereka dipersalahkan karena telah mempostulasikan bagian
uniliniar perkembangan kebudayaan yang dikaitkan dengan keniscayaan
kemajuan (progress). Tegasnya, mereka dikatakan telah menyatakan bahwa
semua budaya harus menempuh runtunan tahap-tahap yang sama atau secara
kasar sama, dalam perjalanannya menuju puncak-puncak seperti yang
dicapai oleh masyarakat Inggris Victoria dalam abad kesembilan belas.
Evolusionisme Mutakhir; Childe, White, dan Steward
Seorang arkeolog Inggris terpandang V.
Gordon Childe (Man Makes Himself, 1941; dan What Happened in History,
1946), menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa kemajuan
teknis yang dramatik dalam sejarah manusia (budidaya tumbuhan dan hewan,
pertanian irigasi, penemuan logam, dll) telah membawa perubahan
revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural manusia.
Rekaman arkeologis itu menunjukkan bahwa keseluruhan pola perubahan
bersifat evolutif dan progresif. Dari pemburu-peramu yang nomadik dalam
masa Paleolitik, manusia telah maju sehingga menempuh kehidupan seorang
pecocok tanam (holtikulturalis) yang menetap sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.
Leslie A. White dan Julian Steward
(antropolog Amerika), selalu konsisten memegang orientasi evolusioner.
Menurut White, tanda-tanda adalah hal atau kejadian yang memiliki arti inheren dengan bentuk fisik tanda itu, atau arti itu diidentifikasikan begitu dekatnya dengan bentuk fisik sehingga tampaknya inheren.
Di pihak lain, simbol atau lambang merupakan benda atau kejadian yang
artinya dilekatkan secara arbitrer (sewenang) oleh orang yang
menggunakannya secara kolektif.
Mengenai evolusi budaya, White
menyatakan konsepnya. Sementara budaya merupakan piranti adaptasi bagi
manusia untuk berakomodasi terhadap alam dan mengadaptasikan alam
padanya, pada dasarnya manusia-dalam-budaya melaksanakan hal itu dengan
mengerahkan energi yang tersedia dan mempekerjakannya demi kepentingan
spesies tersebut. Senada dengan White, Steward pun bersikap kritis
terhadap para relativis yang menekankan keberbedaan setiap budaya, dan
praktis mengabaikan kemiripan lintas-budaya yang mengesankan sebagai
yang terungkap dalam proses kultural.
Letak perbedaan antara Steward dan
White, dan dengan demikian antara Steward dengan evolusionis abad
kesembilan belas pula, ialah letak pada taraf generalitas yang menjadi
pijakan dalam konseptualisasi evolusi budaya. Jenis evolusionisme White
oleh Steward disebut evolusionisme universal (karena
berlaku untuk keseluruhan budaya dan bukan untuk budaya-budaya
tertentu). Steward mengontraskannya dengan pendekatan uniliniar (semua
budaya dikatakan telah melampaui tahap-tahap yang sama atau mirip) yang
dialamatkannya pada para penulis abad kesembilan belas. Steward juga
mengontraskannya dengan ancangan Steward sendiri yang disebutnya evolusi
multiliniar, yaitu sebagai metodologi untuk menelaah perbedaan dan
kemiripan budaya melalui perbandingan antara runtunan-runtunan
perkembangan yang paralel, umumnya di wilayah-wilayah geografis yang
terpisah jauh.
Ada tiga gagasan yang berkait, dan
secara bersama-sama merupakan unsur sentral dalam ancangan Steward
mengenai evolusi budaya: (1) institusi inti lawan institusi periferal;
(2) tipe budaya; (3) taraf integrasi sosial-budaya. Institusi adalah
yang paling erat hubungannya dengan cara suatu budaya beradaptasi
terhadap lingkungan dan mengeksploitasi lingkungan itu. Institusi Inti
dapat meliputi unsur-unsur budaya ideologis, sosiopolitis, dan
teknoekonomis, faktor-faktor teknoekonomislah yang paling menonjol
pengaruhnya dalam menetapkan serta membentuk ciri-ciri strategis suatu
masyarakat.
Beberapa Sumbangan Baru
Marshal Sahlins pernah mengemukakan
bahwa pandangan White dan Steward mengenai evolusi budaya bersifat
saling melengkapi dan bukannya bertentangan. Dia melihat dua cara dalam
mengkonseptualisasikan proses evolusioner. Di satu pihak, evolusi budaya
telah menghasilkan taraf pengorganisasian yang meningkat, yakni sebagai
sistem-sistem yang memperlihatkan kompleksitas yang lebih besar dan
adaptabilitas yang menyeluruh. Sahlins menyebut proses atau aspek ini
sebagai ‘evolusi umum’ (general evolution). Sementara itu, ketika muncul
tipe-tipe kebudayaan baru, tipe-tipe itu mengalami proses yang tak
terelakkan berupa tradisi dan adaptasi terhadap lingkungan totalnya yang
khas. Demikianlah maka Sahlins menyebut proses atau aspek ini sebagai
‘evolusi spesifik’ (specific evolution).
Tipe-tipe Struktural
Dalam suatu ancangan evolusioner
tercakup penyusunan tipe-tipe struktural serta pengorganisasian
tipe-tipe itu dalam runtunan logis tertentu yang mendaki jenjang
kompleksitas yang makin tinggi, apapun definisi kompleksitas itu.
Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah penekanan dominan
dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa
dasawarsa silam. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar
bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum
metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya.
Artinya, kita harus mengetahui bagaimana keterkaitan antara
institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga
membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain adalah memandang
budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa
kaitan, yang muncul di sana-sini karena kebetulan historis.
Perubahan Budaya
Keluhan yang lazim dilontarkan mengenai
analisis fungsional adalah karena analisis ini mempersoalkan
pemeliharaan-diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan perubahan
struktural. Untuk menjelaskan perubahan struktural, orang harus
mempertimbangkan bobot kausal variabel-variabel tertentu. Artinya,
haruslah ditentukan unsur, institusi, atau struktur mana yang lebih
mendasar, lebih fungsional daripada yang lain-lain.
Prasyarat Fungsional
Pada tahun 1950, sekelompok ilmuwan
sosial menerbitkan artikel yang memuat model masyarakat manusia. Model
itu menggeneralisasikan semua masyarakat manusia dan berisi daftar
“prasyarat fungsional”. Para penulisnya mengajukan pembenaran bagi
“dicantumkannya prasyarat itu masing-masing, dengan menunjukkan bahwa
jika secara hipotetis prasyarat itu tidak dipenuhi maka masyarakat tidak
bakal dapat lestari”. Daftar prasyarat yang mereka susun meliputi: (a)
jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya
rekruitmen seksual; (b) diferensiasi peran dan pemerian peran; (c)
komunikasi; (d) perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama; (e)
pengaturan normatif atas sarana-sarana; (f) pengaturan ungkapan afektif;
(g) sosialisasi; (h) kontrol efektif atas bentuk-bentuk perilaku
mengacau (disruptif).
Lebih lanjut, syarat analisis fungsional
yang memadai adalah minimal adanya: (a) suatu konsepsi tentang sistem;
(b) daftar syarat fungsional untuk sistem itu; (c) definisi berbagai
sifat atau “status” sistem yang dalam keadaan terpelihara; (4)
pernyataan tentang kondisi eksternal sistem itu yang dapat dibayangkan
memiliki pengaruh terhadap sifat-sifat tersebut dan dengan demikian
dapat dikontrol; dan (5) pengetahuan tertentu tentang mekanisme internal
dalam pemeliharaan sifat sistem itu atau dalam mempertanyakannya agar
berada dalam batas tertentu.
Sejarah
Peristiwa sejarah merupakan peristiwa
yang terjadi pada masa silam, dan bahwa pengetahuan kesejarahan adalah
pengetahuan tentang peristiwa masa silam. Akan tetapi karakterisasi
sejarah sebagai “perhatian terhadap masa lampau” itu mungkin tidaklah
selugas atau sejelas kedengarannya. Masa lampau dapat berarti kejadian
yang berlangsung lima menit yang lewat, lima tahun sebelumnya, atau lima
ratus tahun yang silam, dan sebagainya. Akan tetapi terdapat metode
yang berbeda untuk menangkap kembali atau membangun kembali antara yang
lima menit yang lalu dengan yang lima atau lima ratus tahun silam. Dalam
membicarakan masa lampau yang dekat mungkin kita bisa mengandalkan
pengalaman kita sendiri ditambah laporan serta amatan para informan,
petunjuk dan bukti yang tersedia dalam dokumen-dokumen. Sedangkan untuk
membicarakan masa lampau yang jauh, pengalaman pribadi yang langsung
tidak ada, sehingga kita menyandarkan diri pada bukti, petunjuk tak
langsung yang terdapat dalam artefak, catatan-catatan semasa, serta
bentuk dokumentasi lain. Meskipun demikian tidak ada perbedaan berarti
antara metodologi historiografi yang baru (recent) dan yang jauh (remote)
dalam hal tafsir. Jika minat kita tidak sekedar pada kronologi
pengisahan sejarah alam, kita harus menggunakan proses klasifikasi,
kategorisasi, serta menunjukkan kemungkinan hubungan antara tipe-tipe
kejadian alam. Di sinilah perspektif fungsional dan perspektif
evolusional harus dikawinkan dengan perspektif historis. Sebab hanya
dengan menggabungkan fungsionalisme, evolusionisme, dan sejarah itulah
kita baru dapat mulai merumuskan teori. Dengan menata data secara
demikian, perhatian kita akan tertuju pada tipe-tipe elemen atau
kejadian yang membantu kita memahami cara-cara kerja sistem yang konkret
dan juga alasan munculnya cara kerja itu.
Jika kita tidak meletakkan kejadian
historis dalam suatu kerangka fungsional-evolusioner, sejarah kita tetap
berupa narasi atau kronologi. Demikianlah maka eksistensi dan arti
fakta historis atau etnografis, seperti halnya semua fakta hanya dapat
muncul dalam kaitan dengan teori atau kriteria relevansi yang
menghadirkan fakta itu.
Ekologi Budaya
Suatu ciri dalam ekologi budaya adalah
perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama, sehubungan dengan
cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan
kedua-sebagai konsekuensi adaptasi sistemik itu-perhatian terhadap cara
institusi-institusi dalam sesuatu budaya beradaptasi atau saling
menyesuaikan diri. Ekolog-budaya menyatakan bahwa dipentingkannya
proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan,
pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi budaya. Umumnya
ekologi kultural cenderung menekankan teknologi dan ilmu ekonomi dalam
analisis mereka terhadap adaptasi budaya, karena dalam segi-segi budaya
itulah kelihatan jelas perbedaan di antara budaya-budaya di samping
perbedaan dari waktu ke waktu di dalam suatu budaya. Berbeda dengan
ekologi umum, ekologi budaya tidak sekedar membicarakan interaksi
bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu, melainkan
membahas cara manusia (berkat budaya sebagai sarananya) memanipulasi dan
membentuk ekologi sistem itu sendiri.
Konsep Lingkungan
Kata lingkungan umumnya disama-artikan
dengan ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami:
cuaca, flora dan fauna, tanah, pola hujan, dan bahkan ada-tidaknya
mineral di bawah tanah. Salah satu kaidah dasar ekologi-budaya adalah
pembedaan antara lingkungan-sebagaimana-adanya dengan lingkungan
efektif, yakni lingkungan sebagimana dikonseptualisasikan, dimanfaatkan
dan dimodifikasi oleh manusia.
Konsep Adaptasi
Adaptasi merupakan proses yang
menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Budaya dan lingkungan
berinteraksi dalam sesuatu sistem tunggal tidaklah berarti bahwa
pengaruh kausal dari budaya ke lingkungan niscaya sama besar dengan
pengaruh lingkungan terhadap budaya. Dengan kemajuan teknologi, maka
faktor dinamik dalam kepaduan budaya dan lingkungan makin lama makin
didominasi oleh budaya dan bukannya oleh lingkungan sebagai lingkungan
itu sendiri. Konsep adaptasi menurut para antropolog adalah bahwa suatu
budaya yang sedang bekerja, dan mengganggap bahwa warga budaya itu telah
melakukan semacam adaptasi terhadap lingkungannya secara berhasil baik.
Seandainya tidak demikian, budaya itu niscaya sudah lenyap, dan
kalaupun ada peninggalannya itu hanya akan berupa kenangan arkeologis
tentang kegagalan budaya itu beradaptasi. Artinya kegagalannya untuk
lestari sebagai sebentuk budaya yang hidup. Dua budaya dalam lingkungan
yang sama, salah satunya mampu melebarkan sayapnya dengan merugikan
budaya lainnya. Hal ini berarti kelestarian budaya yang pertama mampu
beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya dibanding dengan adaptasi
budaya yang digusurnya.
III TIPE-TIPE TEORI BUDAYA
Sebuah teori diarahkan untuk menjawab
pertanyaan mengapa (bagaimana) timbul regularitas alam; dengan demikian
teori harus memuat pernyataan tentang mekanisme tertentu serta hubungan
antara variabel-variabel yang tercakup dalam fenomen yang diselidiki.
Teknoekonomi
Kata teknoekonomi tidak hanya mengacu
pada mesin dan alat yang digunakan budaya tertentu, melainkan juga cara
benda-benda itu diorganisasikan dalam penggunaannya, dan bahkan juga
pengetahuan ilmiah yang memungkinkan hadirnya benda-benda itu.setiap
komponen teknologi (teknoekonomi) itu penting; tetapi dalam keadaan
kultural dan historis tertentu, seperangkat faktor (misalnya: alat-alat)
mungkin lebih menentukan daripada faktor-faktor lainnya. Penetapan
akhir apakah suatu budaya “memutuskan” untuk membiarkan “teknologi”
memegang kendali atau “memutuskan” untuk mengendalikan “teknologi” demi
perbaikan sosial, adalah produk sejarah dan pengaturan sosioekonomis
beserta ideologi yang mengiringinya. Pada kedua kasus itu efektivitas
ideologi dibatasi atau ditentukan oleh berbagai jenis kekuasaan yang
mampu atau tidak mampu dilaksanakannya.
Ekologi Budaya dan Teknoekonomi: Orientasi dan Teori
Teori-teori teknoekonomi tidak secara
eksklusif memusat pada teknik dan alat yang digunakan oleh suatu
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya. Singkatnya, bagian
pertama dari kata bentukan itu (tekno) mengacu pada perlengkapan teknis
atau materiil dan pengetahuan yang ada dalam (dan dapat dimanfaatkan
oleh) masyarakat. Sedangkan kata kedua (ekonomi) menekankan pengaturan
yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam menggunakan perlengkapan
teknis dan pengetahuannya untuk produksi, distribusi, serta konsumsi
barang dan jasa. Dalam pengertian yang dibatasi secara sewenang ini,
teknologi adalah representasi dari “kesempatan” (opportunity), sedangkan ekonomi representasi cara pemberlakuan kesempatan itu dalam masyarakat.
Determinan Teknoekonomi
Ungkapan “determinan teknologi” dan
“determinan teknoekonomi” sering digunakan secara kurang selayaknya
untuk menandai serta mengevaluasi sesuatu karya. Implikasinya adalah
karya yang disebut demikian mengandung sesuatu yang simplistik,
mekanistik, dan kurang imaginatif. Akan tetapi sulit menghindarkan
adanya determinisme sosioekonomis dengan derajad tertentu, dalam segala
analisis mengenai perubahan kultural. Di antara kesemua faktor yang
digunakan antropolog untuk memberikan penjelasan, faktor-faktor
teknoekonomi adalah yang paling kelihatan dan paling mudah dipahami.
Oleh karenanya, teori-teori teknoekonomis menjadi lebih gampang
dikukuhkan dengan bukti atau disanggah jika dibandingkan dengan
teori-teori lainnya.
Struktur Sosial
Evans-Pritchard mengemukakan bahwa
struktur sosial merupakan konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap;
menurut Talcott Parsons, ia adalah suatu sistem harapan/ekspektasi
normatif (normative expectations); Leach mengatakannya
sebagai seperangkat norma atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss
berpendapat bahwa struktur sosial adalah model. Beberapa
strukturalis-sosial berupaya menjelaskan struktur kemasyarakatan dengan
merumuskan beberapa kaidah tertentu yang menjadi landasan organisasi.
Maka sejumlah antropolog Inggris-misalnya-dalam menganalisis masyarakat
yang memberlakukan garis keturunan segmentaris sering berbicara tentang
“kaidah segmenter” itu hingga terkesan seolah warga masyarakat itu
memiliki “cetak biru” dalam pikiran mereka tentang masyarakat mereka
sendiri, yang kemudian mereka laksanakan. Radcliffe-Brown mengajukan
beberapa prinsip struktural macam itu untuk menyoroti beberapa ihwal
dalam sistem kekerabatan: kaidah ekuivalensi saudara sekandung, kaidah
solidaritas garis keturunan, dan seterusnya.
Peran Struktur Sosial Sebagai Penentu
Konseptualisasi struktur sosial
berhubungan dengan tindak sosial, interaksi sosial, dan perilaku peran.
Jalan pikiran mengenai struktur sosial ini sewajarnya memusatkan
perhatian pada individu atau aktor sosial sebagai pengejawantahan
struktur tersebut. Secara keseluruhan, inilah yang menyebabkan munculnya
anaisis “mikroskopis” yang ditunjuk oleh Nisbet. Pada tataran
deskripsi, pendekatan ini sangat asuk akal karena bagaimanapun juga yang
kita amati dalam penelitian lapangan adalah tindak serta interaksi
individu-individu.
Matra Politik
Bergantung pada cara konseptualisasinya
dan penekanannya, institusi politik dapat pula dipandang sebagai
variabel struktural yang memiliki dampak penentu atau kausal. Dalam
analisis perbandingan tentang hubungan antara kekuasaan politik dan
perekonomian dalam masyarakat stateless (khususnya chiefdom,
yakni masyarakat primitif yang luas dan bersegmen majemuk serta memiliki
pemerintahan pusat) Marshall Sahlins menunjukkan bahwa ketika kedudukan
atau jabatan yang mengandung kekuasaan muncul (bukan kekuasaan yang
sekedar melekat pada karakteristik pribadi) kedudukan politik itu (atau
orang yang menempatinya) mereaksi struktur perekonomian dan
mereorganisasikannya menjadi jaringan produksi serta distribusi yang
berbeda cukup tajam dengan ciri-ciri perekonomian sebelumnya.
Ideologi
Dalam hal ini istilah ideologi mengacu
kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya. Dengan demikian dalam hal
ini, istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan
religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia,
etos, dan semacamnya. Dalam penggunaan yang lebih modern dan sempit,
ideologi biasanya mengacu pada sistem gagasan yang dapat digunakan untuk
merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang, atau
menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak, atau pengaturan kultural
tertentu. Dengan demikian bila sekarang orang berkata bahwa suatu sistem
gagasan bersifat “ideologis”, biasanya ini berarti gagasan-gagasan itu
bersifat partisan, artinya: tidak terlalu objektif melainkan disusun
untuk mendukung (atau menyerang) sesuatu misi atau maksud tertentu.
Dalam pengertian ini nuansa khusus tersebut dipertentangkan dengan
kenetralan pengetahuan dalam artinya yang murni. Dikatakan bahwa ideolog
menggunakan atau bahkan mencocok-cocokkan fakta demi mendukung sikap
ideologisnya, dan bukannya membenahi sistem gagasannya sendiri manakala
fakta menghendaki demikian. Oleh sebab itu, kebanyakan peneliti modern
sungguh-sungguh berupaya untuk membedakan gagasan-sebagai-pengetahuan si
satu pihak, dengan ideologi di pihak lain.
Masalah Metodologis dalam Menetapkan Batas Subsistem Ideologi
Ideologi tidak dapat kita ketahui
melalui pengamatan langsung karena sifanya subjektif. Ideologi harus
disimpulkan dari sesuatu bentuk perilaku, yakni dari apa kata orang atau
dari pengamatan atas orang-orang yang berinteraksi dalam berbagai
sistem sosial. Kendati demikian, masyarakat yang masih sederhana
umumnya kurang memiliki kepustakaan tertulis yang mungkin dapat membantu
kta mengetahui struktur ideologisnya, keuntungannya bagi kita ialah
bahw subsistem yang kita hadapi merupakan subsistem yang relatif
homogen, yang disangga bersama oleh kebanyakan warga masyarakat
tersebut.
Ada beberapa keputusan metodologis yang
sangat penting untuk mencoba memahami gejala ideologis yang subjektif
dibalik perilaku terbuka, yaitu: pertama, berapa besarkah bobot yang
harus diberikan pada pernyataan verbal yang dikemukakan oleh
informannya? Ketika orang mengemukakan alasan tindakannya dalam suatu
situasi tertentu, apakah alasannya itu adalah alasan “sebenarnya”? Atau,
apakah orang itu tidak tahu (bodoh), berdusta secara sadar, membuat
rasionalisasi, mengemukakan versi resmi, ataukah hanya mengatakan hal
yang disangkanya ingin kita dengar? Jenis kesulitan yang lain adalah,
apakah yang kita akui sebagai gejala ideologis hanyalah unsur-unsur dan
proposisi yang dianut dan dikatakan oleh sehimpun orang secara sepenuh
sadar? Ataukah kita terima kemungkinan bahwa perilaku suatu masyarakat
namun sekaligus begitu mendalam terinternalisasikan sehingga mereka
sendiri sampai tak sanggup mengungkapkannya dengan kata-kata.
Masalah Penjelasan Kausal
Faktor ideologis mempengaruhi komponen
budaya melalui proses pengkondisian psikologis, yakni lewat dampak
gagasan terhadap perilaku manusia. Melford Spiro menyatakan bahwa
landasan-landasan teoritik untuk meneliti sesuatu sistem ideologi
(termasuk agama) sehingga mampu membuahkan penjelasan kausal,
sungguh-sungguh goyah; biasanya kita juga tidak teryakinkan oleh
tafsir-tafsir demikian. Hal itu karena kita seringkali tidak mengetahui
berapa tingginya “taraf” pengetahuan dan internalisasi para aktor sosial
sehubungan dengan ideologi budayanya. Selanjutnya Spiro membedakan lima
“taraf” penyerapan/pembelajaran ideologi (ideological learning) yang
mungkin dapat membantu kita menjelaskan berbagai dampak ideologi
terhadap variabel kultural atau subsistem lain: (1) melalui arahan atau
petunjuk formal, atau secara informal, aktor lebih mempelajari (atau
mengetahui) segi tertentu dari ideologi budayanya; (2) para aktor tidak
hanya telah mengetahui pemikiran tertentu melainkan juga memahaminya
dengan baik dan dapat menggunakannya secara benar dalam konteks sosial
yang tepat; (3) karena memahami pemikiran tertentu maka para aktor juga
mempercayainya sebagai hal-hal yang benar dan valid; (4) dalam diri
aktor pemikiran itu memiliki peran kognitif yang menonjol sebagai
petunjuk dalam menstrukturkan dunia sosial dan alaminya; (5) di samping
kedudukannya yang menonjol di bidang kognitif, pemikiran tersebut telah
mengalami internalisasi yang sedemikian rupa dalam diri aktor sampai
pemikiran itu tidak hanya berfungsi sebagai pegangan melainkan juga
pendorong perilaku.
Logika Hal Irrasional
Dalam antropologi banyak penjelasan yang
berupaya menunjukkan apa yang oleh Ely Devons dan Max Gluckman disebut
sebagai “logika hal irrasional”. Dengan kata lain, sementara banyak di
antara institusi (lembaga, pranata) masyarakat primitif kelihatan ganjil
dan irrasional di mata pengamat awam, pekerjaan antropolog adalah
menunjukkan bahwa di balik irrasionalitas itu institusi-institusi
tersebut sesungguhnya rasional walaupun partisipannya sendiri barangkali
tidak menginsyafi rasionalitas itu. Dalam menjelaskan rasionalitas hal
yang irrasional itu antropolog sering terbawa pada subsistem ideologi.
Kepribadian: Matra Sosial dan Psikobiologis
Subsistem kepribadian ini (kadang
disebut ‘budaya dan kepribadian’, ‘kepribadian dalam budaya’,
‘antropologi psikologi, dll) juga merupakan bidang yang amat luas dan
rumit. Demikian beberapa hal pembahasan pokok soal teoritik dan
metodologis yang niscaya melibatkan dalam segala upaya untuk
memanfaatkan variabel-variabel kepribadian guna menjelaskan fenomena
kultural. Pokok soal pertama adalah, apakah variabel kepribadian harus
ditinjau sebagai bagian integral dari sistem budaya yang bersangkutan,
yang setara dengan variabel-variabel ketiga subsistem lainnya, ataukah
ditinjau sebagai sesuatu yang secara analitis bersifat eksternal
terhadap sistem budaya itu sehingga tidak mempunyai makna kausal? Dengan
kata lain, sementara manusia dan budaya jelas sekali tak terpisahkan,
bolehkah kita katakan bahwa kepribadian yang menyebabkan (adanya)
budaya? Atau, dapatkah kita anggap (demi keperluan pejelasan) bahwa
psike dan kepribadian manusia merupakan konstan-konstan, atau variabel
terikat, dan dengan demikian tak relevan dengan pembahasan mengenai
stabilitas dan variasi kultural? Pokok soal kedua berkaitan dengan yang
pertama; jika variabel-variabel kepribadian dipandang sebagai bagaian
integral dari sistem kulturnya, sejauh manakah variabel itu menjalankan
pengaruh kausal terhadap bagian lain dari keseluruhan sistem? Kalau kita
memandang kepribadian secara demikian, maka pertanyaan-pertanyaan
teoretis seperti yang kami kemukakan dalam dalam pembahasan tentang
subsistem lain pun harus diberlakukan dalam pembicaraan tentang
kepribadian ini.
Aliran Budaya-Kepribadian yang Lama
Sejak masa awalnya sebagai bidang
pengetahuan yang sistematis, antropologi telah memasalahkan proses
mental. Misalnya,’kesatuan psikis umat manusia’ yang merupakan salah
satu aksioma tertua dan fundamental dalam disiplin ini jelas adalah
anggapan tentang proses mental yang berlaku bagi segala manusia
(panhuman). Demikianlah maka dalam memegang teguh anggapanb tersebut
antropologi meninggalkan penjelasan rasial, biologis, dan genetis
mengenai perubahan budaya. Antropologi beralih ke penjelasan tentang
perbedaan itu sebagai fenomena sosio-kultural. Setelah menerima premis
bahwa proses mental pada hakikatnya sama untuk seluruh umat manusia,
banyak hal di antara para antropolog yang awal-awal melanjutkannya
dengan berspekulasi tentang keadaan dan sifat-hakikat proses mental itu.
Aliran Budaya-Kepribadian yang Baru
Kognisi. Tujuan utama
antropologi kognitif ialah mengetahui alat konseptual yang digunakan
suatu bangsa untuk mengklasifikasikan, menata, dan menafsir semesta
sosial serta alaminya. Para kognisianis juga memandang kajian tentang
model dan pemahaman oleh warga budaya tertentu sebagai piranti atau
metodologi yang akan menghasilkan penelitian etnografis yang betul-betul
mencerminkan realitas versi warga budaya yang bersangkutan itu sendiri.
Mereka menyatakan bahwa deskripsi (paparan, pemerian) seperti itu
cenderung lebih andal dan lebih besar kemungkinan replikasinya daripada
uraian yang didasarkan pada akumulasi pemahaman seorang peneliti selaku
antropolog, dan yang merupakan produk budaya yang berbeda dengan budaya
yang sedang dipelajarinya. Antropolog kognisi bertolak dari asumsi bahwa
setiap masyarakat memiliki suatu kode kognitif atau seperangkat kode
(atau kaidah) kognitif yang meliputi semua ranah (domain) budaya serta
menandai masyarakat itu. Kemudian mereka menelaah keadaan dan
sifat-hakikat kode-kode tersebut.
Tyler mengemukakan pemikirannya, yaitu
agar peneliti mengawali kerjanya dengan mengumpulkan atau mencari kode
kognitif (untuk suatu ranah budaya) atau kode-kode kognitif (untuk lebih
dari satu ranah budaya) yang dimiliki oleh seorang individu, atau
sekurang-kurangnya oleh suatu sampel yang luas dan representatif dari
semua individu dalam kelompok. Ini harus dilakukan untuk: pertama,
menyadap atau merangkum seluruh atau sebagian besar keragaman kognitif
yang mungkin terdapat dalam kelompok yang bersangkutan. Setelah kerja
pertama ini selesai, penelaah kemudian melakukan induksi, abstraksi,
dan/atau sintesis yang hingga kini belum dapat diuraikan apa dan
bagaimananya. Dari proses itulah nanti diderivasikan atau disusun suatu
model besar atau “model unitaris satu-satunya” yang “hanya terdapat
dalam pikiran antropolog”. Akhirnya konstruksi hipotesis ini (yang
dibangun dari konstruk tentang kode hipotesis lainnya) dalam pikiran
pengamat menjadi “suatu sistem kognitif bangsa yag bersangkutan” yang
memiliki kekuatan atau kapasitas (tak terjelaskan) untuk menghasilkan
“model-model konseptual yang digunakan oleh bangsa itu”.
Bahasa dan Kode Kognitif
Anggapan lain yang mendasari banyak dari
karya antropologi kognitif adalah bahwa kategori itu terkodekan dalam
struktur dan ciri-ciri pembeda kebahasaan yang digunakan oleh suatu
bangsa. Dengan demikian dipandang bahwa telaah tentang julukan dan
klasifikasi kebahasaan terkandung dalam ranah-ranah budaya seperti
penyakit, warna, kerabat, tumbuhan, dan sebagainya, akan langsung
mengantar kita pada kategori kognitif yang digunakan oleh para warga
suatu masyarakat menata ranah-ranah itu dan bahkan dalam memikirkannya.
Akan tetapi, seperti telah ditunjukkan oleh banyak penulis, bahasa
mungkin sangat kurang andal sebagai petunjuk untuk mengetahui pola-pola
pemikiran kognitif para penggunanya. Alasan pertama adalah, seperti
dikemukakan oleh Harris, ada banyak ambiguitas (ketaksaan) fungsional
yang tak terhapuskan. Ketaksaan ini sejak awal-awalnya telah terkandung
dalam keseluruhan tuturan sehari-hari, dan juga dalam bentuk komunikasi
yang lebih khusus seperti puisi, kritik sastra, seni, dan sebagainya.
IV
ANALISIS FORMAL
Strukturalisme dan etnografi-baru antara
lain mencakup ancangan yang disebut etnosemantik, etnosains, dan
analisis-komponen. Titik berat ancangan semacam itu adalah pada kode
budaya, kaidah konseptual, sistem lambang, dan sebagainya. Dalam
strukturalisme gaya Levi-Strauss, yang dijadikan fokus telaah dan sumber
penjelasan adalah sifat logis pikiran manusia itu sendiri. Sedang dalam
etnografi-baru, kaidah konseptual, aturan kognitif, dan kategori yang
digunakan orang dalam berbagai masyarakat untuk menata pengalamannya,
dianggap menjelaskan perilaku serta pengaturan sosial-budayanya. Akan
tetapi karena kaidah, aturan, dan kategori yang digunakan oleh para
etnograf-baru itu sangat bersifat psikologis, maka seperti Levi-Strauss
mereka akhirnya harus mencari penjelasan itu sehubungan dengan pikiran
manusia. Ini merupakan upaya yang sudah panjang riwayatnya dalam
antropologi. Yang membuat strukturalisme dan etnografi-baru kelihatan
menonjol sebagai perintis adalah bahwa metodologi, peristilahan, dan
kerangka konseptual yang digunakannya banyak bersumber tidak hanya pada
lingkungan struktural, namun juga pada perkembangan paling mutakhir dari
ilmu-ilmu yang disebut high sciences: teknologi komputer, teori komunikasi, sibernetika, game theory,
analisis sistem, dan logika simbolik. Model utama yang paling
berpengaruh adalah bahasa, yang menurut Levi-Strauss dan etnograf-baru
pada hakekatnya memandang budaya sebagai bahasa dalam arti
seluas-luasnya.
Model sebagai Piranti Heuristik
Model ialah sebagai analogi dan
metafora. Penggunaan model sebagai analogi dapat memberikan pertolongan
konseptual yang penting dalam analisis serta penjelasan di bidang
antropologi. Kapan dan di manapun, semua disiplin keilmuan – yang
‘keras’ maupun ‘lunak’ – menggunakan model, analogi, dan metafora. Sifat
paling bermanfaat pada suatu model (menurut Kaplan) adalah kemungkinan
heuristik-nya bukan presisinya. Seperti semua penalaran yang bersifat
analogis, suatu model dapat berfungsi sebagai piranti untuk menawarkan
cara agar pengetahuan yang diperoleh di bidang tertentu dapat membantu
menerangi bidang pengetahuan lain. Dengan demikian, analogi organik atau
model organik mengenai suatu budaya menyarankan bahwa dalam suatu
sistem budaya akan menunjukkan hubungan dan proses serupa dengan yang
terdapat dalam sistem organik.
Soal kegunaan model tertentu ini,
artinya: terjamin tidaknya harapan, dugaan, dan kemungkinan yang
dijanjikannya- tentu akan bergantung pada telaah empirik tentang suatu
sistem budaya yang jelas dan menetu. Hanya dengan demikianlah dapat
ditentukan apakah betul ada kesamaan antara perilaku sistem budaya
dengan perilaku sistem organik yang bersangkutan. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam menggunakan model, yaitu: pertama, suatu model
selalu merupakan aproksimasi (penghampiran). Relasi antara model dengan
sebarang fenomena empirik selalu bersifat partial, tidak seutuh-utuhnya.
Jadi, dalam hal analogi organisme tadi, suatu sistem budaya mungkin
berperilaku seperti suatu sistem organik dalam beberapa hal, tetapi
tidak dalam hal-hal lain. Kedua, hubungan antara suatu model dengan
fenomena empirik selalu bersifat isomorfis (sama bentuk);
artinya: hubungan antara keduanya ialah kesamaan struktur dan bukan
identitas. Misalnya, bila kita dikatakan bahwa proses yang berlangsung
dalam sistem budaya mirip dengan proses yang berlangung dalam sistem
organik, itu tidak berarti budaya adalah sistem organik. Jenis model
yang paling luas penggunaannya adalah model ‘formal’. Suatu model formal
adalah seperangkat unsur yang didefinisikan secara cermat-tepat,
ditambah dengan aturan logis untuk menggabung-gabungkannya secara
terampil. Unsur-unsur model formal berhubungan secara logis, sehingga
keseluruhan sistem itu dapat kita pandang sebagai bentuk simbolik.
Strukturalisme
Segala ilmu (keras, lunak, ragawi,
hayati, sosial) mempersoalkan struktur, yakni cara bagian-bagian suatu
sistem tertentu saling berkait. Strukturalisme didirikan oleh
Levis-Strauss. Agar dapat memahami alasan yang melatarbelakangi
spekulasi teoritik Levi-Strauss, kita harus mengingat perspektif dan
metodologi linguistik struktural. Suatu bahasa pada hakikatnya adalah
sistem perlambangaan yang disusun secara sewenang/arbitrer. Jika
ditinjau sebagai sistem bunyi, unit-unit konstituen bahasa ialah
fonem-fonemnya, yakni kelompok signifikan yang memuat unsur-unsur bunyi.
Unsur-unsur bunyi tersebut hanya dapat diberi batasan sehubungan dengan
ciri-ciri yang menandai kontras antara kelompok satu dan kelompok lain,
dan bukan sehubungan dengan kesamaan sifat antara sesama anggota suatu
kelompok. Jelaslah bahwa fonem sebagai fonem itu sendiri tdaklah berarti
apa-apa. Selain itu, fonem yang digunakan oleh suatu bangsa tertentu
semata-mata bersifat sewenang. Baru bila fonem itu digabungkan menjadi
unit linguitik yang lebih besar (morfem, kata, frase, kalimat, dan
seterusnya) menurut aturan morfologis dan ketatabahasaan yang
berbeda-beda secara sewenang pula antara bahasa satu dan bahasa lain,
maka muncullah arti, dan –dengan demikian-timbul komunikasi.
Bagi Levi-Strauss, budaya pada
hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau konfigurasi sistem
perlambangan. Lebih lanjut, untuk memahami sesuatu perangkat lambang
budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan
sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan
tetapi ketika Levi-Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagai
sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan referen atau arti
lambang secara empirik. Yang diperhatikan adalah pola-pola formal,
bagaimana unsur-unsur simbol saling berkait secara logis untuk membentuk
sistem keseluruhan.
Etnografi Baru
Etnografi baru (etnosains, etnosemantik,
analisis komponen, dst) muncul di kalangan antropolog Amerika
akhir-akhirini. Sebagai pendekatan formal untuk menganalisis materi
etnografi, etnografi baru mempunyai sasaran yang diajukan sebagai dalih,
yaitu: membuat pemaparan etnografis enjadi lebih akurat dan lebih
replikabel daripada yang dianggap telah berlaku pada masa sebelumnya.
Untuk mencapai tujan itu, begitu dikemukakan, etnografi harus berupaya
memproduksikan realitas budaya seturut pandangan, penataan, dan
penghayatan warga budaya. Ini berarti bahwa pemaparan tentang sesuatu
budaya tertentu harus diungkapkan sehubungan dengan kaidah konseptual,
kategori, kode, dan aturan kognitif ‘pribumi’ dan tidak sehubungan
dengan kategori konseptual yang diperoleh dari pendidikan sang atropolog
dan dibawa-bawanya ke kancah penelitian.
Dengan demikian, etnografi yang ideal
harus mencakup semua aturan, kaidah dan kategori yang pasti dikenal oleh
warga pribumi sendiri guna memahami dan bertindak tepat dalam berbagai
situasi sosial yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya
dengan cara inilah dampak penyenjangan yang timbul dari referensi teori
dan bias budaya si etnograf dapat dinetralkan, dan suatu deskripsi yang
mencerminkan realitas budaya ‘yang sesungguhnya’ dapat lebih dihampiri.
Demikianlah pokok pandangannya. Tokoh teoriwan terkemuka etnografi baru,
Goodenough mengemukakan bahwa ia kesulitan menghubungkan suatu
etnografi yang mengandalkan kategorisasi pribumi dengan suatu
antropologi teoretis dalam arti luas. Kala itu Goodenough mencoba
memecahkan masalahnya dengan menyarankan pemisahan antara antropolog
selaku etnograf deskriptif (berkaitan dengan kategori menurut warga
pribumi/warga sesuatu budaya tertentu) dengan antropolog selaku etnolog
komparatif (berbicara tentang kategori teoretis yang diajukan oleh
antropolog).
Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik Terhadap Fenomena Budaya
Kategori kognitif warga-budaya setempat
dirancang untuk membuat orang dapat hidup membaur dalam budaya tersebut.
Untuk sebagian besar, kategori-kategori itu-seperti halnya bahasa yang
digunakan suatu masyarakat atau bangsa tertentu-dipergunakan tanpa
dipikirkan lebih dahulu. Sedangkan kategori kognitif seorang antropolog
selaku antropolog dirancang untuk kegunaan lain: tidak untuk
mereproduksi “realitas kultural” melainkan untuk menjadikan realitas itu
dapat dipahami dalam suatu bingkai perbandingan. Lagi pula, kategori
yang digunakan antropolog selalu saja dapat direvisi secara kritis
dengan cara yang lazimnya tidak dapat dilakukan pada kategori kognitif
yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari seseorang. Dengan demikian,
maksud dan kegunaan pelaksanaan penelitianlah yang akan menentukan
apakah suatu pembahasan etnografis akan diungkapkan dalam “kategori
warga budaya setempat” (emik), atau menurut “kategori antropolog” (etik), atau dalam semacam kombinasi antara keduanya seperti sangat sering terjadi.
Jika ada beberapa manfaat untuk dipetik
dari kegiatan dan pencarian etnografi-baru, manfaat itu tidak datang
dari upaya “menyelami pikiran warga budaya pribumi/setempat”, atau dari
upaya yang sama muskilnya untuk “melakukan kajian utuh dan tuntas
tentang suatu budaya” tanpa dirancukan oleh campur tangan ideologis atau
intelektual antropolognya. Sturtevant yang jelas-jelas menyadari bahwa
beberapa di antara tujuan yang diangankan etnografi-baru itu tidaklah
realistik, menyimpulkan bahwa “penekanan dalam etnografi akan
terus-menerus dibimbing oleh minat etnologis dan minat komparatif.
Beberapa ranah tertentu akan mendapat lebih banyak perhatian ketimbang
ranah-ranah lain”.
VBEBERAPA TEMA LAMA DAN ARAH BARU
Antropologi dalam Krisis
Antropologi dapat dikatakan sedang
mengalami krisis yang terutama disebabkan oleh lenyapnya dunia primitif.
Dulu primitif memasok sebagian besar data yang dibutuhkan antropolog.
Antara lain sebagai kelanjutan perkembangan antropologi sendiri, juga
karena alasan lain, makin banyak desakan (dari dalam maupun luar
kalangan profesi ini) agar antropologi menjadi lebih relevan dan lebih
aktif. Ia diharap mulai memainkan peran penting dalam menggalakkan
perubahan sosial. Di tengah dampak desak-desakan itu, para antropolog
terpojok untuk bertanya-tanya: kemana kita setelah ini?
Pandangan Tradisional
Sejak awal mulanya, antropologi
(sekurang-kurangnya dalam prinsipnya) memandang semua budaya di segala
masa dan semua tempat sebagai bidangnya yang sah. Akan tetapi dalam
praktik, antropologi umumnya memasalahkan budaya non-barat, khususnya
yang berlingkup kecil dan bercorak eksotis. Konsentrasi ini disebabkan
oleh beberapa alasan, antara lain: menjelang pertengahan abad kesembilan
belas, ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi muncul sebagai bidang studi
yang terutama mempersoalkan institusi-institusi dalam masyarakat Barat.
Memang banyak ilmuwan sosial dalam kurun waktu tersebut mungkin telah
bersentuhan dengan data yang berasal dari daerah-daerah yang jauh dan
eksotis. Akan tetapi agaknya mereka pandang tidak banyak gunanya
melepaskan perhatian dari institusi-institusi dalam budaya mereka
sendiri, atau melakukan penelitian “tangan pertama” di kalangan “bangsa
primitif”. Pendeknya, tidak satupun di antara ilmu-ilmu sosial yang
“sudah mapan” itu melihat alasan untuk meninggalkan kenyamanan relatif
dalam melaksanakan penelitian dan spekulasi “di kandang sendiri”, dan
menjemput duka-lara di lapangan sebagai gantinya.
Dunia primitif menawarkan dirinya
sebagai laboratorium komperatif maha luas tempat orang dapat mempelajari
sesuatu tentang sifat dan hakikat manusia, potensi dan keterbatasannya,
tahap-tahap yang pernah dilewatinya, serta kemungkinan tahap yang akan
datang. Yang terkait dengan itu ialah adanya keyakinan bahwa kajian
tentang masyarakat eksotis lingkup kecil akan menyingkap proses sosial
tertentu yang mendasar secara lebih jernih dan definitif. Itu jika
dibandingkan dengan kajian macam itu dalam masyarakat Barat yang lebih
rumit. Alasannya, budaya-budaya “savage” itu tidak terbebani
dengan seluk-beluk peradaban dengan segala aturan kesantunannya. Dengan
demikian, dikemukakan bahwa kajian mengenai budaya yang jauh serta
sangat berbeda dengan budaya si pengkaji merupakan satu-satunya jalan
untuk menjadikan pengkaji itu mampu memperoleh perspektif dan
objektivitas mengenai budayanya sendiri.
Satu faktor yang telah menyumbang bagi
penetapan dan pertumbuhan antropologi sebagai suatu disiplin ilmu sosial
yang dikhususkan adalah penekanan pada kerja lapangan dan
observasi-partisipasi yang mulai muncul sebagai piranti utama
pengumpulan data antropologi kira-kira pada peralihan abad ini. Sebelum
itu, kebanyakan antropolog hampir semata-mata mengandalkan catatan para
pelancong, pedagang, penyebar agama Kristen, dan pejabat kolonial
sebagai sumber bahan etnografi. Akan tetapi dalam dasawarsa-dasawarsa
awal abad kedua puluh, antropolog makin banyak berupaya menghimpun bahan
kajiannya sendiri. Penelitian lapangan sungguh-sungguh menjadi “stempel
khas” antropologi.
Kritik terhadap Pandangan Tradisional
Beberapa dasawarsa terakhir ini,
sejumlah antropolog mengemukakan pertanyaan penting mengenai implikasi
sikap yang memperlakukan unit tradisional dalam penelitian antropologi
sebagai entitas yang relatif otonom dan secara fungsional independen.
Beberapa dari mereka mendasarkan kritiknya terutama pada hal-hal yang
menyangkut metodologi. Sementara otonomi dan independensi fungsional
antarkelompok mungkin merupakan asumsi metodologis yang bermanfaat
andaikata ada isolasi budaya yang lebih tinggi tarafnya, mereka
mengemukakan bahwa dalam era modern ini isolasi dan otonomi adalah mitos
yang dapat menyesatkan. Mereka katakan pula bahwa perlakuan terhadap
sesuatu suka atau sebarang kelompok sosial lain seolah kelompok macam
itu memang merupakan sistem yang bulat dan mandiri, secara metodologis
tidak dapat dipertahankan.
Kelompok kritikus lain dari kalangan
internal menyatakan bahwa justru asumsi-asumsi metodologis yang menjadi
tumpuan pendekatan tradisional itu sendiri tidak bebas dari unsur
emotif, dan tidak pula netral. Mereka mendakwa bahwa anggapan demikikan
mencerminkan bias metodologis yang mendasar sejak awal-awalnya telah
dikandung disiplin ini sendiri. Dengan demikian, selain menunjukkan
kekurangan yang melulu bersifat metodologis, mereka tambahkan kritik
yang berbau sosiologi-pengetahuan. Jenis kritik yang disebut belakangan
itu sifat dan implikasinya lebih tuntas dan menghantam.
Kecenderungan Masa DepanTitik Temu dengan Ilmu-ilmu Sosial lain
Pertumbuhan saling ketergantungan
antarsistem telah cenderung mengubah batasan wilayah ekonomi dan
wailayah budaya. Budaya-budaya di dunia tampaknya cenderung
bertitik-temu menjadi tipe tunggal-atau paling kuat menjadi beberapa
tipe budaya saja-yang berlandaskan teknologi industri. Seiring dengan
itu, ada peningkatan kecenderungan ke arah saling keterantungan
unit-unit sosial, politik dan ekonomi, kendati terdapat sejumlah gerakan
politik yang penting dan dramatis, yang bersifat nasionalitis serta
berlawanan dengan kecenderungan tersebut. Sementara itu banyak di antara
data empirik naupun konsep dan teori dasar antropologi bersumber pada
kajian mengenai unit sosial yang primitif dan relatif otonom.
Penghapusan dan/atau transformasi unit macam itu membawa implikasi
menonjol dan penting bagi masa depan.
Ada masanya, ketika perpaduan antara
holisme, perpanjangan masa pelaksanaan kajian lapangan, dan
perbandingan, menjadikan antropologi unik di antara ilmu-ilmu lain.
Ketika antropolog makin jauh melibatkan diri dalam mengkaji sistem yang
lebih kompleks, mereka pun semakin banyak berurusan dengan penggunaan
teknik statistika atau teknik kuantitatif lain yang sudah digunakan oleh
ekonom, sosiolog, dan psikolog dalam kerja mereka di kancah masyarakat
Barat. Bersamaan waktu dengan ketika antropolog dipaksa memodifikasi
holisme serta pengamatan langsungnya, ilmu-ilmu sosial lainnya pun
cenderung bergerak ke arah yang berkebalikan: menjadi lebih holistik,
lebih komparatif, dan makin bergantung pada teknik pengamatan langsung
di lapangan. Pada gilirannya, pertemuan atau konvergensi metode yang
kelihatan jelas dan makin meningkat ini mencerminkan minat yang tumbuh
terhadap perangkat ihwal dan masalah yang sama. Tranformasi dunia
primitif menjadi “dunia sedang berkembang” telah menyajikan suatu kancah
penelitian-bersama bagi sejumlah ilmuwan sosial. Masalah “development” dan “underdevelopment”
pun telah menjadi perhatian semua ilmu sosial. Perubahan tersebut
mengakibatkan semua ilmu sosial menipiskan ciri khas dan spesialisasi
metodologi masing-masing. Ilmu-ilmu sosial menjadi lebih saling
bergantung dalam hal penelitian, analisis, dan penerapannya, ketika
ilmu-ilmu itu secara kolektif mengarah pada suatu holisme jenis baru.
“Relevansi” dan Aplikasi
Suatu perkembangan lain dalam
antropologi adalah menguatnya penekanan pada kritik sosial terhadap
“rekayasa sosial” atau aspek terapan dari disiplin antropologi. Desakan
untuk meningkatkan keterlibatan ilmu-lmu sosial dalam program perubahan
sosial tampaknya datang dari beberapa sumber. Misalnya, masyarakat
industri maupun pascaindustri membutuhkan makin banyak teknisi dari
segala jenis, termasuk ilmuwan sosial. Makin tinggilah tuntutan agar
ilmu sosial menafsir dan membantu menyusun program guna mengurangi
(idealnya melenyapkan) akibat palin menyedihkan dari perubahan sosial
besar-besaran yang kini sedang berlangsung. Segala lecutan untuk lebih
terlibat, lebih peduli, lebih prihatin, lebih berperan aktif dalam
perubahan sosial ini dapat dinyatakan dengan ringkas sebagai
meningkatnya tuntutan untuk memperbesar “relevansi”.
Mungkin suatu pertanyaan atau masalah
dapat disebut “relevan” bila menimbulkan jawab yang memberikan
pengukuhan, penjelasan, atau bahkan modifikasi yang bermakna terhadap
tradisi per-teori-an suatu disiplin. Suatu ilmu sosial yang hanya
sedikit atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang bermakna bagi
penanganan ihwal sosial yang sezaman, memang sulit disebut ilmu sosial.
Di samping itu, tidak ada alasan logis yang mengharuskan suatu disiplin
dipilah menjadi dua antara segi “murni” dan segi “terapan”-nya, meskipun
dalam kenyataan kedua segi itu memang sering dipisahkan. Idealnya,
keduanya terus-menerus saling melengkapi dan saling menyegarkan selaku
dua segi kegiatan ilmiah. Singkatnya, ilmuwan-tidak kalah dengan filsuf
politik-harus selalu jeli dan siaga terhadap kemungkinan kreatif yang
mungkin muncul dari kegiatan mengawinkan teori dengan praktis.
REVIEW BUKU TEORI BUDAYA;
David Kaplan & Robert A. Manners, Penerjemah Landung Simatupang
Oleh: Sumaryono, S.Pd
Menurut Ahimsa Putra (2007: 3) teori
dapat diartikan sebagai suatu pernyataan, pendapat atau pandangan
mengenai (1) hakekat suatu kenyataan atau suatu fakta, atau tentang (2)
hubungan antara kenyataan atau fakta tersebut dengan kenyataan atau
fakta lain, dan kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode
dan prosedur tertentu. Sedangkan kata budaya dapat diartikan sebagai
‘jiwa manusia yang telah masak’ yang berarti pula buah budi manusia
(Dewantara, 1994: 72). Dengan demikian teori budaya merupakan suatu
alat/cara pandang untuk memahami hasil buah budi/karya manusia.
Beberapa teori yang muncul dalam buku
ini oleh Manners dan Kaplan dijelaskan dengan menggunakan model-model
tertentu. Ada beberapa teori yang begitu menarik perhatian pereview,
antara lain objektivitas pelaporan antropologi, teori perubahan budaya,
konsep adaptasi, ideologi, dan pandangan tradisional.
Objektivitas pelaporan antropologi
memang sangat diutamakan dalam penelitian dan penyusunan laporannya.
Kadang hal tersebut di anggap mudah atau malah dimudahkan dalam
pengambilan data maupun pelaporannya, sehingga yang nampak adalah
subjektivitas atau bias dari peneliti sendiri yang muncul. Mungkin hal
tersebut dipengaruhi juga oleh intuitif si peneliti agar apa yang
dilaporkannya dapat dianggap lengkap. Atau mungkin juga peneliti tidak
mematuhi etika pengambilan data dan pelaporannya.
Selanjutnya, adanya perubahan budaya
dipengaruhi oleh sifat budaya yang dinamis, seperti yang diungkapkan
oleh Ki Hajar Dewantara (1994: 74-75) bahwa budaya itu akan mengalami
perubahan, ada waktunya lahir, tumbuh, maju, berkembang, berbuah,
menjadi tua dan mati, seperti hidup manusia. Para ahli antropolog
mengemukakan sebuah model bahwa kebudayaan itu seperti makhluk hidup.
Hal ini terkait dengan teori Evolusi Kebudayaan, bahwa suatu budaya akan
mengalami perubahan sesuai dengan jamannya. Kebudayaan akan mengalami
seleksi alam, mana yang kuat akan terus hidup dan sebaliknya, yang lemah
akan tertutupi oleh suatu budaya yang kuat tersebut. Alam
sekelilingnya, adalah kekuatan-kekuatan yang menuntut sebuah kebudayaan
untuk beradaptasi. Jika suatu kebudayaan tidak mampu mempertahankan
keberadaannya, maka kebudayaan tersebut akan punah, tertutup oleh
kebudayaan lain maupun alam lingkungannya.
Manusia dianugrahi akal, budi dan
pikiran guna menyelaraskan kehidupannya dengan alam sekitar. Alam
pikiran tersebut memunculkan suatu ideologi, di mana pada dasarnya
pikiran manusia bersifat subjektif. Ideologi inilah akhirnya juga akan
mempengaruhi subjektivitas peneliti dalam pengambilan data maupun
pelaporannya. Jadi, antara kawasan ideologi, subjektivitas, intuitif
mempunyai andil besar munculnya bias si peneliti.
Tugas besar seorang antropolog adalah
mendeskripsikan suatu budaya yang belum pernah terjamah oleh penelitian,
dan dalam pandangan tradisional mesti daerah dan orang-orang primitif
merupakan sasaran utamanya. Oleh karena adanya berbagai kesulitan yang
ditemui dalam penelitian lapangan, maka tak banyak antropolog yang mau
meninggalkan kenyamanan untuk menjemput ketidaknyamanan selama
melaksanakan kerja lapangan pada tempo tertentu. Pandangan inilah yang
menghambat perkembangan antropologi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
masyarakat primitiflah yang menyumbang data terbesar untuk perkembangan
ilmu antropologi, meskipun keberadaan orang-orang primitif tersebut pada
saatnya tidak dapat ditemukan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar