“SEMIOTIKA
NEGATIVA” (Resume Buku ST. SUNARDI)
A.
ROLAND BARTHES (1915-1980) : BIOGRAFI IMAJINASI SEMIOTIK
“Sekalipun saya ingin
sekali mengukir karya saya dalam bidang keilmuan (seperti sastra, leksikologi,
sosiologi), saya akui tulisan-tulisan saya hanya berupa esai, sebuah genre yang
ambigu yang dibanding-bandingkan dengan tulisan buku,” tulis Barthes tentang
karya-karyanya.
Barthes merasa perlu menjelaskan “ilmu semiotika”
dan posisinya di tengah-tengah ilmu-ilmu lainnnya, karena sesuai dengan
tradisi, seorang profesor baru mesti menjelaskan pendekatan keilmuannya yang
akan diajarkan. Namun, bagi Barthes, itu bukan satu-satunya alasan. Ada alasan
lain yang mengganjal di hatinya. Konon, dalam proses seleksi kandidat
profesor beredar rumor sinis tentang diri Barthes di kalangan sejumlah
profesor. Rumor ini menyangkut kepantasan seorang Barthes untuk menduduki kursi
profesor penuh wibawa di College, karena Barthes dikenal sebagai seorang
akademisi yang terlalu fashionable, modis! Image ini sudah
melekat pada Barthes karena tidak terlepas dari kegiatan intelektual
Barthes selama ini.
Menghadapi rumor tersebut, orang yang
berada dalam posisi paling sulit adalah Foucault. Foucault, karena posisinya di
College, harus mewawancarai Barthes dan memberikan penilaian pada dewan
profesor. Barthes adalah sahabat lama, mereka bertemu pada tahun
1950-an. Dalam perjalanan waktu persahabatan ini “retak”, berubah menjadi
perang dingin. Yang tersisa adalah persaingan intelektual yang mencuat lewat
polemik. Pada tahun 1975 mereka “harus” bertemu: Barthes datang sebagai seorang
pemalar kandidat profesor baru. Foucault rupanya panik. Secara psikologis ia
tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk bertemu dan melakukan wawancara
dengan “intelectual rival”.
Lima tahun kemudian, pada sore hari di
awal April 1980, saat mengharukan namun juga dramatis “menimpa” Foucault lagi.
Kini giliran dia harus angkat bicara. Oleh para kolega profesor, Foucault
mendapatkan kepercayaan untuk mengucapkan eulogia di hadapan jenazah Barthes
yang meninggal secara tak terduga karena tertabrak truk pada tanggal 26 Maret.
Persahabatan! Itulah tema yang dipilih Foucault-tema yang amat mahal untuk
melukiskan hubungan di antara keduanya yang baru saja dipulihkan.
Untuk memasuki perjalanan intelektual
Barthes, saya membaginya menjadi 3 momen – istilah yang juga dipilih Barthes
daripada istilah tahap atau periode. Di antara pembagian yang sudah ditawarkan
oleh banyak penulis (termasuk oleh Barthes sendiri), saya memilih pembagian
sebagai berikut: momen literer-ideologis, momen ilmiah, dan momen tekstual.
Bayang-bayang Sartre dalam Sastra
Buku Writing Degree Zero – entah
langsung atau tidak – merupakan hasil dari hangatnya perbedaan pendapat di
Perancis waktu itu di sekitar tanggung jawab sastra dalam masyarakat. Persoalan
yang diajukan Sartre muncul lagi dalam buku Barthes. Barthes bahkan juga
membuka tulisannya dengan judul “What is Writing?” Tidak mengherankan
jika buku Barthes dibaca berdasarkan buku Sartre. Pada tahun 1968 Sontag belum
melihat sentralitas konsep writing dalam tulisan Barthes tersebut. Dia
masih silau oleh aura Sartre. Konsep writing tidak lebih daripada sebuah
revisi kecil yang kurang berarti atas dua unsur dalam teori sastra Sartre: language
dan style. Akan tetapi tujuh belas tahun kemudian, yaitu tahun 1981,
atau beberapa saat setelah Barthes meninggal, penilaian Sontag tentang writing
berubah. Kali ini, entah sadar atau tidak, justru Sontag yang merevisi
pandangannya. Ia tidak mengingkari sentralitas writing dalam sejarah
intelektual Barthes dan orisinalitas konsep itu dalam pemikiran Perancis
modern.
Sejarah tulisan. Barthes sendiri
menyebut Writing Degree Zero sebagai “Pengantar Sejarah Tulisan” (Introduction
to a History of Writing). Buku yang sangat abstrak ini (paling abstrak di
antara tulisan-tulisannya) dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisikan
sebuah treatment sastra secara teoritis –sinkronis dan bagian kedua
lebih bersifat historis. Berbeda dengan Sartre yang hanya membedakan dua unsur
dalam sastra, yaitu bahasa (language) dan gaya (style);
Barthes menambah satu unsur lagi, yaitu tulisan (writing).
Pelembagaan Sastra. Barthes mengamati
sejarah tulisan sastra dari zaman Klasik dan Romantik (abad ke-17 dan 18)
sampai sastra modern (pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20). Kalau zaman
Klasik/Romantik ditandai dengan pelembagaan Sastra, pada awal abad ke-20
ditandai dengan kematian lembaga Sastra.
Krisis Sastra : munculnya tulisan
modern. Periode yang diikuti oleh disintegrasi ideologi borjuis – suatu
krisis yang tidak disebabkan oleh Revolusi Perancis melainkan lebih oleh
Marxisme! Krisis ini berlangsung kurang lebih satu abad. Awal krisis ditandai
dengan munculnya kesadaran untuk menjadikan tulisan sebagai “object of
creative action’. Artinya, tulisan menjadi medium bagi penulis untuk
berkreasi dan bukan hanya menghasilkan karya-karya sastra sesuai dengan gaya
literer resmi.
Sastrawan tanpa
Sastra. Krisis
ini mencapai puncaknya lewat karya-karya Mallarme (1842-1898) yang disebut
“pembantai bahasa” (“murderer of language’). Mallarme mengantar Sastra
ke pintu gerbang Tanah Terjanji, yaitu “sebuah dunia tanpa Sastra, meskipun
begitu para penulis harus memberikan kesaksian tentang dunia.” Tanah Terjanji
sebagai dunia tanpa Sastra ini mulai dimasuki dan dihuni oleh para “penulis
tanpa Sastra” seperti Sartre dan Camus.
Sastra sebagai saksi
kemanusiaan 1.
Jadi keterlibatan seorang penulis terletak dalam kesaksian yang ia berikan atas
kemanusiaan. Kesaksian ini tidak diungkapkan secara positif melainkan negatif,
tidak dalam kebisingan ideologis melainkan dalam kebisuan murtlak (complete
silence).
Sastra sebagai saksi
kemanusian 2. Dalam
hal ini menarik kita perhatikan pengamatan Tony Judt lewat Past Imperfect.
French Intellectuals, 1944-1956 (1996) yang berisikan sejarah
cendikiawan Perancis setelah Perang Dunia II. Di tengah hingar-bingar (sebagian
besar) cendikiawan negara-negara Eropa lainnya yang bicara soal politik,
ideologi, kebebasan (politik); “cendikiawan Perancis pertama-tama tetap peduli
pada sastra, filsafat, atau seni” dan dengan begitu mereka menghasilkan
“kebudayaan yang secara kokoh berorientasi pada kata”.
Kritik atas realisme sosial. Kita mendapat kesan
(terutama kalau kita tinjau dari perspektif konflik ideologi) bahwa sastra yang
terlibat, sastra yang ber tanggungjawab, tulisan kosong adalah sastra
sebagaimana dihasilkan para penulis realis sosial. Barthes menolak kesan ini.
Para realis sosial gagal menciptakan tulisan degree zero karena mereka
masih menggunakan estetika realisme (semacam naturalisme) borjuis sebagai
modelnya – yaitu estetika yang mementingkan menggambarkan realitas apa adanya.
Tulisan sebagai
idiolek.
Sepuluh tahun kemudian, dalam Elements of Semiology (1996) Barthes
menyejajarkan tulisan (walaupun secara roughly) dengan apa yang dalam
linguistik disebut idiolek, yaitu “the language of a linguistic community,
that is, of a group of persons who all interpret in the same way all
liunguistic statements”. Dengan bantuan semiotika ini – yang belum ia pakai
(karena belum ia kenal?) ketika ia menulis Writing Degree Zero –
konsep tulisan menjadi semakin matang dan di kemudian hari menjadi konsep kunci
di samping konsepnya tentang teks.
Sastra. Pentingnya sastra
dalam perjalanan hidup imajinasi intelektual Barthes dapat kita lihat lewat
saat-saat penting ketika ia mengubah minatnya. Sastra menjadi alat ukur dan
ujinya. Sastra ibarat cahaya yang menembus bidang-bidang yang masih gelap namun
perludialami. Tetapi sastra juga bisa membuat hal-hal yang tak absurd menjadi
lebih bisa diterima – sekalipun tidak intelligible. Apa itu sastra?
Sastra yang mana? Sastra menurut siapa? Justru persoalan-persoalan ini yang
selalu membimbing Barthes.
Kritik ideologi
budaya massa.
Dari segi tema, Mythologies berisi problematisasi ideologi dalam budaya
massa; dari segi pendekatan buku ini merupakan buku teori semiotik tentang
ideologi atau budaya massa pada umumnya. Barthes sendiri tidak menyebut
teorinya dengan sebutan teori atau kritik ideologi melainkan teori mitos.
Meskipun demikian tidaklah menyesatkan kalau kita menggunakan teori ideologi
juga untuk teori mitos karena pada akhirnya apa yang dicari dalam teori mitos
tidak lain adalah ideologi.
Momen Ilmiah-Saussurean
Strukturalisme: label
mematikan. Strukturalisme
adalah sebuah label yang dilematis untuk dikaitkan pada orang seperti Barthes
(juga Foucault, Lacan, dan Derrida). Dilema pertama-tama tidak muncul dari
orang-orang yang hendak diklasifikasikan melainkan dari kegiatan klasifikasi
itu sendiri (disana ada asumsi: ilmu sebagai klasifikasi atau klasifikasi
sebagai kegiatan ilmiah!). Dilema ini tidak kurang rumit daripada dilema yang
muncul ketika orang mulai berbicara tentang seni bertitik tolak dari genre.
Gejala terima atau tidak terima atas label “stukturalisme” membuktikan bahwa
“strukturalisme” atau “struktural” sudah menjadi wacana dalam arti Foucauldian.
Strukturalisme:
deortodoksisasi. Apakah Barthes merasa nyaman dengan sebutan ini? Ya dan
tidak. Ya, karena ia memang pernah terpesona dengan pendekatan struktural dan
memeriksa kemungkinan terbesar yang bisa disumbangkan oleh pendekatan ini bagi humanism.
Tidak, karena strukturalisme hanya salah satu momen di antara momen-momen
lainnya. Meskipun demikian, harus diakui bahwa momen struktural dalam hidup
Barthes merupakan momen amat penting.
Harapan atas
semiotika.
Barthes membaca tulisan Saussure pada pertengahan tahun 1950-an. Dia merasa
kagum (I’was dazzled”) begitu melihat kemungkinan pengembangan teoretis
yang dijanjikan semiotika untuk memecahkan problema hubungan antara bahasa,
budaya dan ideologi.
Menunaikan harapan. Langkah Barthes
selanjutnya adalah mempelajari dan menjalankan semiotika dengan mengajar,
menulis, meneliti, dan berdialog dengan para pemikir sezamannya. Tentu kita
tidak bisa melupakan buku Mythologies yang sudah disebut di atas yang
merupakan the founding text dalam kajian budaya media.
Semiotika sebagai pendekatan ilmiah 1. dalam bentuknya yang
sangat sistematis dan programatis, moment of science sebagai pencarian
pendekatan semiotik dapat kita periksa dalam elements. Gottdiener
menyebut Element sebagai buku paling berpengaruh dalam bidang semiotika
sejak Perang Dunia II.
Semiotika sebagai pendekatan ilmiah. Untuk mendapatkan
gambaran lebih menyeluruh tentang jatuh bangun Barthes dalam mengembangkan
pendekatan semiotik sebagai pendekatan ilmiah, kita mesti membandingkan dan
melengkapi Element dengan sejumlah esai lainnya (yang ditulis baik
sebelum maupun sesudah Element) yang secara khusus membahas satu atau
dua elements dalam analisis semiotik.
Semiotika budaya
media.
Dari perspektif teoritis ini, kita mesti menilai analisis-analisis Barthes
tentang produk-produk budaya media seperti mode, iklan, film, drama, objek
wisata, dan tema-tema lain yang sering kurang mendapat perhatian di lingkungan
akademik. Lewat analisis-analisis ini Barthes memberikan sumbangannya yang
paling orisinal dalam kajian budaya massa. Yaitu, orisinalitas yang lahir bukan
dari sintesis abstraksi melainkan dari sejarah budaya modern itu sendiri, namun
juga orisinalitas yang hari ini sudah menjadi ortodoksi!.
Bukan momen akhir. Kalau kemudian
Barthes dikaitkan dengan kelahiran dan laju semiotika modern, penilaian ini
bukannya tanpa alasan. Dia mengajar semiotika, membuat teori, dan meneliti
dengan pendekatan semiotika. Last but not least, ia diberi “Kursi
Semiotika” di College of France, perguruan prestisius yang melahirkan
pemikir-pemikir besar (seperti Michelet, Paul Valery, Merleau-Ponty, Louis
Althusser, Emile Benveniste, dan tentu saja, Michel Foucault). Barthes memang
membuat semiotika menjadi pendekatan ilmiah (satu di antara
pendekatan-pendekatan ilmu sosial kemanusiaan yang sudah ada), memasukkan objek
kajian “tidak ilmiah” ke lingkungan dunia akademik, dan yang paling penting
membiarkan semiotika dikembangkan oleh sejarah modern.
Analisis Tekstual Pos-Saussurean
Analisis tekstual.
Perjalanan
teoritis Barthes berakhir pada teori teks atau analisis tekstual. Istilah
“analisis tekstual” dibedakan dari analisis semiotik-positivistik dan/atau
analisis struktual yang selama ini ia jalankan dengan penuh ketaatan dan
kekaguman. Pergeseran ini dilihat secara retrospektif adalah pergeseran menuju
pendekatan pos-struktural dimana Barthes menjadi salah satu perintisnya.
Pleasure. Pergeseran paling
mendasar terjadi pada tataran epistemologis. Istilah epistemologi bahkan tidak
terpaksa lagi dalam analisis tekstual. Epistemologi diganti dengan pleasure.
Pengembangan landasan teoritis. Dalam bentuknya yang
puitis (dalam arti memberikan inspirasi kreatif), teori teks dituangkan dalam
bukunya The Pleasure of the Text (1973). Dalam bentuknya yang lebih
retorik (memberikan daya persuasi tinggi), kita menemukannya dalam “The
Inaugural Lecture” (1977). Dalam bentuknya yang lebih skematis kita baca dalam
“From Work of Text” (1971) dimana Barthes membuat tujuh tesis tentang teks dan
karya. Analisis teks juga memaksakan Barthes untuk meninjau kembali kedudukan
seorang author lewat tulisannya “The Death of the Author” (1968) yang
sebelumnya sudah pernah ia bahas lewat “Author and Writers” (1960).
Analisis tesktual
atas narasi.
Analisis tekstual yang ia jalankan dengan kurang lebih tuntas ia lakukan dengan
membaca “Sarrasien” karya Honore de Balzac dan dapat kita baca dalam S/Z”. Di
kemudian hari, tulisan yang merupakan hasil seminar di Ecole Pratique des
Hautes Etudes (1968-69) ini sering ia rekomendasikan pada para pembaca yang
ingin melihat contoh sebuah analisis tekstual yang kurang lebih utuh.
Kritik sastra. Melihat penerapan
analisis tekstual dalam karya-karya sastra di atas, sumbangan Bathes pada
perkembangan kritik sastra di Perancis tidak bisa diabaikan. Barthes sering
dianggap sebagai salah satu peletak dasar bagi nouvelle critique di
samping Foucault dan Derrida, memberi inspirasi bagi bangkitnya kembali avant
garde.
Budaya media. Analisis tekstual
tidak hanya diterapkan pada sastra melainkan juga terhadap gejala budaya pada
umumnya atau “the struggle between men and signs”. Kalau dalam “Change the
Object It Self” Barthes merevisi teori mitos dengan mengatakan bahwa tujuan
analisis mitos bukan lagi mencari makna dari objek melainkan menciptakan objek
baru, teorinya itu ia terapkan dalam buku Empire of Signs (1970), sebuah
tulisan yang dibuat dari pengalamannya mengunjungi Jepang.
Kritik seni. Perkembangan akhir
dari pemikiran Barthes barangkali mengecewakan mereka yang ingin membuat sebuah
penelitian dengan design komprehensif dan taksonomi serinci mungkin.
Semiotika negativa atau
semiotropi.
Apakah dengan meninggalkan pendekatan semiotiko-struktural Barthes menolak
kategori tanda (semeion)? Tidak, Barthes tidak sedang melakukan
penghancuran tanda (semioklasme). Sebaliknya, ia justru menjadi semakin
“tergila-gila” dengan tanda. Oleh karena itu pendekatannya juga ia sebut semiotropis.
Dengan istilah ini ia ingin menunjukkan semiotika bukan semata-mata ilmu
tentang tanda melainkan cinta akan tanda.
Aforisme. Dalam awal tulisan
ini kita melihat pengakuan Barthes pada tahun 1977 yang hanya mampu
menghasilkan esai. Seandaianya Lecon diberikan pada tahun 1980-an,
barangkali ia akan mengakui bahwa ia tidak menghasilkan apa-apa kecuali
serpihan-serpihan teks atau aforisme. Sekalipun diterbitkan dalam sebuah “buku”
(misalnya The Pleasure of the Text dan Canera Lucida),
tulisan-tulisan Barthes pada hakikatnya adalah kumpulan aforisme. Semangat
aforisme ini juga kita temukan dalam Empire of Sign.
B. PROBLEMATISASI KONSEP-KONSEP DASAR
“The aim of semiological research is to
reconstitute the functioning of the systems of signification other than
language in accordance with the process typical of any structuralist activity,
which is to build a simulacrum of the objects under observation.” – Roland Barthes.
Pendekatan semiotik.
Kutipan
pertama di atas (diambil dari “Conclusion” buku Elements of Semiology)
akan kita pakai sebagai titik berangkat untuk mengenal konsep-konsep dasar
semiotika Barthesian (tentu saja juga Saussurean). Jadi, tujuan penelitian
semiotik adalah “to reconstitute” (sementara tidak kita terjemahkan)
berfungsinya sistem signifikasi selain bahasa; tugas ini dijalankan melalui
langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh seorang strukturalis, yaitu
membangun sebuah simulacrum dari objek yang sedang diteliti.
Semiotika: linguistik,
ilmu tanda, filsafat. Seperti sudah disebut di muka,
semiotika menandai lahirnya linguistik modern, yaitu ilmu yang mempelajari
bahasa. Barthes tertarik pada semiotika bukan pertama-tama sebagai linguistik,
tapi karena semiotika bisa mempelajari juga “other than language”.
Ternyata semiotika tidak hanya membuka era baru bagi linguistik dan studi
kebudayaan modern melainkan juga filsafat. Kalau sebagai ilmu tanda (baik
linguistik dan non linguistik) semiotika lebih dekat dengan ilmu positivistik-paling
tidak pada awal perkembangannya, sebagai filsafat bahasa, semiotika
merefleksikan dirinya sendiri.
Struktural – sistem
signifikasi.
Tujuan dan prosedur penelitian semiotik mirip dengan yang dilakukan dalam
penelitian struktural. Barthes tidak menjelaskan apa-apa tentang pendekatan
struktual. Maklumlah, pada waktu itu pendekatan struktural sudah menjadi mainstream
atau sudah menjadi pengetahuan umum di lingkungan komunitas intelektual
Perancis pasca Sartrean.
Konsep-konsep dasar.
Untuk
mengenal konsep-konsep dasar dalam semiotika, kita harus pandai membatasi diri
dan memilih. Kalau tidak, konsep yang satu justru dapat mengaburkan konsep yang
lain. Oleh karena itu, konsep-konsep yang akan disentuh disini akan dipilih
yang benar-benar penting dan itupun tidak akan dibicarakan secara mendalam.
Semakin mendalam akan semakin membingungkan karena setiap konsep mempunyai
sejarah kontroversinya masing-masing.
1. Tanda
Signification. Signification yang sudah kita
pakai di atas berasal dari bahasa Latin significatio. Kata Latin ini –
secara etimologis – terdiri dari dua kata dasar : signum (tanda) dan facere
(membuat). Significatio berarti – menurut Kamus Latin-Indonesia
– “hal menunjuk, hal menyatakan, pengungkapan, petunjuk, tanda, isyarat.”
Tanda (sign). Dalam pembahasan
tentang tanda, Barthes mulai dengan pernyataan Saussurean: “Signified dan
signifier [….] adalah komponen-komponen tanda”. Pembedaan secara
internal dalam tanda ini mempunyai dampak luar biasa dalam ilmu tentang tanda
(semiotika).
Contoh: supermarket. Kata “supermarket”,
misalnya, bisa menjadi tanda, karena dia memiliki signifier (kata itu
sendiri) dan signified (tempat nyata dimana kita bisa berbelanja
berbagai macam kebutuhan dengan manajemen mutakhir dan pelayanan prima).
Kesatuan antara kata dan kenyataan itulah yang membuat supermarket menjadi
tanda (sign). Untuk orang yang buta huruf atau yang belum mengenal sama
sekali ungkapan tersebut, kata “supermarket” bukanlah tanda. Justru karena dia
tanda, ia akan siap dihubungkan dengan tanda-tanda lain dan, dengan demikian,
mempunyai hubungan eksternal. Hubungan antara signifier dan signified
ini disebut hubungan simbolik dalam arti bahwa signifier menyimbolkan signified.
Kalau kita pergi ke supermarket, objek yang kita saksikan itu juga bisa menjadi
tanda yang terdiri dari signifier (tempat itu sendiri) dan signified
(misalnya, gaya hidup orang kota). Jadi tanda yang dipelajari oleh semiotika
bukan hanya tanda-tanda linguistik seperti kata namun juga objek.
Fiksi. Dari cara kita
berbicara tentang tanda, kita mendapat kesan seolah-olah ada tiga hal yang
terpisah secara spasial (signified, signifier, dan sign) dan yang
disatukan dalam signification. Kesan ini harus dikoreksi. Jarak ini
hanya bersifat metaforis saja. Atau, seperti sudah disebut di atas, hanya
sebuah perspektif. Pembedaan ini dilakukan karena keyakinan bahwa perspektif
kita tentang realitas atau pembentukan objek dalam pikiran kita terjadi lewat systems
of signification. Jadi pembedaan ini kita buat secara fiktif saja dalam
artian fictio. Entah Anda setuju atau tidak, metode dan teori adalah
suatu fiksi, hasil ciptaan.
2. Tiga Macam Hubungan Tanda
Tanda dan prinsip
perbedaan.
Makna tanda bukanlah “innate meaning” (makna bawaan, alamiah, tak
berubah) melainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang dipakai dalam kelompok
orang tertentu (jadi historis). Dalam sistem tanda, suatu tanda dapat
menghasilkan makna karena prinsip perbedaan (different). Dengan kata
lain, makna dihasilkan oleh sistem perbedaan atau sistem hubungan tanda-tanda.
Oleh karena itu dalam analisis semiotik, sistem hubungan ini menduduki tempat
amat penting karena tugas analisis semiotik adalah merekonstruksi sistem
hubungan yang secara kasat mata tidak kelihatan.
a. Hubungan Simbolik
Hubungan Simbolik. Hubungan simbolik
muncul sebagai hasil dari hubungan tanda dengan dirinya sendiri atau hubungan
internal. Istilah internal dipakai untuk menunjuk hubungan antara signifier
dan signified. Hubungan simbolik menunjuk status kemandirian tanda untuk
diakui keberadaannya dan dipakai fungsinya tanpa tergantung pada
hubungannya dengan tanda-tanda lain. Kemandirian ini membuat tanda tersebut
menduduki status simbol.
b. Hubungan Paradigmatik
Hubungan virtual (paradigmatik,
sistemik).
Kalau hubungan simbolik merupakan hubungan internal dalam suatu tanda, hubungan
paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda lain. Tanda
lain yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas
satu sistem. Sebuah gambar “supermarket” dalam iklan dapat mempunyai hubungan paradikmatik
dengan, misalnya, pasar dan mal. Supermarket, pasar, mal adalah tanda-tanda
dari kelas tempat belanja. Gambar “ketupat” yang kita jumpai dalam
berbagai iklan pada bulan Ramadhan mempunyai hubungan paradigmatik dengan,
misalnya peci, sarung, dan sebagainya.
c. Hubungan Sintagmatik
Hubungan dan kesadaran sintagmatik. Aspek ketiga dari
hubungan dalam tanda adalah hubungan sintagmatik atau hubungan aktual.
Hubungan ini menunjuk hubungan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik
yang medahului atau mengikutinya. Dalam film, hubungan sintagmatik dikenal
dengan istilah montage. Montage disusun dengan satuan-satuan
gambar (shot). Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan
ke dapan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini
meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab-akibat. Dalam kaitannya dengan
produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik
mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan
logis atau kausalitas.
3. Bahasa/Wicara dan Budaya
Bahasa dan wicara. Mengapa kita dapat
memberi makna pada suatu tanda? Mengapa kata “supermarket” menimbulkan
imajinasi pada kita tentang pasar, mal dan kota, orang kaya dan sebagainya?
Mengapa kata “kertas” menimbulkan imajinasi pada kita tentang barang yang
sering kita pakai untuk menulis? Imajinasi ini terjadi karena sudah ada semacam
kesepakatan sosial, sudah ada pranata yang mengaturnya, ada aturan. Seolah-olah
ada kamus sosial yang mendorong kita untuk mengaitkan “supermarket” dengan
“kertas” dengan konsep sebagaimana kita tangkap. Kesepakatan semacam inilah
yang dimaksud dengan “bahasa”
C. ANALISIS MITIS SEBAGAI KRITIK
IDEOLOGI
Mitos dan ideologi. Mitos adalah salah
satu jenis sistem semiotik tingka dua. Teori mitos dikembangkan Barthes untuk
melakukan kritik (membuat dalam “krisis”) dan ideologi budaya massa (atau
budaya media). Apa hubungan teori mitos dan kritik ideologi. Inilah pertanyaan
sentral dalam buku ini. “Mitologi menjadi bagian dari semiotika sejauh mitologi
merupakan ilmu formal”, kata Barthes, “dan menjadi bagian ideologi sejauh
mitologi menyangkut ilmu sejarah, yaitu mempelajari ide-ide dalam bentuk (ideas-in-form).
Dengan definisi ini, mitologi merupakan bidang yang bisa dipelajari baik oleh
semiotika atau ideologi. Dengan definisi ini pula Barthes menunjukkan bahwa
semiotika memang sebuah pendekatan formal (cenderung sinkronis); akan tetapi
ketika semiotika digabungkan dengan ideologi, kita bisa mendapatkan sebuah
pendekatan sinkronis-diakronis tentang ideologi, karena ideologi selalu terkait
dengan masyarakat tertentu.
Budaya media. Sebagai bidang
penelitian, Barthes memilih budaya media. Langkah Barthes ini merupakan sebuah
rintisan penting dalam perkembangan kajian media. Dengan mengangkat media massa
sebagai kajian, ia memeriksa bentuk-bentuk mitos yang kita temukan dalam media
massa dan muatan ideologis di dalamnya. Ini berarti bahwa kajian Barthes
merupakan sebuah kritik atas ideologi budaya media dengan menggunakan semiotika
sebagai pendekatannya.
Kritik budaya modern. Agar pendekatan
kajian media dapat benar-benar sinkronis-diakronis atau semiotik-idelogis,
orang harus memilih masyarakat tertentu. Untuk itu Barthes memilih masyarakat
Perancis pada tahun 1950-an, saat buku ini disiapkan.
Relevansi. Kritik ideologi atas
budaya media harus kita tempatkan pada kritik atas budaya media pada umumnya.
Barthes sejauh ini belum “keras” melakukan kritik ini. Dia baru menganalisis
proses signification dalam budaya media. Sebagai seorang kritikus,
Barthes tidak serta-merta menolak begitu saja budaya tersebut melainkan justru
memeriksa cara kerja sistem tanda yang ada di dalamnya.
Agenda. Untuk mengenal
pendekatan campuran (semiotik-ideologis, sinkronis-diakronis) yang diajukan
Barthes, kita akan lebih memusatkan perhatian pada aspek yang pertama, yaitu
semiotik atau sinkronis. Meskipun demikian, kita juga akan membahas aspek yang
kedua, karena kalau tidak, aspek yang pertama kurang berarti.
1. Mitos sebagai Sistem Semiotik;
Konsep-konsep Dasar
Mitos. Mitos (berasal dari
bahasa Yunani mutos, berarti cerita) biasanya kita pakai untuk menunjuk
cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis.
Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat
memahami lingkungan dan dirinya. Mitos menjadi salah satu tema kajian
menarik di lingkungan antropologi (seperti dirintis Levi-Strauss) dan filsafat
budaya (Van Peursen). Ciri mitos (kisah yang tidak benar) dan fungsinya
(diperlukan untuk memahami lingkungan) inilah yang coba diteorisasikan
oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan semiotik.
Sistem semiotik. Sebagai sistem
semiotik, mitos dapat diungkapkan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier,
signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah
dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan istilah
berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu form, concept, dan signification.
Dengan kata lain, form sejajar dengan signifier, concept dengan signified,
dan signification dengan sign.
Mitos sebagai sistem semiotik tingkat
dua. Sebagai
sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem semiotik tingkah
pertama sebagai landasannya. Jadi, mitos adalah sejenis sistem ganda dalam
sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.
Contoh 1: Mitos
imperalisme. Untuk memperjelas pemahaman kita tentang konsep mitos
di atas, kita akan melihat satu di antara dua contoh (yang diberikan oleh
Berthes) yang paling banyak diingat oleh para pembacanya. Contoh itu berupa sebuah
foto serdadu kulit hitam yang sedang memberi hormat pada “tricolor”
(sebutan lain untuk bendera Perancis yang mempunyai tiga warna) yang terpampang
pada majalah Paris-Match. Sebagai sistem semiotik tingkat pertama,
gambar itu terdiri dari signifier (foto serdadu yang memberi horjmat
pada bendera Perancis), dan signified (serdadu “beneran” yang memberi
hormat pada bendera Perancis), dan sign (kesatuan antara foto dan
serdadu “beneran”). Bagi Berthes yang nota bene seorang Perancis, foto
tersebut tidak hanya berarti “serdadu Negro memberi hormat pada tricolor”. Makna
itu bahkan kurang lagi disadari. Dengan kata lain, “gambar serdadu Negro”
menunjukkan (signifies) kebesaran Perancis. Munculnya makna (meaning
signification) tersebut dapat dijelaskan secara semiotik. “Kebesaran
Perancis” dihasilkan oleh sistem semiotik tingkat dua (atau sistem mitris) yang
dibangun di atas sistem semiotik tingkat pertama. Bahkan gambar itu bisa
berarti “Perancis merupakan imperium besar sehingga seluruh anak-anaknya tanpa
perbedaan warna kulit apapun tetap menghormati benderanya”.
Historis. Lewat foto di atas,
Barthes bisa mengalami makna “kebesaran Perancis” karena sebagai salah seorang
dari “ber[France] sons”, dia tahu sejarah Ibu Pertiwi, khususnya ketika
Perancis menjadi kekuatan imperalis paling hebat di tanah Afrika. Sejarah
berfungsi sebagai “lumbung” tanda untuk membaca gambar pada sampul Paris-Match
tersebut. Mitos, kata Barthes, memang selalu bersifat historis. Pengalaman
atau pengetahuan tentang sejarah menjadi faktor kunci untuk menangkap form
dari sebuah mitos.
Bahasa- objek dan
metababasa. Sistem linguistik tingkat pertama ini juga disebut bahasa-objek
(language-object), karena bahasa berbicara langsung tentang objek atau
merespresentasikan objek (foto serdadu Negro membicarakan serdadu Negro di
lapangan, Icb bin Berliner membicarakan orang Berlin). Arti kedua dari
bahasa-objek: “the language which myth gets bold of in order to build its
own system”. Sistem semiotik tingkat dua disebut metabahasa
(metalanguage-sebuah konsep yang dipinjam dari Jakobson) karena dia
berbicara tentang bahasa-objek (“in which, one speaks about the first).
Kata “tentang” mempunyai nuansa demikian: sistem tanda tingkat dua membangun
makna dengan mengolah makna yang dihasilkan oleh bahasa-objek.
Jer basuki mawa bea. Mitos sebagai
metabahasa juga ditemukan dalam peribahasa atau aforisme, misalnya ungkapan
Jawa yang berbunyi “jer basuki mawa bea” (Agar dapat bahagia dibutuhkan
biaya). Sebagai sistem denotatif, ungkapan ini berarti: tidak ada suatu
nilai yang cuma-Cuma, nilai butuh pengorbanan. Jadi ada hubungan sebab-akibat
antara “basuki” dan “bea”. Kata kebijaksanaan ini mempunyai kekuatan untuk
menjadi mitos karena bentuk ungkapan ini bisa “diisi” konsep baru. Konsep ini
dapat berupa, misalnya, perlunya pengorbanan rakyat. Di Indonesia cara
berbicara ini pernah menjadi salah satu cara bicara yang digemari penguasa:
menggunakan bentuk-bentuk yang sudah diakui untuk kepentingan yang sebenarnya
masih diperdebatkan.
Mitos metabahasa atau konotasi? Kalau kita
memperhatikan skema yang diberikan Barthes kita pasti akan menyimpulkan bahwa
mitos adalah sejenis konotasi. Dari skema itu kita melihat bahwa sistem tanda
tingkat pertama dijadikan signifier baru sistem pada tingkat kedua. Hal
ini ditegaskan dalam Element.
2. Fungsi, Ciri-ciri dan Hakikat Mitos
Fungsi mitos: distorsi dan deformasi.
Mitos
berfungsi untuk mendistorsi makna dari sistem semiotik tingkat pertama
sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realitas yang sebenarnya. Fungsi
ini dijalankan dengan mendeformasi forma dengan konsep.
Contoh 1: Mitos
pos-imperalisme. Dalam lukisan Henri Rousseau The Representatives
hubungan distortif kita temukan antara makna “denotatif” lukisan itu dan forma.
Makna denotatif terkait erat dengan kehidupan orang-orang asing di tanah
jajahan yang hendak membawa perdamaian. Dengan ditempatkan dalam sebuah buku
berjudul Culture and Imperalism yang dikarang oleh seorang penulis yang
pernah menerbitkan buku Orientalism yang kontroversial (paling tidak di
lingkungan para orientalis), lukisan ini mempunyai konsep yang jelas
“imperalisme kebudayaan” atau “imperalisme bukan hanya menimbulkan kerugian
ekonomi dan politis melainkan juga budaya.
Metoniomi. Mitos bekerja atas
metonimi. Artinya, hubungan yang menonjol dalam signification adalah
hubungan sintagmatik. Dalam mitos, kita sudah mempunyai bentuk yang jelas.
Selanjutnya kita tinggal mencari konsep (atau signified). Dalam mitos,
yang mengambil bentuk hubungan metonimik, “a part stands for the whole”.
Gejala metonimik ini juga kita rasakan saat kita memasuki pusat-pusat
perbelanjaan seperti mal. Hanya dengan hadir dalam sebuah gedung yang ditata
sedemikian rupa kita bisa merasa seolah-olah kita hadir dalam budaya global
dengan mengasosiasikan berbagai objek yang kita jumpai: sejak kita menginjakkan
kaki di halaman mal, menaiki eskalator, memandang para pramuniaga dan
poster-poster, membayar di kasir, sampai kita pulang sambil menenteng hasil
belanjaan. “Yogya sudah maju seperti Chicago”, kata seorang teman dari Amerika
setelah puas berbelanja celana panjang di sebuah pusat perbelanjaan di Jalan
Malioboro. Lain lagi dengan komentar seorang teman yang baru saja pulang dari
Hongkong. “Belanja di Jakarta tidak kalah dengan belanja di Hongkong” “Seperti”
dan “tidak kalah” dalam pernyataan-pernyataan ini apakah Yogya “seperti”
Chicago dan Jakarta “tidak kahal” dari Hongkong? Kualitas dan kuantitas barang
yang dijual? Mungkin saja, meskipun tidak ada jaminan. Menurut saya, yang pasti
adalah dalam hal pengalaman hadir dalam ruang global, ruang budaya
kosmopolitan. Ungkapan “seperti” dan “tidak kalah” sesungguhnya bukan ungkapan
untuk membandingkan melainkan ungkapan orang yang ditelan oleh ruang global
atau, persisnya, ruang global imajiner atau yang lazim disebut hyperspace,
utopian space, dan semacamnya.
3. Analisis Mitos sebagai Analisis
Semiotik
Mitos sebagai sistem signifikasi. Apa artinya analisis
mitis dilihat dari penelitian semiotik secara umum? Kalau kita melihat uraian
di atas, apa yang disebut mitos tidak lain adalah signification yang
merupakan kesatuan antara bentuk dan konsep. Strukturnya sama dengan tanda yang
merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Analisis mitis
harus meliputi identifikasi unsur-unsur ketiga hal tersebut; melihat hubungan
antara ketiganya; dan melihat hubungan antara sistem semiotik tingkat pertama
dan tingkat kedua.
Nilai mitis-semiotik. Nilai semiotik bisa
kita pakai untuk menunjukkan kemungkinan suatu mitos ditukarkan dengan
suatu ide (ideologi) dan dibandingkan dengan mitos-mitos lain. Suatu
mitos dapat dipakai karena dia punya nilai. Kita bisa membandingkannya dengan
berbagai mitos (serupa atau yang berlawanan) yang ada dalam suatu masyarakat.
Dia mempunyai nilai karena dia dapat kita tukarkan dengan ideologi tertentu.
Membaca mitos. Sampai sekarang kita
baru berbicara tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meneliti mitos.
Secara implisit kita sebenarnya sudah melihat satu di antara tiga
kemungkinan untuk membaca mitos. Cara yang kita lakukan sampai sekarang sudah
menganalisis sistem mitos secara kritis. Kemungkinan kedua, kita dapat
menjadi pembuat mitos dengan jalan mengembalikan signification ke
makna literal dan, oleh karena itu, kita mengembalikan kekuatan simbolis dari
tanda tingkat pertama. Kemungkinan ketiga, kita bisa menjadi seorang konsumen
mitos dengan menikmati mitos sampai kita merasakan kehadiran, membiarkan mitos
melakukan fungsinya.
Iklan. Seperti di atas,
teorinya tentang mitos dimaksudkan untuk meneliti budaya media seperti iklan.
Iklan mengambil bentuk sistem mitis karena iklan menggunakan sistem tanda
tingkat pertama (gambar, musik, kata-kata, gerak-gerik) sebagai landasan untuk
pembentukan sistem semiotik tingkat dua. Untuk itu iklan akan menggunakan
sistem tanda tingkat pertama dari hal-hal yang sudah akrab betul dengan sasaran
ikan, sehingga ia dapat menjadi landasan yang kokoh dan menarik bagi proses
naturalisasi konsep yang diajukan oleh pembuat iklan.
4. Analisis Mitis dalam Kritik Ideologi
: Kritik Humanisme
Mitos dan ideologi. Sebagaimana disebut
dalam awal tulisan ini, dengan teori semiotiknya Barthes ingin melakukan kritik
ideologi atas budaya massa. Untuk tujuan itu, Barthes menggabungkan dua macam
pendekatan yang saling melengkapi, yaitu pendekatan semiotik dan kritik
ideologi.
Pembaca mitos: penikmat yang
kritis. Untuk menjadi seorang analis ideologi secara kritis ternyata
Barthes mengajak kita unguk menjadi penikmat mitos, tapi penikmat yang kritis!
Kita tidak boleh sinis agar sistem mitis berhasil menunaikan fungsinya dan,
dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana suatu sistem mitis bisa berfungsi
sebagai sign-vehicle bagi ideologi.
Ideologi. Marx mengartikan
ideologi sebagai pengelabuan, Gramsci sebagai “pandangan tentang dunia”, dan
Althusser mengatakan bahwa “ideology interpellates the subjects”.
Barthes tidak memberikan perhatian secara khusus pada definisi tentang
ideologi. Ia lebih tertarik pada analisis tentang cara keberadaan ideologi
dalam suatu masyarakat dan cara ideologi itu dihasilkan dan dikonsumsi atau,
singkatnya, analisis sistem mitis sebagai signifying system yang dapat
dipakai sebagai sign-vebide bagi ideologi.
Kritik ideologi: sinkronik dan
diakronik. Teori Barthes tentang mitos dan /atau ideologi
memungkinkan kita melakukan kajian ideologi baik secara sinkronik maupun
diakronik. Dilihat dari perkembangan kajian ideologi, pendekatan Barthes
merupakan penyempurnaan pendekatan-pendekatan yang ada pada waktu itu, yang
cenderung berat sebelah. Kritik ideologi Barthesian bersifat sinkronik karena alasan
yang sudah diuraikan panjang-lebar di atas: analisis semiotik atau mitis
merupakan analisis formal. Bersifat diakronik, karena Barthes pada
akhirnya mengembalikan analisis ideologi pada kapan, dimana, dan dalam
lingkungan apa sistem mitis itu dipakai.
Politis dan bahasa. Dari sudut pandan
semiotik, hubungan antara ideologi dan budaya terletak pada fakta bahwa untuk
menafirkan bahasa (untuk komunikasi) orang tergantung pada ideologi yang ada.
Jadi, budaya adalah masalah politis dan ideologis. Budaya adalah persoalan
tawar-menawar untuk menghasilkan berbagai speches melalui teks budaya
yang ada dan ideologi yang ada. Budaya, singkatan, “bukan merupakan konsep yang
statis melainkan sebuah arena untuk kontes politis dan ideologis yang penuh
kegetiran.
Kritik humanisme “anti-humanis”. Kalau kita periksa
dengan teliti, kritik ideologi yang diajukan Barthes adalah sebuah kritik atas
humanisme borjuis yang berakar pada humanisme modern atau humanisme warisan
Renaisans. Secara implisit kita dapat memeriksa humanisme yang dijadikan dasar
Barthes untuk mengkritik humanisme Renaisans. Dan sisi ini, Barthes dapat kita
pandang sebagai salah satu peletak dasar humanisme anti-humanis.
5. Kritik Ideologi Barthesian dan
Althusserian
Ideologi Althusserian. Saya sebelumnya tidak
tahu sejauh mana Barthes bekerjasama dengan Althusser karena antara keduanya
kita melihat dua pendekatan yang saling melengkapi. Baru kemudian saya
ketahui bahwa Barthes ternyata salah seorang mahasiswa Althusser.
Barthes. Dengan membandingkan
tiga tesis Althusser di atas dengan kedudukan ideologi dalam sistem mitis
Barthesian, kita dapat menarik hubungan penting yang dapat dipakai untuk
mendalami kedua pendekatan struktural ini tentang ideologi. Sebagaimana
Althusser, Barthes berpendapat bahwa hubungan kita dengan realitas sudah
dimediasi secara distortif.
Ideologi dan sub-kultur. Di kemudian hari
pemikiran kedua orang ini menjadi landasan penting dalam mempelajari ideologi
dari berbagai kelompok sosial dalam masyarakat modern terutama dengan meneliti
bentuk-bentuk ideologi mereka dengan memeriksa barang-barang yang mereka
konsumsi setiap hari. Disini perlu dicatat bahwa analisis tekstual harus selalu
ditempatkan dalam konteks hipotesis Althusserian tentang misrecognition
dan interpellatiojn. Kalau tidak, analisis ideologis hanya akan menjadi
kegiatan rutin, terpisah dari persoalan sosial-politik.
D. MENGAMATI FOTO MEDIA DAN MUNCULNYA
NEKROKULTURA
Semiotika konotasi. Seperti sudah kita
lihat pada Bab III konotasi adalah sistem ganda dimana sistem semiotik tingkat
dua mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai signifier atau
konsep. Kita juga melihat bahwa semiotika Barthesian sering dinamakan semiotika
konotasi untuk membedakan semiotika linguistik yang dirintis oleh
mentornya, Saussure.
Kedudukan gambar dalam masyarakat. Untuk membahas
semiotika gambar, tujuan kedua kiranya perlu mendapatkan perhatian secara
khusus. Pendekatan struktual Barthes tentang gambar barangkali kurang
memadai untuk melihat fenomena gambar dalam teknologi komunikasi baru
zaman sekarang. Akan tetapi, fenomena gambar (mass image atau generalized
image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan masih
menjadi perdebatan teoretis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat
dari sisi ini, perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan
dalam satu garis dengan kritik budaya media (atau culture industyi)
seperti Adorno dan para pengikutnya.
Gambar berita dan iklan. Dengan memilih foto
media sebagaimana kita temukan dalam berita dan iklan, kita tidak akan membuat
sebuah generalisasi tentang semiotika gambar pada umumnya. Meskipun demikian
semiotika tentang dua jenis gambar ini diharapkan dapat membuka jalan baru
untuk memasuki jenis-jenis gambar lainnya. Bahwa Barthes mengawali semiotika
gambar dengan gambar berita dan iklan tentunya bukan tanpa alasan.
Semiotika gambar. Kehadiran gambar
sebagaimana diuraikan di atas perlu dibaca. Kita perlu melihat “fungsi gambar
massa” atau “peran gambar dalam masyarakat”. Sebagai seorang semiotikus,
Barthes mengembangkan pendekatan struktual untuk membaca fenomena gambar
tersebut. Pendekatan yang dirintis Barthes ini dapat kita baca dalam dua
tulisannya, “The Photographic Message” (1961) dan “Rhetoric of the Image”
(1961) yang masing-masing mengambil fokus pada gambar berita dan gambar iklan.
1. Ciri-ciri dan Hakikat Sistem
Linguistik dalam Gambar Berita dan Iklan
Pesan langsung dan pesan interpretatif.
Kalau
kita melihat gambar atau foto, kita dapat membedakan dua gejala tanda yang
tidak dapat dipisahkan: foto secara keseluruhan dan “isi” foto yang terdiri
dari berbagai unsur di dalamnya. Dalam foto Habibie yang sedang minum di
tengah-tengah Sidang Istimewa MPR, kita melihat dua gejala tersebut dalam foto
secara keseluruhan dan berbagai unsur seperti figur. Habibie, gelas, latar
belakang, dan sebagainya. Unsur-unsur ini dapat dipecah-pecah lagi sesuai
kejelian dan ketertarikan kita masing-masing.
Paradoks. Dengan menyebut pesan
literer sebagai pesan tanpa kode, Barthes sebenarnya menciptakan istilah yang
berkontradiksi dengan formula dasar sistem semiotik yang selalu mengandaikan
tiga unsur: sign, signifier, dan signified atau message,
expression, dan content. Mengatakan bahwa ada pesan tanpa kode
berarti sama saja mengatakan ada pesan tanda content, atau tanda tanpa signified.
Foto seni dan lukisan. Apakah hipotesis
Barthes itu juga dapat diterapkan dalam foto seni atau lukisan (khususnya
lukisan naturalis)? Bukankah dalam foto dan gambar semacam itu aspek simbolik
atau konotatif lebih diutamakan? Pada prinsipnya, Barthes berpendapat bahwa
pengalaman paradoks dan real unreality juga dapat ditemukan disana.
Memang harus diakui bahwa aspek simbolik lebih kuat daripada aspek literer.
Akan tetapi, foto seni dan lukisan tidak pernah dapat menghilangkan
karakteristik pesan literer sebagai pesan tanpa kode.
Foto berita sebagai informasi bukan
seni.
Bukankah kini juga ada foto seni sehingga kedudukan foto ini lebih mirip dengan
lukisan dari pada foto berita? Barthes tidak menyangkal hal ini. Tapi harus
diingat bahwa untuk kepentingan berita orang akan memasang foto berita dan
bukan foto seni. Foto dibuat untuk kepentingan informasi, untuk
mempresentasikan isi berita sedekat mungkin. Oleh karena itu foto dibuat tanpa
dualitas pesan. Foto berita tidak dibuat secara artistik atau tidak dipandang
sebagai foto seni melainkan foto berita. Sebagai foto berita, dia harus
memberikan gambaran sepersis mungkin (verism), memberikan pesan
selangsung mungkin tanpa membuat orang mempersoalkan kedudukannya sebagai analogon
fakta yang sebenarnya.
2. Kode dalam Foto: Ciri-ciri dan
Hakikatnya
Gambar sebagai bahasa. Kalau gambar dapat
memberikan makna konotasi, gambar itu harus mempunyai denotasi. Akan tetapi,
seperti sudah kita lihat, denotasi gambar adalah analogon, semacam
replika langsung dari signified atau apa yang digambarkan. Jadi, kita
tidak mempunyai ruang untuk menafsirkannya.
Foto dalam sistem konotasi media cetak. Dari kutipan di atas
Barthes percaya bahwa surat kabar (juga periklanan) menciptakan autonomous
signifying system baru yang sebelumnya tidak ada. Untuk itu kita harus
meneliti tanpa harus melakukan hipotesis-hipotesis.
Kode dalam foto. Seperti sudah
disebutkan di muka, tanda-tanda dalam foto dipisahkan dari foto secara
keseluruhan pengalaman melihat foto secara keseluruhan berupa: itu memang
pernah terjadi (“it happened”). Dalam melihat foto, pengalaman itu
“belun ada isinya”. Apa isi dari “itu”? Apa yang membuat saya tertarik pada
suatu gambar? Pertanyaan ini mengantar kita untuk memeriksa secara rinci
berbagai unsur yang mewujudkan foto tersebut seperti bentuk, gerak-gerik,
warna, lighting, dan sebagainya.
Menulis dengan Bahasa Foto: Logo-teknis
Menulis dengan bahasa gambar. Dengan memperhatikan
ciri-ciri dan hakikat bahasa foto sebagaimana dilukiskan di atas, apa artinya
“menulis” dengan bahasa foto? Dapatkah kata “menulis” dipakai disini? Sejauh
ini menulis diartikan sebagai kegiatan untuk menghasilkan signifier dan signifeid
pada sistem tanda tingkat pertama. Kalau tulisan seseorang-entah tulisan tangan
atau dengan komputer – jelek, maka tak akan terpahami. Karena apa yang akan
dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar adalah analogon, menulis
dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode,
artinya: tidak pada level denotatif. Oleh karena itu Barthes menggunakan
istilah “prosedur denotatif”. Menulis tidak terjadi dalam sebuah camera
obscura melainkan dalam camera lucida.
Teknik menulis dengan bahasa gambar. Dalam “The
Photographic Masage” Barthes menyebut enam prosedur atau kemungkinan untuk
mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut dapat
dipandang sebagai kegiatan “menulis” karena pada hakikatnya lewat
prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda,
hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca
bahasa gambar tersebut.
Pose. Cara kedua ialah melalui gaya atau
posisi (pose). Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan
foto akan memilih posisi objek yang sedang diambil. (Dalam perkembangan
pemikiran Barthes tentang fotografi, konsep pose menduduki posisi amat
penting!) Foto berita Habibie yang sedang meneguk air putih di tengah-tengah
pidatonya dalam Sidang MPR yang khidmat, misalnya, memberikan pesan konotatif:
presiden kami adalah seorang presiden yang “humanis”, tidak angker, jauh dari
kekakuan militeristik. Pesan semacam ini dapat muncul karena ada kode presiden
kami selama ini adalah presiden yang formal.
Memilih objek. pesan konotatif juga
dapat dilakukan lewat pemilihan objek-objek di sekitarnya. Objek-objek ini
ibarat “perbendaharaan kata” yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Dari
sisi ini, pemilihan objek dapat membantu menciptakan imajinasi sintagmatik.
Dari sisi lain, objek juga dapat dipakai untuk membangun imajinasi paradigmatik
sejauh aspek yang ditonjolkan dari objek tersebut adalah kekuatan untuk
menunjuk objek lain.
Seks. Kritik orang terhadap seks kadang
mengesankan bahwa seks tidak boleh dijadikan kreativitas, objek imajinasi,
termasuk objek kreativitas dalam iklan. Dalam sejarah seni, misalnya lukis dan
sastra, seks menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kreativitas. Karena
sifatnya yang mendasar, seks menjadi pilihan hampir semua iklan untuk alat
persuasi. Persoalan muncul ketika para pemirsa tidak dapat melindungi diri dari
persuasi tersebut.
Ketakutan. Di samping seks,
ketakutan juga sangat dominan. Seperti halnya seks, ketakutan menjadi objek
imajinasi. Ketakutan berarti perasaan tidak aman, hilang, tidak menjadi
seseorang. Ketakutan berarti menyentuh soal bahaya. Ketakutan absolut adalah
ketakutan akan mati, yaitu ketakutan akan ketiadaan absolut.
Keintiman. Keintiman dalam
iklan meliputi manusia baik dalam keluarga maupun persahabatan. Naluri
ini lebih sulit dibangkitkan karena harus dipelajari. Biasanya keintiman dibuat
lewat bahaya eks-komunikasi dalam sebuah pergaulan. Iklan McDonald,
seperti diteliti Jack Solomon, menggunakan keintiman keluarga sebagai basisnya.
Bintang dan idola. Tidak kalah penting
dari ketiga naluri di atas adalah bintang atau idola. Orang butuh personifikasi
nilai yang ditawarkan dalam iklan. Tak ada personifikasi yang lebih
menghipnotis daripada bintang atau idola. Lewat foto idola, kita tidak hanya
melihat “this has been” melainkan juga “he/she has been”. Juga!
Kata “juga” seringkali sudah dieksplisitkan lewat kata-kata. Bintang dan idola
tidak hanya berlaku dalam iklan namun juga dalam koran.
Iklan: antara seni dan
promosi. Sebagai promosi, iklan seolah menjanjikan kepuasan senikmat
kepuasan seksual, menjanjikan keamanan dari rasa takut, menjanjikan keintiman,
dan mendekatkan kita dengan idola kita. Logo-teknik menulis – dalam arti
menciptakan stimuli – di atas ketiga naluri dasar manusia ini. Bahasa iklan
merupakan sebuah komunikasi yang agresif. Komunikasi promosional harus bisa
memaksa (baik secara halus atau langsung) pembaca untuk mengubah perilaku, gaya
hidup, dan akhirnya menjadi konsumen setia.
3. Sistem Campuran: Teks dan Gambar
Teks. Foto berita atau
iklan biasanya tidak pernah berdiri sendiri. Selain gambar, kita juga menemukan
tulisan yang berfungsi menjelaskan atau memberi komentar pada foto tersebut.
Keberadaan foto ini membuat foto menjadi sistem yang kompleks, yaitu sistem
yang terdiri dari dua sistem atau lebih dengan substansi yang berbeda.
Fungsi teks. Dalam Camera
Lucida, Barthes mengatakan bahwa “foto tidak dapat mengatakan apa
yang saya lihat.” Pernyataan ini berlawanan dengan apa yang kita alami ketika
kita melihat foto; bahkan berlawanan dengan pengalaman Barthes, karena buku Camera
Lucida tidak lain adalah hasil pengalamannya memandang foto-foto
kesayangannya! Pernyataan ini dapat kita pahami secara terbalik: foto membuat kita
dapat mengatakan apa saja tentang apa yang kita lihat. Atau, pernyataan itu
dapat dipahami karena foto hanya bilang: “Lihat, itu sudah terjadi.”
Foto sebagai dokumen, naturalisasi. Dalam surat kabar
atau iklan, foto ada untuk berita, foto ada untuk promosi. Hubungan keberadaan
foto ini diungkapkan lewat teks. Karena fungsi surat kabar adalah memberikan
atau memberitakan informasi, fungsi teks adalah dokumenter atau evidential.
Artinya, foto docere (membuktikan) atau memberikan documentatio (bukti)
pada apa yang ditulis.
Teks dalam iklan: retorika.
Pada prinsipnya, fungsi teks dalam iklan sama dengan fungsi teks dalam berita.
Hanya saja, dalam iklan fungsi teks harus dilihat dari fungsi sistem iklan
secara keseluruhan, yaitu sebuah komunikasi untuk persuasi. Dalam iklan,
kedudukan teks lebih rumit dan bervariasi. Ada teks yang berfungsi sebagai caption
seperti dalam koran, ada juga teks yang menjadi bagian dari gambar itu sendiri.
Kesimpulan. Fungsi teks dalam
foto membatasi dan mempercepat pesan. Teks tidak dapat dan tidak pernah dapat
keluar dari makna denotatif, teks adalah metabahasa dan pemaknaannya bersifat
parasit terhadap foto.
4. Membaca Foto
Kebiasaan melihat foto. Di hadapan sebuah
foto, kata Barthes dalam Camera Lucida, dia sering merasa sebagai orang
yang terpenjara oleh kekuatannya yang dahsyat. Paling tidak itu pengalaman
Barthes dalam merefleksikan koleksi fotonya yang ia anggap bisa mengguncang
batinnya. Dalam praktiknya, khususnya berhadapan dengan foto berita atau foto
iklan, pengalaman semacam itu kiranya jarang kita temukan. Sebaliknya, yang
terjadi adalah bahwa kita melihat foto dua atau tiga detik, kemudian kita
membaca artikel berita yang bersangkutan, atau, dalam hal iklan, kita ingin
tahu foto itu dipakai untuk iklan produk apa.
Membaca. Sekarang kita sampai
pada persoalan yang paling rumit dan tidak menarik, yaitu membaca foto. Foto
terlalu kuat untuk dibaca, karena dengan membaca kita harus melakukan
tawar-menawar dengan foto. Semakin kita mengamati foto, semakin kita terperangkap
oleh pesonanya. Barthes bahkan mengakui bahwa sudah terlalu banyak karya dan
teori yang menjadi korban dari kedahsyatan foto. Foto tidak memberikan ruang
bagi kita untuk berbeda pendapat.
Semiotika positiva: tahap-tahap
membaca foto. Dalam “The Photographic Message” Barthes mengajukan
tiga tahap dalam membaca foto: perspektif, kognitif, dan etis-ideologis. Tahap perseptif
terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori
verbal; jadi semacam verbalisasi gambar.
Foto iklan. Dalam foto iklan,
gejala studium kita alami saat kita bersedia barang sejenak
memperhatikan foto suatu iklan. Kita uji untuk berkomunikasi dengan lembaga
iklan tentang kebutuhan-kebutuhan yang sudah diteliti dengan seksama dan
diungkapkan seapik mungkin lewat logo-teknik. Kita mengaplikasikan kode-kode
yang kita miliki untuk mengurai pesan foto iklan.
Animasi. Dari punctum
yang menimbulkan rasa mourning itu kita mengawali perjalanan kita. Kali
ini foto mendatangi kita – adveniens. Foto menyorot ke arah kita dan itu
membuat kita mendatangi foto. Bukan hanya saya memandang foto melainkan foto
memandang saya. Tiba-tiba foto menjadi hidup. Terjadi animasi: foto mempunyai jiwa,
anima.
Desire. Foto tidak hanya
memberikan amusement melainkan juga menimbulkan dorongan kuat (desire)
untuk menemukan keapaan foto itu. di hadapan foto, kita masih percaya bahwa
foto bukan hanya menyangkut hal-hal yang sudah terjadi. Lewat punctum,
kita menemukan tempat yagn pas untuk desire kita; foto lalu menyediakan kairos
of my desire. Ini penyucian desire.
5. Realisme Fotografis dalam Budaya
Media
Foto dalam budaya media. Dengan istilah budaya
media dimaksudkan budaya yang lahir dan berkembang lewat media massa atau
teknologi informasi baru (new technology of information) atau media baru
(new media). Kini juga dipakai istilah budaya media baru (new media
culture). Dalam uraian di atas kita melihat fungsi unik dari foto sebagai
salah satu bentuk representasi – fungsi yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk
lain seperti tulisan dan film (sekalipun film mengambil bahan dasarya dari
foto).
Domestikasi kekuatan foto. Kehadiran foto dalam
media dipandang Barthes sebagai bentuk domestikasi atau penjinakan kekuatan
“gila” dari foto. “Photography is dangerous” kata Barthes. Oleh karena
itu foto harus dijinakkan. Bukankah kita dapat mengatakan sebaliknya? Foto
mempunyai kekuatan luar biasa (gila) maka foto dipakai oleh media? Jinaknya
foto bukanlah merupakan tujuan dari pemakaian foto dalam media, melainkan akibat
(yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh media).
Iklan dan stereotipe. Gejala
stereotipisasi yang menjinakkan foto paling jelas kita temukan dalam foto
iklan, karena tujuan iklan adalah menciptakan stereotipe. Pilihan foto dan cara
mengombinasikannya dengan teks merupakan sebuah seni tersendiri sehingga bisa
menghasilkan stereotipe secepatnya dan seluas-luasnya serta bertahan selama
mungkin.
Budaya iklan. Hakikat dan corak
komunikasi promosional ini menempatkan iklan sebagai budaya. Iklan mempunyai
syarat memadai untuk menjadi budaya. Karena kepentingan iklan adalah konsumsi,
budaya yang dihasilkan dapat kita sebut budaya konsumsi atau budaya
promosional. Konflik kepentingan di masyarakat konsumen dan masyarakat produsen
juga melahirkan persaingan antara-para konsumen. Budaya iklan bukan hanya
melahirkan jor-joran melainkan melegitimasi jor-joran.
6. Gejala Nekrokultura (Budaya
Kematian) dalam Foto Media
Nekrokultura. Secara harafiah,
nekrokultura berarti budaya kematian. Istilah ini dipakai untuk menunjuk
gejala dalam media dimana kematian – dalam berbagai bentuknya – dihadirkan.
Barthes sendiri tidak pernah menggunakan istilah nekrokultura atau budaya
kematian. Dia banyak berbicara tentang budaya fantasi. Akan tetapi, menarik
diperhatikan bahwa ketika berbicara tentang foto, kematian menduduki tempat
sentral.
Nekrokultura dalam trauma fotografis. Untuk mendekati
konsep kematian dan maknanya dalam pemikiran Barthes, tak ada konsep yang
paling mudah kita pakai kecuali konsep trauma, entah itu trauma linguistik atau
trauma fotografis. Dalam tulisan-tulisannya – baik yang muncul pada periode
struktural maupun sesudahnya – Barthes selalu memberikan tempat khusus untuk
berbicara tentang trauma atau ketakutan. Kalau budaya adalah komunikasi, dan
komunikasi adalah praktik signification untuk menghasilkan makna, tak
ada trauma yang lebih dahsyat kecuali saat kita gagal berkomunikasi, gagal
menghasilkan signification lewat objek yang kita harapkan untuk itu.
kematian berarti saat kita tidak bisa memberikan makna. Di hadapan kematian,
kita harus memilih: menyerah atau mengalahkannya. Kita harus memilih. Dari
pilihan-pilihan inilah akan lahir kreativitas, bentuk komunikasi yang tidak
kita pakai sebelumnya.
Trauma sebagai kemiskinan kode. Seperti sudah
diuraikan di atas, foto berita sudah selalu tampil sebagai konotasi. Kita
tergoda untuk berbicara tentang denotasi foto berita hanya ketika kita
mengalami kebuntuan. Benarkah apa yang saya saksikan itu? dengan kata lain, analogon
atau replika realitas. Barthes menyebut situasi ini sebagai trauma fotografis.
Nekrokultura. Nekrokultura dapat
kita pakai untuk melihat gejala budaya dalam era fotografi di masa image yang
dihasilkan oleh foto tidak menimbulkan mourning. Kematian terasa datar –
flat death. Nekrokultura adalah gejala budaya di mana orang puas dengan
stereotipe, orang membiarkan orang lain (masyarakat atau media) berbicara atas
nama saya.
Monumen. Adakah cara lain
untuk membaca dan menciptakan foto selain cara imitatif, dengan stereotipe?
Barthes tidak menjawabnya kecuali dalam konteks pengembangan subjek. Di hadapan
suatu foto, kita dapat mengembangkan subjektivitas kita sejauh kita dapat
menikmati foto sebagai monumen. Monumen (monumentum, menere; mengingat)
fotografis adalah fungsi foto yang paling khas.
E. KENIKMATAN BAHASA IMAJINER
1. Wacana dan Fasisme Bahasa
Wacana – bahasa. Menggunakan kata
wacana untuk saat ini sangat riskan. Keadaanya seperti ketika Saussure terpaksa
menggunakan kata “sign”. Wacana berarti bukan tindakan – begitulah wacana
dipakai sekarang. Dalam dunia teoretis, wacana juga kabur. Kata wacana
mengalami nasib seperti kata budaya-loose. Secara teoritis dapat
dibedakan dan dijelaskan akan tetai dalam analisis tidak memberikan janji
apa-apa. Seperti sudah kita lihat dalam bab-bab sebelumnya, wacana biasanya
dibedakan dari bahasa. Akan tetapi kerumitan penggunaan wacana ternyata –
seperti dialami Barthes – berakar pada fakta bahwa wacana dan bahasa tidak
dapat dipisahkan.
Fasisme kalimat (sintentia).
Kekuasaan fasis bahasa kita temukan dalam kalimat (sintaks). Bentuk hubungan
kalimat dan wacana/narasi mirip dengan hubungan antara pesan linguistik dan
gambar yang sudah kita bicarakan di muka. Kalimat dapat menaturalisasi
budaya namun juga dapat menetralisasi “revelatory power” wacana.
Analisis wacana yang dihindari Barthes adalah setiap bentuk analisis yang
mempunyai kecenderungan menetralisasi kekuatan revelatif-kekuatan yang muncul
dari efek kalimat namun tidak dapat direduksi ke dalam sintaks (rangkaian fonem
yang ditata menurut hukum tertentu) atau hubungan sintetik. Akibatnya,
analisis wacana – entah sadar atau tidak - menempatkan kalimat sebagai
satuan-satuan fasis bahasa.
Sastra. Adakah cara untuk
mendekati kekuasaan fasis bahasa tanpa kita menjadi mangsa kekuasaan tersebut?
Ada, yaitu sastra, kata Barthes, “memungkinkan kita memahami wicara di luar
belanggu kekuasaan (outside the bounds of power) lewat pesona revolusi
abadi bahasa,” karena sastra merupakan “muslihat yang menyembuhkan, strategi
untuk menghindari, dan siasat yang dahsyat untuk mengelabuhi (salutary
trickery, evasion, grand imposture).
Tiga fungsi sastra. Tiga fungsi ini
adalah: mathesis, mimesis, dan semiosis. Fungsi mathesis adalah
fungsi sastra untuk memberikan pengetahuan tentang kenyataan. Akan tetapi
pengetahuan dari sastra pertama-tama bukan pengetahuan positivistik melainkan
wilayah baru untuk diketahui (the possible area of knowledge); sastra
tidak hanya “mematri kebenaran dan membuatnya sebagai fetis.” Sastra,
singkatnya, bisa memberikan tema baru bagi wacana baru pula. Fungsi mimesis
adalah fungsi untuk menghadirkan yang tidak mungkin dihadirkan, dan fungsi
semiosis adalah fungsi sastra untuk menghidupkan tanda (to act signs).
2. Teori Teks: Kamasutra Bahasa
Teori teks. Pembahasan Barthes
tentang teks lebih kaya dan lebih menarik daripada pembahasannya tentang
wacana. Wacana harus dibicarakan dalam konteks teks. Memang, di bidang ini
pengaruh Barthes sangat kuat, khususnya di bidang seni. Dengan menelusuri
gagasannya tentang teks kita juga melihat dengan jelas pergeseran pemikirannya
dari semiotika positiva ke semiotika negativa. Seperti sudah dsebut di muka,
pergeseran ini terjadi pada tahun 1970-an yang sudah ditandai dengan munculnya
tulisan-tulisan yang lebih berfokus pada mistik bahasa daripada sibuk mencari
struktur teks atau karya.
Teks imajiner. Dengan memahami indefinite
deferment sebagaimana dijelaskan di atas, kita kini tahu bahwa “jangan
gegabah” juga bukan berarti ada banyak signifieds sehingga kita perlu
menunda dulu sebelum menentukan signified yang paling cocok dengan signifier
yang kita hadapi. Infinite deferment bukan sebuah logika untuk mencari signified
alternatif melainkan logika untuk menciptakan signifier secara tak
terbatas.
Plural. Pluralitas teks
tidak terletak pada makna (meaning) atau signified, signification suatu
teks, melainkan pada “stereographic plurality of its weave of
signifiers. Maksudnya, pluralitas tidak tergantung pada apa yang ditunjuk atau
nilai tukar teks, melainkan pada kemungkinan untuk “memotong” dan “menjahit” hasil
potongan-potongan itu menjadi jalinan baru. Teks sesungguhnya adalah
cuplikan-cuplikan (“quotations without inverted commas”). Teks disebut
teks teks (teks artinya jalinan) karena dia hasil dari suatu anyaman (fabrication).
Hubungan antara potongan satu dengan yang lain itulah yang selama ini disebut difference.
3. Nikmatnya Kematian Author
Kematian author. Barthes berpendapat
bahwa teks selalu ditulis “sekarang dan disini”, teks tidak mempunyai masa
lalu, teks – bukan seperti buku – tidak mempunyai ayah-ibu. Teks tidak
mempunyai asal-muasal (origin) kecuali bahasa itu sendiri.
Desakralisasi lembaga sastra. Pandangan Barthes
tentang author melengkapi langkahnya untuk menggoyahkan atau sebagaimana
dilihat Foucault – mendesakralisasikan lembaga sastra. Foucault sendiri kurang
berminat menganalisis karya-karya sastra. Baginya, wacana sastra hanya
merupakan “a point of rest, a halt, a blazon, a flat”. Meskipun demikian ia
sangat menghargai apa yang dilakukan Barthes (dan Blanchot) dengan sastra.
Kunci sakralitas sastra terletak pada anggapan bahwa sastra merupakan ekspresi
seorang author, seorang author menjadi prinsip pemersatu suatu
tulisan, oleh karena itu sastra harus dibaca sesuai dengan keinginan author
(intentio auctoris). Analisis sastra tidak berbeda dengan analisis teo-logis
dalam arti mencari sabda (logos) dari pengarang (author-teos).
4. Tinjauan Ulang Teori Mitos
Krisis teori mitos. Mengikuti teorinya
tentang teks, Barthes meninjau kembali teorinya tentang mitos yang sudah kita
bahasa dalam Bab III. Sejauh ini teori mitos sebagai kritik ideologi merupakan
sumbangan teoritis Barthes yang sangat berharga (karena sangat sistematik dan
komprehensif) dalam kritik budaya media. Teori mitos dapat dirumuskan ke dalam
empat hipotesis: (a) mitos adalah semacam “representasi kolektif” Durkheimian,
(b) mitos menaturalisasikan budaya (sejarah), (c) mitos zaman sekarang lebih
banyak berupa “wacana” (“discourse”) daripada kisah panjang, dan (d)
mitos zaman sekarang masuk dalam bidang kajian semiotika.
Tujuan analisis mitos: hesitation. Kalau
dalam analisis tekstual kita berbicara tentang deferment, konsep serupa
juga dipakai dalam analisis mitos. Hanya saja disini Barthes menekankan aspek besitation
dalam analisis tekstual atau mitis. Secara khusus, analisis ini ia pakai untuk
membaca teks mitis. Secara khusus, masyarakat konsumen (“They mythological
tissue of a mass consumer society”). Hal ini mengasumsikan bahwa dinamika
suatu masyarakat konsumen didukung oleh suatu teks mitis yang berfungsi sebagai
sistem pemakanan dan cara untuk berbicara (a type of speech).
http://www.sastrajawa.com/kritik-sastra-feminis-resume-teori-feminis/
http://www.sastrajawa.com/kritik-sastra-feminis-resume-teori-feminis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar