Laman

Jumat, 13 Desember 2013



“SEMIOTIKA NEGATIVA” (Resume Buku ST. SUNARDI)

A. ROLAND BARTHES (1915-1980) : BIOGRAFI IMAJINASI SEMIOTIK
“Sekalipun saya ingin sekali mengukir karya saya dalam bidang keilmuan (seperti sastra, leksikologi, sosiologi), saya akui tulisan-tulisan saya hanya berupa esai, sebuah genre yang ambigu yang dibanding-bandingkan dengan tulisan buku,” tulis Barthes tentang karya-karyanya.
Barthes merasa perlu menjelaskan “ilmu semiotika” dan posisinya di tengah-tengah ilmu-ilmu lainnnya, karena sesuai dengan tradisi, seorang profesor baru mesti menjelaskan pendekatan keilmuannya yang akan diajarkan. Namun, bagi Barthes, itu bukan satu-satunya alasan. Ada alasan lain yang  mengganjal di hatinya. Konon, dalam proses seleksi kandidat profesor beredar rumor sinis tentang diri Barthes di kalangan sejumlah profesor. Rumor ini menyangkut kepantasan seorang Barthes untuk menduduki kursi profesor penuh wibawa di College, karena Barthes dikenal sebagai seorang akademisi yang terlalu fashionable, modis! Image ini sudah melekat pada Barthes  karena tidak terlepas dari kegiatan intelektual Barthes selama ini.
Menghadapi rumor tersebut, orang yang berada dalam posisi paling sulit adalah Foucault. Foucault, karena posisinya di College, harus mewawancarai Barthes dan memberikan penilaian pada dewan profesor. Barthes adalah sahabat lama, mereka bertemu pada tahun 1950-an. Dalam perjalanan waktu persahabatan ini “retak”, berubah menjadi perang dingin. Yang tersisa adalah persaingan intelektual yang mencuat lewat polemik. Pada tahun 1975 mereka “harus” bertemu: Barthes datang sebagai seorang pemalar kandidat profesor baru. Foucault rupanya panik. Secara psikologis ia tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk bertemu dan melakukan wawancara dengan “intelectual rival”.
Lima tahun kemudian, pada sore hari di awal April 1980, saat mengharukan namun juga dramatis “menimpa” Foucault lagi. Kini giliran dia harus angkat bicara. Oleh para kolega profesor, Foucault mendapatkan kepercayaan untuk mengucapkan eulogia di hadapan jenazah Barthes yang meninggal secara tak terduga karena tertabrak truk pada tanggal 26 Maret. Persahabatan! Itulah tema yang dipilih Foucault-tema yang amat mahal untuk melukiskan hubungan di antara keduanya yang baru saja dipulihkan.
Untuk memasuki perjalanan intelektual Barthes, saya membaginya menjadi 3 momen – istilah yang juga dipilih Barthes daripada istilah tahap atau periode. Di antara pembagian yang sudah ditawarkan oleh banyak penulis (termasuk oleh Barthes sendiri), saya memilih pembagian sebagai berikut: momen literer-ideologis, momen ilmiah, dan momen tekstual.
Bayang-bayang Sartre dalam Sastra
Buku Writing Degree Zero – entah langsung atau tidak – merupakan hasil dari hangatnya perbedaan pendapat di Perancis waktu itu di sekitar tanggung jawab sastra dalam masyarakat. Persoalan yang diajukan Sartre muncul lagi dalam buku Barthes. Barthes bahkan juga membuka tulisannya dengan judul “What is Writing?” Tidak mengherankan jika buku Barthes dibaca berdasarkan buku Sartre. Pada tahun 1968 Sontag belum melihat sentralitas konsep writing dalam tulisan Barthes tersebut. Dia masih silau oleh aura Sartre. Konsep writing tidak lebih daripada sebuah revisi kecil yang kurang berarti atas dua unsur dalam teori sastra Sartre: language dan style. Akan tetapi tujuh belas tahun kemudian, yaitu tahun 1981, atau beberapa saat setelah Barthes meninggal, penilaian Sontag tentang writing berubah. Kali ini, entah sadar atau tidak, justru Sontag yang merevisi pandangannya. Ia tidak mengingkari sentralitas writing dalam sejarah intelektual Barthes dan orisinalitas konsep itu dalam pemikiran Perancis modern.
Sejarah tulisan. Barthes sendiri menyebut Writing Degree Zero sebagai “Pengantar Sejarah Tulisan” (Introduction to a History of Writing). Buku yang sangat abstrak ini (paling abstrak di antara tulisan-tulisannya) dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisikan sebuah treatment sastra secara teoritis –sinkronis dan bagian kedua lebih bersifat historis. Berbeda dengan Sartre yang hanya membedakan dua unsur dalam sastra, yaitu bahasa (language) dan gaya (style); Barthes  menambah satu unsur lagi, yaitu tulisan (writing).
Pelembagaan Sastra. Barthes mengamati sejarah tulisan sastra dari zaman Klasik dan Romantik (abad ke-17 dan 18) sampai sastra modern (pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20). Kalau zaman Klasik/Romantik ditandai dengan pelembagaan Sastra, pada awal abad ke-20 ditandai dengan kematian lembaga Sastra.
Krisis Sastra : munculnya tulisan modern. Periode yang diikuti oleh disintegrasi ideologi borjuis – suatu krisis yang tidak disebabkan oleh Revolusi Perancis melainkan lebih oleh Marxisme! Krisis ini berlangsung kurang lebih satu abad. Awal krisis ditandai dengan munculnya kesadaran untuk menjadikan tulisan sebagai “object of creative action’. Artinya, tulisan menjadi medium bagi penulis untuk berkreasi dan bukan hanya menghasilkan karya-karya sastra sesuai dengan gaya literer resmi.
Sastrawan tanpa Sastra. Krisis ini mencapai puncaknya lewat karya-karya Mallarme (1842-1898) yang disebut “pembantai bahasa” (“murderer of language’). Mallarme mengantar Sastra ke pintu gerbang Tanah Terjanji, yaitu “sebuah dunia tanpa Sastra, meskipun begitu para penulis harus memberikan kesaksian tentang dunia.” Tanah Terjanji sebagai dunia tanpa Sastra ini mulai dimasuki dan dihuni oleh para “penulis tanpa Sastra” seperti Sartre dan Camus.
Sastra sebagai saksi kemanusiaan 1. Jadi keterlibatan seorang penulis terletak dalam kesaksian yang ia berikan atas kemanusiaan. Kesaksian ini tidak diungkapkan secara positif melainkan negatif, tidak dalam kebisingan ideologis melainkan dalam kebisuan murtlak (complete silence).
Sastra sebagai saksi kemanusian 2. Dalam hal ini menarik kita perhatikan pengamatan Tony Judt lewat Past Imperfect. French Intellectuals, 1944-1956 (1996) yang berisikan sejarah cendikiawan Perancis setelah Perang Dunia II. Di tengah hingar-bingar (sebagian besar) cendikiawan negara-negara Eropa lainnya yang bicara soal politik, ideologi, kebebasan (politik); “cendikiawan Perancis pertama-tama tetap peduli pada sastra, filsafat, atau seni” dan dengan begitu mereka menghasilkan “kebudayaan yang secara kokoh berorientasi pada kata”.
Kritik atas realisme sosial. Kita mendapat kesan (terutama kalau kita tinjau dari perspektif konflik ideologi) bahwa sastra yang terlibat, sastra yang ber tanggungjawab, tulisan kosong adalah sastra sebagaimana dihasilkan para penulis realis sosial. Barthes menolak kesan ini. Para realis sosial gagal menciptakan tulisan degree zero karena mereka masih menggunakan estetika realisme (semacam naturalisme) borjuis sebagai modelnya – yaitu estetika yang mementingkan menggambarkan realitas apa adanya.
Tulisan sebagai idiolek. Sepuluh tahun kemudian, dalam Elements of Semiology (1996) Barthes menyejajarkan tulisan (walaupun secara roughly) dengan apa yang dalam linguistik disebut idiolek, yaitu “the language of a linguistic community, that is, of a group of persons who all interpret in the same way all liunguistic statements”. Dengan bantuan semiotika ini – yang belum ia pakai (karena belum ia  kenal?) ketika ia menulis Writing Degree Zero – konsep tulisan menjadi semakin matang dan di kemudian hari menjadi konsep kunci di samping konsepnya tentang teks.
Sastra. Pentingnya sastra dalam perjalanan hidup imajinasi intelektual Barthes dapat kita lihat lewat saat-saat penting ketika ia mengubah minatnya. Sastra menjadi alat ukur dan ujinya. Sastra ibarat cahaya yang menembus bidang-bidang yang masih gelap namun perludialami. Tetapi sastra juga bisa membuat hal-hal yang tak absurd menjadi lebih bisa diterima – sekalipun tidak intelligible. Apa itu sastra? Sastra yang mana? Sastra menurut siapa? Justru persoalan-persoalan ini yang selalu membimbing Barthes.
Kritik ideologi budaya massa. Dari segi tema, Mythologies berisi problematisasi ideologi dalam budaya massa; dari segi pendekatan buku ini merupakan buku teori semiotik tentang ideologi atau budaya massa pada umumnya. Barthes sendiri tidak menyebut teorinya dengan sebutan teori atau kritik ideologi melainkan teori mitos. Meskipun demikian tidaklah menyesatkan kalau kita menggunakan teori ideologi juga untuk teori mitos karena pada akhirnya apa yang dicari dalam teori mitos tidak lain adalah ideologi.
Momen Ilmiah-Saussurean
Strukturalisme: label mematikan. Strukturalisme adalah sebuah label yang dilematis untuk dikaitkan pada orang seperti Barthes (juga Foucault, Lacan, dan Derrida). Dilema pertama-tama tidak muncul dari orang-orang yang hendak diklasifikasikan melainkan dari kegiatan klasifikasi itu sendiri (disana ada asumsi: ilmu sebagai klasifikasi atau klasifikasi sebagai kegiatan ilmiah!). Dilema ini tidak kurang rumit daripada dilema yang muncul ketika orang mulai berbicara tentang seni bertitik tolak dari genre. Gejala terima atau tidak terima atas label “stukturalisme” membuktikan bahwa “strukturalisme” atau “struktural” sudah menjadi wacana dalam arti Foucauldian.
Strukturalisme: deortodoksisasi. Apakah Barthes merasa nyaman dengan sebutan ini? Ya dan tidak. Ya, karena ia memang pernah terpesona dengan pendekatan struktural dan memeriksa kemungkinan terbesar yang bisa disumbangkan oleh pendekatan ini bagi humanism. Tidak, karena strukturalisme hanya salah satu momen di antara momen-momen lainnya. Meskipun demikian, harus diakui bahwa momen struktural dalam hidup Barthes merupakan momen amat penting.
Harapan atas semiotika. Barthes membaca tulisan Saussure pada pertengahan tahun 1950-an. Dia merasa kagum (I’was dazzled”) begitu melihat kemungkinan pengembangan teoretis yang dijanjikan semiotika untuk memecahkan problema hubungan antara bahasa, budaya dan ideologi.
Menunaikan harapan. Langkah Barthes selanjutnya adalah mempelajari dan menjalankan semiotika dengan mengajar, menulis, meneliti, dan berdialog dengan para pemikir sezamannya. Tentu kita tidak bisa melupakan buku Mythologies yang sudah disebut di atas yang merupakan the founding text dalam kajian budaya media.
Semiotika sebagai pendekatan ilmiah 1. dalam bentuknya yang sangat sistematis dan programatis, moment of science sebagai pencarian pendekatan semiotik dapat kita periksa dalam elements. Gottdiener menyebut Element sebagai buku paling berpengaruh dalam bidang semiotika sejak Perang Dunia II.
Semiotika sebagai pendekatan ilmiah. Untuk mendapatkan gambaran lebih menyeluruh tentang jatuh bangun Barthes dalam mengembangkan pendekatan semiotik sebagai pendekatan ilmiah, kita mesti membandingkan dan melengkapi Element dengan sejumlah esai lainnya (yang ditulis baik sebelum maupun sesudah Element) yang secara khusus membahas satu atau dua elements dalam analisis semiotik.
Semiotika budaya media. Dari perspektif teoritis ini, kita mesti menilai analisis-analisis Barthes tentang produk-produk budaya media seperti mode, iklan, film, drama, objek wisata, dan tema-tema lain yang sering kurang mendapat perhatian di lingkungan akademik. Lewat analisis-analisis ini Barthes memberikan sumbangannya yang paling orisinal dalam kajian budaya massa. Yaitu, orisinalitas yang lahir bukan dari sintesis abstraksi melainkan dari sejarah budaya modern itu sendiri, namun juga orisinalitas yang hari ini sudah menjadi ortodoksi!.
Bukan momen akhir. Kalau kemudian Barthes dikaitkan dengan kelahiran dan laju semiotika modern, penilaian ini bukannya tanpa alasan. Dia mengajar semiotika, membuat teori, dan meneliti dengan pendekatan semiotika. Last but not least, ia diberi “Kursi Semiotika” di College of France, perguruan prestisius yang melahirkan pemikir-pemikir besar (seperti Michelet, Paul Valery, Merleau-Ponty, Louis Althusser, Emile Benveniste, dan tentu saja, Michel Foucault). Barthes memang membuat semiotika menjadi pendekatan ilmiah (satu di antara pendekatan-pendekatan ilmu sosial kemanusiaan yang sudah ada), memasukkan objek kajian “tidak ilmiah” ke lingkungan dunia akademik, dan yang paling penting membiarkan semiotika dikembangkan oleh sejarah modern.
Analisis Tekstual Pos-Saussurean
Analisis tekstual. Perjalanan teoritis Barthes berakhir pada teori teks atau analisis tekstual. Istilah “analisis tekstual” dibedakan dari analisis semiotik-positivistik dan/atau analisis struktual yang selama ini ia jalankan dengan penuh ketaatan dan kekaguman. Pergeseran ini dilihat secara retrospektif adalah pergeseran menuju pendekatan pos-struktural dimana Barthes menjadi salah satu perintisnya.
Pleasure. Pergeseran paling mendasar terjadi pada tataran epistemologis. Istilah epistemologi bahkan tidak terpaksa lagi dalam analisis tekstual. Epistemologi diganti dengan pleasure.
Pengembangan landasan teoritis. Dalam bentuknya yang puitis (dalam arti memberikan inspirasi kreatif), teori teks dituangkan dalam bukunya The Pleasure of the Text (1973). Dalam bentuknya yang lebih retorik (memberikan daya persuasi tinggi), kita menemukannya dalam “The Inaugural Lecture” (1977). Dalam bentuknya yang lebih skematis kita baca dalam “From Work of Text” (1971) dimana Barthes membuat tujuh tesis tentang teks dan karya. Analisis teks juga memaksakan Barthes untuk meninjau kembali kedudukan seorang author lewat tulisannya “The Death of the Author” (1968) yang sebelumnya sudah pernah ia bahas lewat “Author and Writers” (1960).
Analisis tesktual atas narasi. Analisis tekstual yang ia jalankan dengan kurang lebih tuntas ia lakukan dengan membaca “Sarrasien” karya Honore de Balzac dan dapat kita baca dalam S/Z”. Di kemudian hari, tulisan yang merupakan hasil seminar di Ecole Pratique des Hautes Etudes (1968-69) ini sering ia rekomendasikan pada para pembaca yang ingin melihat contoh sebuah analisis tekstual yang kurang lebih utuh.
Kritik sastra. Melihat penerapan analisis tekstual dalam karya-karya sastra di atas, sumbangan Bathes pada perkembangan kritik sastra di Perancis tidak bisa diabaikan. Barthes sering dianggap sebagai salah satu peletak dasar bagi nouvelle critique di samping Foucault dan Derrida, memberi inspirasi bagi bangkitnya kembali avant garde.
Budaya media. Analisis tekstual tidak hanya diterapkan pada sastra melainkan juga terhadap gejala budaya pada umumnya atau “the struggle between men and signs”. Kalau dalam “Change the Object It Self” Barthes merevisi teori mitos dengan mengatakan bahwa tujuan analisis mitos bukan lagi mencari makna dari objek melainkan menciptakan objek baru, teorinya itu ia terapkan dalam buku Empire of Signs (1970), sebuah tulisan yang dibuat dari pengalamannya mengunjungi Jepang.
Kritik seni. Perkembangan akhir dari pemikiran Barthes barangkali mengecewakan mereka yang ingin membuat sebuah penelitian dengan design komprehensif dan taksonomi serinci mungkin.
Semiotika negativa atau semiotropi. Apakah dengan meninggalkan pendekatan semiotiko-struktural Barthes menolak kategori tanda (semeion)? Tidak, Barthes tidak sedang melakukan penghancuran tanda (semioklasme). Sebaliknya, ia justru menjadi semakin “tergila-gila” dengan tanda. Oleh karena itu pendekatannya juga ia sebut semiotropis. Dengan istilah ini ia ingin menunjukkan semiotika bukan semata-mata ilmu tentang tanda melainkan cinta akan tanda.
Aforisme. Dalam awal tulisan ini kita melihat pengakuan Barthes pada tahun 1977 yang hanya mampu menghasilkan esai. Seandaianya Lecon diberikan pada tahun 1980-an, barangkali ia akan mengakui bahwa ia tidak menghasilkan apa-apa kecuali serpihan-serpihan teks atau aforisme. Sekalipun diterbitkan dalam sebuah “buku” (misalnya The Pleasure of the Text dan Canera Lucida), tulisan-tulisan Barthes pada hakikatnya adalah kumpulan aforisme. Semangat aforisme ini juga kita temukan dalam Empire of Sign.
B. PROBLEMATISASI KONSEP-KONSEP DASAR
“The aim of semiological research is to reconstitute the functioning of the systems of signification other than language in accordance with the process typical of any structuralist activity, which is to build a simulacrum of the objects under observation.” – Roland Barthes.
Pendekatan semiotik. Kutipan pertama di atas (diambil dari “Conclusion” buku Elements of Semiology) akan kita pakai sebagai titik berangkat untuk mengenal konsep-konsep dasar semiotika Barthesian (tentu saja juga Saussurean). Jadi, tujuan penelitian semiotik adalah “to reconstitute” (sementara tidak kita terjemahkan) berfungsinya sistem signifikasi selain bahasa; tugas ini dijalankan melalui langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh seorang strukturalis, yaitu membangun sebuah simulacrum dari objek yang sedang diteliti.
Semiotika: linguistik, ilmu tanda, filsafat. Seperti sudah disebut di muka, semiotika menandai lahirnya linguistik modern, yaitu ilmu yang mempelajari bahasa. Barthes tertarik pada semiotika bukan pertama-tama sebagai linguistik, tapi karena semiotika bisa mempelajari juga “other than language”. Ternyata semiotika tidak hanya membuka era baru bagi linguistik dan studi kebudayaan modern melainkan juga filsafat. Kalau sebagai ilmu tanda (baik linguistik dan non linguistik) semiotika lebih dekat dengan ilmu positivistik-paling tidak pada awal perkembangannya, sebagai filsafat bahasa, semiotika merefleksikan dirinya sendiri.
Struktural – sistem signifikasi. Tujuan dan prosedur penelitian semiotik mirip dengan yang dilakukan dalam penelitian struktural. Barthes tidak menjelaskan apa-apa tentang pendekatan struktual. Maklumlah, pada waktu itu pendekatan struktural sudah menjadi mainstream atau sudah menjadi pengetahuan umum di lingkungan komunitas intelektual Perancis pasca Sartrean.
Konsep-konsep dasar. Untuk mengenal konsep-konsep dasar dalam semiotika, kita harus pandai membatasi diri dan memilih. Kalau tidak, konsep yang satu justru dapat mengaburkan konsep yang lain. Oleh karena itu, konsep-konsep yang akan disentuh disini akan dipilih yang benar-benar penting dan itupun tidak akan dibicarakan secara mendalam. Semakin mendalam akan semakin membingungkan karena setiap konsep mempunyai sejarah kontroversinya masing-masing.
1. Tanda
Signification. Signification yang sudah kita pakai di atas berasal dari bahasa Latin significatio. Kata Latin ini – secara etimologis – terdiri dari dua kata dasar : signum (tanda) dan facere (membuat). Significatio berarti – menurut Kamus Latin-Indonesia – “hal menunjuk, hal menyatakan, pengungkapan, petunjuk, tanda, isyarat.”
Tanda (sign). Dalam pembahasan tentang tanda, Barthes mulai dengan pernyataan Saussurean: “Signified dan signifier [….] adalah komponen-komponen tanda”. Pembedaan secara internal dalam tanda ini mempunyai dampak luar biasa dalam ilmu tentang tanda (semiotika).
Contoh: supermarket. Kata “supermarket”, misalnya, bisa menjadi tanda, karena dia memiliki signifier (kata itu sendiri) dan signified (tempat nyata dimana kita bisa berbelanja berbagai macam kebutuhan dengan manajemen  mutakhir dan pelayanan prima). Kesatuan antara kata dan kenyataan itulah yang membuat supermarket menjadi tanda (sign). Untuk orang yang buta huruf atau yang belum mengenal sama sekali ungkapan tersebut, kata “supermarket” bukanlah tanda. Justru karena dia tanda, ia akan siap dihubungkan dengan tanda-tanda lain dan, dengan demikian, mempunyai hubungan eksternal. Hubungan antara signifier dan signified ini disebut hubungan simbolik dalam arti bahwa signifier menyimbolkan signified. Kalau kita pergi ke supermarket, objek yang kita saksikan itu juga bisa menjadi tanda yang terdiri dari signifier (tempat itu sendiri) dan signified (misalnya, gaya hidup orang kota). Jadi tanda yang dipelajari oleh semiotika bukan hanya tanda-tanda linguistik seperti kata namun juga objek.
Fiksi. Dari cara kita berbicara tentang tanda, kita mendapat kesan seolah-olah ada tiga hal yang terpisah secara spasial (signified, signifier, dan sign) dan yang disatukan dalam signification. Kesan ini harus dikoreksi. Jarak ini hanya bersifat  metaforis saja. Atau, seperti sudah disebut di atas, hanya sebuah perspektif. Pembedaan ini dilakukan karena keyakinan bahwa perspektif kita tentang realitas atau pembentukan objek dalam pikiran kita terjadi lewat systems of signification. Jadi pembedaan ini kita buat secara fiktif saja dalam artian fictio. Entah Anda setuju atau tidak, metode dan teori adalah suatu fiksi, hasil ciptaan.
2. Tiga Macam Hubungan Tanda
Tanda dan prinsip perbedaan. Makna tanda bukanlah “innate meaning” (makna bawaan, alamiah, tak berubah) melainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang dipakai dalam kelompok orang tertentu (jadi historis). Dalam sistem tanda, suatu tanda dapat menghasilkan makna karena prinsip perbedaan (different). Dengan kata lain, makna dihasilkan oleh sistem perbedaan atau sistem hubungan tanda-tanda. Oleh karena itu dalam analisis semiotik, sistem hubungan ini menduduki tempat amat penting karena tugas analisis semiotik adalah merekonstruksi sistem hubungan yang secara  kasat mata tidak kelihatan.
a. Hubungan Simbolik
Hubungan Simbolik. Hubungan simbolik muncul sebagai hasil dari hubungan tanda dengan dirinya sendiri atau hubungan internal. Istilah internal dipakai untuk menunjuk hubungan antara signifier dan signified. Hubungan simbolik menunjuk status kemandirian tanda untuk diakui  keberadaannya dan dipakai fungsinya tanpa tergantung pada hubungannya dengan tanda-tanda lain. Kemandirian ini membuat tanda tersebut menduduki status simbol.
b. Hubungan Paradigmatik
Hubungan virtual (paradigmatik, sistemik). Kalau hubungan simbolik merupakan hubungan internal dalam suatu tanda, hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas satu sistem. Sebuah gambar “supermarket” dalam iklan dapat mempunyai hubungan paradikmatik dengan, misalnya, pasar dan mal. Supermarket, pasar, mal adalah tanda-tanda dari kelas tempat belanja. Gambar “ketupat” yang kita jumpai dalam berbagai iklan pada bulan Ramadhan mempunyai hubungan paradigmatik dengan, misalnya peci, sarung, dan sebagainya.
c. Hubungan Sintagmatik
Hubungan dan kesadaran sintagmatik. Aspek ketiga dari hubungan dalam tanda adalah hubungan sintagmatik atau hubungan aktual.  Hubungan ini menunjuk hubungan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik yang medahului atau mengikutinya. Dalam film, hubungan sintagmatik dikenal dengan istilah montage. Montage disusun dengan satuan-satuan gambar (shot). Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke dapan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab-akibat. Dalam kaitannya dengan produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan logis atau kausalitas.
3. Bahasa/Wicara dan Budaya
Bahasa dan wicara. Mengapa kita dapat memberi makna pada suatu tanda? Mengapa kata “supermarket” menimbulkan imajinasi pada kita tentang pasar, mal dan kota, orang kaya dan sebagainya? Mengapa kata “kertas” menimbulkan imajinasi pada kita tentang barang yang sering kita pakai untuk menulis? Imajinasi ini terjadi karena sudah ada semacam kesepakatan sosial, sudah ada pranata yang mengaturnya, ada aturan. Seolah-olah ada kamus sosial yang mendorong kita untuk mengaitkan “supermarket” dengan “kertas” dengan konsep sebagaimana kita tangkap. Kesepakatan semacam inilah yang dimaksud dengan “bahasa”
C. ANALISIS MITIS SEBAGAI KRITIK IDEOLOGI
Mitos dan ideologi. Mitos adalah salah satu jenis sistem semiotik tingka dua. Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik (membuat dalam “krisis”) dan ideologi budaya massa (atau budaya media). Apa hubungan teori mitos dan kritik ideologi. Inilah pertanyaan sentral dalam buku ini. “Mitologi menjadi bagian dari semiotika sejauh mitologi merupakan ilmu formal”, kata Barthes, “dan menjadi bagian ideologi sejauh mitologi menyangkut ilmu sejarah, yaitu mempelajari ide-ide dalam bentuk (ideas-in-form). Dengan definisi ini, mitologi merupakan bidang yang bisa dipelajari baik oleh semiotika atau ideologi. Dengan definisi ini pula Barthes menunjukkan bahwa semiotika memang sebuah pendekatan formal (cenderung sinkronis); akan tetapi ketika semiotika digabungkan dengan ideologi, kita bisa mendapatkan sebuah pendekatan sinkronis-diakronis tentang ideologi, karena ideologi selalu terkait dengan masyarakat tertentu.
Budaya media. Sebagai bidang penelitian, Barthes memilih budaya media. Langkah Barthes ini merupakan sebuah rintisan penting dalam perkembangan kajian media. Dengan mengangkat media massa sebagai kajian, ia memeriksa bentuk-bentuk mitos yang kita temukan dalam media massa dan muatan ideologis di dalamnya. Ini berarti bahwa kajian Barthes merupakan sebuah kritik atas ideologi budaya media dengan menggunakan semiotika sebagai pendekatannya.
Kritik budaya modern. Agar pendekatan kajian media dapat benar-benar sinkronis-diakronis atau semiotik-idelogis, orang harus memilih masyarakat tertentu. Untuk itu Barthes memilih masyarakat Perancis pada tahun 1950-an, saat buku ini disiapkan.
Relevansi. Kritik ideologi atas budaya media harus kita tempatkan pada kritik atas budaya media pada umumnya. Barthes sejauh ini belum “keras” melakukan kritik ini. Dia baru menganalisis proses signification dalam budaya media. Sebagai seorang kritikus, Barthes tidak serta-merta menolak begitu saja budaya tersebut melainkan justru memeriksa cara kerja sistem tanda yang ada di dalamnya.
Agenda. Untuk mengenal pendekatan campuran (semiotik-ideologis, sinkronis-diakronis) yang diajukan Barthes, kita akan lebih memusatkan perhatian pada aspek yang pertama, yaitu semiotik atau sinkronis. Meskipun demikian, kita juga akan membahas aspek yang kedua, karena kalau tidak, aspek yang pertama kurang berarti.
1. Mitos sebagai Sistem Semiotik; Konsep-konsep Dasar
Mitos. Mitos (berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita) biasanya kita pakai untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. Mitos menjadi salah satu tema kajian  menarik di lingkungan antropologi (seperti dirintis Levi-Strauss) dan filsafat budaya (Van Peursen). Ciri mitos (kisah yang tidak benar) dan fungsinya (diperlukan untuk memahami lingkungan) inilah yang coba diteorisasikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan semiotik.
Sistem semiotik. Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diungkapkan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu form, concept, dan signification. Dengan kata lain, form sejajar dengan signifier, concept dengan signified, dan signification dengan sign.
Mitos sebagai sistem semiotik tingkat dua. Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem semiotik tingkah pertama sebagai landasannya. Jadi, mitos adalah sejenis sistem ganda dalam sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.
Contoh 1: Mitos imperalisme. Untuk memperjelas pemahaman kita tentang konsep mitos di atas, kita akan melihat satu di antara dua contoh (yang diberikan oleh Berthes) yang paling banyak diingat oleh para pembacanya. Contoh itu berupa sebuah foto serdadu kulit hitam yang sedang memberi hormat pada “tricolor” (sebutan lain untuk bendera Perancis yang mempunyai tiga warna) yang terpampang pada majalah Paris-Match. Sebagai sistem semiotik tingkat pertama, gambar itu terdiri dari signifier (foto serdadu yang memberi horjmat pada bendera Perancis), dan signified (serdadu “beneran” yang memberi hormat pada bendera Perancis), dan sign (kesatuan antara foto dan serdadu “beneran”). Bagi Berthes yang nota bene seorang Perancis, foto tersebut tidak hanya berarti “serdadu Negro memberi hormat pada tricolor”. Makna itu bahkan kurang lagi disadari. Dengan kata lain, “gambar serdadu Negro” menunjukkan (signifies) kebesaran Perancis. Munculnya makna (meaning signification) tersebut dapat dijelaskan secara semiotik. “Kebesaran Perancis” dihasilkan oleh sistem semiotik tingkat dua (atau sistem mitris) yang dibangun di atas sistem semiotik tingkat pertama. Bahkan gambar itu bisa berarti “Perancis merupakan imperium besar sehingga seluruh anak-anaknya tanpa perbedaan warna kulit apapun tetap menghormati benderanya”.
Historis. Lewat foto di atas, Barthes bisa mengalami makna “kebesaran Perancis” karena sebagai salah seorang dari “ber[France] sons”, dia tahu sejarah Ibu Pertiwi, khususnya ketika Perancis menjadi kekuatan imperalis paling hebat di tanah Afrika. Sejarah berfungsi sebagai “lumbung” tanda untuk membaca gambar pada sampul Paris-Match tersebut. Mitos, kata Barthes, memang selalu bersifat historis. Pengalaman atau pengetahuan tentang sejarah menjadi faktor kunci untuk menangkap form dari sebuah mitos.
Bahasa- objek dan metababasa. Sistem linguistik tingkat pertama ini juga disebut bahasa-objek (language-object), karena bahasa berbicara langsung tentang objek atau merespresentasikan objek (foto serdadu Negro membicarakan serdadu Negro di lapangan, Icb bin Berliner membicarakan orang Berlin). Arti kedua dari bahasa-objek: “the language which myth gets bold of in order to build its own system”. Sistem semiotik tingkat dua disebut metabahasa (metalanguage-sebuah konsep yang dipinjam dari Jakobson) karena dia berbicara tentang bahasa-objek (“in which, one speaks about the first). Kata “tentang” mempunyai nuansa demikian: sistem tanda tingkat dua membangun makna dengan mengolah makna yang dihasilkan oleh bahasa-objek.
Jer basuki mawa bea. Mitos sebagai metabahasa juga ditemukan dalam peribahasa atau aforisme, misalnya ungkapan Jawa yang berbunyi “jer basuki mawa bea” (Agar dapat bahagia dibutuhkan biaya). Sebagai sistem denotatif, ungkapan ini berarti: tidak ada suatu nilai yang cuma-Cuma, nilai butuh pengorbanan. Jadi ada hubungan sebab-akibat antara “basuki” dan “bea”. Kata kebijaksanaan ini mempunyai kekuatan untuk menjadi mitos karena bentuk ungkapan ini bisa “diisi” konsep baru. Konsep ini dapat berupa, misalnya, perlunya pengorbanan rakyat. Di Indonesia cara berbicara ini pernah menjadi salah satu cara bicara yang digemari penguasa: menggunakan bentuk-bentuk yang sudah diakui untuk kepentingan yang sebenarnya masih diperdebatkan.
Mitos metabahasa atau konotasi? Kalau kita memperhatikan skema yang diberikan Barthes kita pasti akan menyimpulkan bahwa mitos adalah sejenis konotasi. Dari skema itu kita melihat bahwa sistem tanda tingkat pertama dijadikan signifier baru sistem pada tingkat kedua. Hal ini ditegaskan dalam Element.
2. Fungsi, Ciri-ciri dan Hakikat Mitos
Fungsi mitos: distorsi dan deformasi. Mitos berfungsi untuk mendistorsi makna dari sistem semiotik tingkat pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realitas yang sebenarnya. Fungsi ini dijalankan dengan mendeformasi forma dengan konsep.
Contoh 1: Mitos pos-imperalisme. Dalam lukisan Henri Rousseau The Representatives hubungan distortif kita temukan antara makna “denotatif” lukisan itu dan forma. Makna denotatif terkait erat dengan kehidupan orang-orang asing di tanah jajahan yang hendak membawa perdamaian. Dengan ditempatkan dalam sebuah buku berjudul Culture and Imperalism yang dikarang oleh seorang penulis yang pernah menerbitkan buku Orientalism yang kontroversial (paling tidak di lingkungan para orientalis), lukisan ini mempunyai konsep yang jelas “imperalisme kebudayaan” atau “imperalisme bukan hanya menimbulkan kerugian ekonomi dan politis melainkan juga budaya.
Metoniomi. Mitos bekerja atas metonimi. Artinya, hubungan yang menonjol dalam signification adalah hubungan sintagmatik. Dalam mitos, kita sudah mempunyai bentuk yang jelas. Selanjutnya kita tinggal mencari konsep (atau signified). Dalam mitos, yang mengambil bentuk hubungan metonimik, “a part stands for the whole”. Gejala metonimik ini juga kita rasakan saat kita memasuki pusat-pusat perbelanjaan seperti mal. Hanya dengan hadir dalam sebuah gedung yang ditata sedemikian rupa kita bisa merasa seolah-olah kita hadir dalam budaya global dengan mengasosiasikan berbagai objek yang kita jumpai: sejak kita menginjakkan kaki di halaman mal, menaiki eskalator, memandang para pramuniaga dan poster-poster, membayar di kasir, sampai kita pulang sambil menenteng hasil belanjaan. “Yogya sudah maju seperti Chicago”, kata seorang teman dari Amerika setelah puas berbelanja celana panjang di sebuah pusat perbelanjaan di Jalan Malioboro. Lain lagi dengan komentar seorang teman yang baru saja pulang dari Hongkong. “Belanja di Jakarta tidak kalah dengan belanja di Hongkong” “Seperti” dan “tidak kalah” dalam pernyataan-pernyataan ini apakah Yogya “seperti” Chicago dan Jakarta “tidak kahal” dari Hongkong? Kualitas dan kuantitas barang yang dijual? Mungkin saja, meskipun tidak ada jaminan. Menurut saya, yang pasti adalah dalam hal pengalaman hadir dalam ruang global, ruang budaya kosmopolitan. Ungkapan “seperti” dan “tidak kalah” sesungguhnya bukan ungkapan untuk membandingkan melainkan ungkapan orang yang ditelan oleh ruang global atau, persisnya, ruang global imajiner atau yang lazim disebut hyperspace, utopian space, dan semacamnya.
3. Analisis Mitos sebagai Analisis Semiotik
Mitos sebagai sistem signifikasi. Apa artinya analisis mitis dilihat dari penelitian semiotik secara umum? Kalau kita melihat uraian di atas, apa yang disebut mitos tidak lain adalah signification yang merupakan kesatuan antara bentuk dan konsep. Strukturnya sama dengan tanda yang merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Analisis mitis harus meliputi identifikasi unsur-unsur ketiga hal tersebut; melihat hubungan antara ketiganya; dan melihat hubungan antara sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua.
Nilai mitis-semiotik. Nilai semiotik bisa kita pakai untuk menunjukkan kemungkinan suatu mitos ditukarkan dengan suatu ide (ideologi) dan dibandingkan dengan mitos-mitos lain. Suatu mitos dapat dipakai karena dia punya nilai. Kita bisa membandingkannya dengan berbagai mitos (serupa atau yang berlawanan) yang ada dalam suatu masyarakat. Dia mempunyai nilai karena dia dapat kita tukarkan dengan ideologi tertentu.
Membaca mitos. Sampai sekarang kita baru berbicara tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meneliti mitos. Secara implisit kita sebenarnya sudah melihat satu di antara tiga kemungkinan untuk membaca mitos. Cara yang kita lakukan sampai sekarang sudah menganalisis sistem mitos secara kritis. Kemungkinan kedua, kita dapat menjadi pembuat mitos dengan jalan mengembalikan signification ke makna literal dan, oleh karena itu, kita mengembalikan kekuatan simbolis dari tanda tingkat pertama. Kemungkinan ketiga, kita bisa menjadi seorang konsumen mitos dengan menikmati mitos sampai kita merasakan kehadiran, membiarkan mitos melakukan fungsinya.
Iklan. Seperti di atas, teorinya tentang mitos dimaksudkan untuk meneliti budaya media seperti iklan. Iklan mengambil bentuk sistem mitis karena iklan menggunakan sistem tanda tingkat pertama (gambar, musik, kata-kata, gerak-gerik) sebagai landasan untuk pembentukan sistem semiotik tingkat dua. Untuk itu iklan akan menggunakan sistem tanda tingkat pertama dari hal-hal yang sudah akrab betul dengan sasaran ikan, sehingga ia dapat menjadi landasan yang kokoh dan menarik bagi proses naturalisasi konsep yang diajukan oleh pembuat iklan.
4. Analisis Mitis dalam Kritik Ideologi : Kritik Humanisme
Mitos dan ideologi. Sebagaimana disebut dalam awal tulisan ini, dengan teori semiotiknya Barthes ingin melakukan kritik ideologi atas budaya massa. Untuk tujuan itu, Barthes menggabungkan dua macam pendekatan yang saling melengkapi, yaitu pendekatan semiotik dan kritik ideologi.
Pembaca mitos: penikmat yang kritis. Untuk menjadi seorang analis ideologi secara kritis ternyata Barthes mengajak kita unguk menjadi penikmat mitos, tapi penikmat yang kritis! Kita tidak boleh sinis agar sistem mitis berhasil menunaikan fungsinya dan, dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana suatu sistem mitis bisa berfungsi sebagai sign-vehicle bagi ideologi.
Ideologi. Marx mengartikan ideologi sebagai pengelabuan, Gramsci sebagai “pandangan tentang dunia”, dan Althusser mengatakan bahwa “ideology interpellates the subjects”. Barthes tidak memberikan perhatian secara khusus pada definisi tentang ideologi. Ia lebih tertarik pada analisis tentang cara keberadaan ideologi dalam suatu masyarakat dan cara ideologi itu dihasilkan dan dikonsumsi atau, singkatnya, analisis sistem mitis sebagai signifying system yang dapat dipakai sebagai sign-vebide bagi ideologi.
Kritik ideologi: sinkronik dan diakronik. Teori Barthes tentang mitos dan /atau ideologi memungkinkan kita melakukan kajian ideologi baik secara sinkronik maupun diakronik. Dilihat dari perkembangan kajian ideologi, pendekatan Barthes merupakan penyempurnaan pendekatan-pendekatan yang ada pada waktu itu, yang cenderung berat sebelah. Kritik ideologi Barthesian bersifat sinkronik karena alasan yang sudah diuraikan panjang-lebar di atas: analisis semiotik atau mitis merupakan analisis formal. Bersifat diakronik, karena Barthes pada akhirnya mengembalikan analisis ideologi pada kapan, dimana, dan dalam lingkungan apa sistem mitis itu dipakai.
Politis dan bahasa. Dari sudut pandan semiotik, hubungan antara ideologi dan budaya terletak pada fakta bahwa untuk menafirkan bahasa (untuk komunikasi) orang tergantung pada ideologi yang ada. Jadi, budaya adalah masalah politis dan ideologis. Budaya adalah persoalan tawar-menawar untuk menghasilkan berbagai speches melalui teks budaya yang ada dan ideologi yang ada. Budaya, singkatan, “bukan merupakan konsep yang statis melainkan sebuah arena untuk kontes politis dan ideologis yang penuh kegetiran.
Kritik humanisme “anti-humanis”. Kalau kita periksa dengan teliti, kritik ideologi yang diajukan Barthes adalah sebuah kritik atas humanisme borjuis yang berakar pada humanisme modern atau humanisme warisan Renaisans. Secara implisit kita dapat memeriksa humanisme yang dijadikan dasar Barthes untuk mengkritik humanisme Renaisans. Dan sisi ini, Barthes dapat kita pandang sebagai salah satu peletak dasar humanisme anti-humanis.
5. Kritik Ideologi Barthesian dan Althusserian
Ideologi Althusserian. Saya sebelumnya tidak tahu sejauh mana Barthes bekerjasama dengan Althusser karena antara keduanya kita melihat dua pendekatan  yang saling melengkapi. Baru kemudian saya ketahui bahwa Barthes ternyata salah  seorang mahasiswa Althusser.
Barthes. Dengan membandingkan tiga tesis Althusser di atas dengan kedudukan ideologi dalam sistem mitis Barthesian, kita dapat menarik hubungan penting yang dapat dipakai untuk mendalami kedua pendekatan struktural ini tentang ideologi. Sebagaimana Althusser, Barthes berpendapat bahwa hubungan kita dengan realitas sudah dimediasi secara distortif.
Ideologi dan sub-kultur. Di kemudian hari pemikiran kedua orang ini menjadi landasan penting dalam mempelajari ideologi dari berbagai kelompok sosial dalam masyarakat modern terutama dengan meneliti bentuk-bentuk ideologi mereka dengan memeriksa barang-barang yang  mereka konsumsi setiap hari. Disini perlu dicatat bahwa analisis tekstual harus selalu ditempatkan dalam konteks hipotesis Althusserian tentang misrecognition dan interpellatiojn. Kalau tidak, analisis ideologis hanya akan menjadi kegiatan rutin, terpisah dari persoalan sosial-politik.
D. MENGAMATI FOTO MEDIA DAN MUNCULNYA NEKROKULTURA
Semiotika konotasi. Seperti sudah kita lihat pada Bab III konotasi adalah sistem ganda dimana sistem semiotik tingkat dua mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai signifier atau konsep. Kita juga melihat bahwa semiotika Barthesian sering dinamakan semiotika konotasi untuk membedakan semiotika linguistik yang dirintis oleh mentornya, Saussure.
Kedudukan gambar dalam masyarakat. Untuk membahas semiotika gambar, tujuan kedua kiranya perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Pendekatan struktual Barthes tentang gambar barangkali kurang memadai  untuk melihat fenomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Akan tetapi, fenomena gambar (mass image atau generalized image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan masih menjadi perdebatan teoretis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat dari sisi ini, perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (atau culture industyi) seperti Adorno dan para pengikutnya.
Gambar berita dan iklan. Dengan memilih foto media sebagaimana kita temukan dalam berita dan iklan, kita tidak akan membuat sebuah generalisasi tentang semiotika gambar pada umumnya. Meskipun demikian semiotika tentang dua jenis gambar ini diharapkan dapat membuka jalan baru untuk memasuki jenis-jenis gambar lainnya. Bahwa Barthes mengawali semiotika gambar dengan gambar berita dan iklan tentunya bukan tanpa alasan.
Semiotika gambar. Kehadiran gambar sebagaimana diuraikan di atas perlu dibaca. Kita perlu melihat “fungsi gambar massa” atau “peran gambar dalam masyarakat”. Sebagai seorang semiotikus, Barthes mengembangkan pendekatan struktual untuk membaca fenomena gambar tersebut. Pendekatan yang dirintis Barthes ini dapat kita baca dalam dua tulisannya, “The Photographic Message” (1961) dan “Rhetoric of the Image” (1961) yang masing-masing mengambil fokus pada gambar berita dan gambar iklan.
1. Ciri-ciri dan Hakikat Sistem Linguistik dalam Gambar Berita dan Iklan
Pesan langsung dan pesan interpretatif. Kalau kita melihat gambar atau foto, kita dapat membedakan dua gejala tanda yang tidak dapat dipisahkan: foto secara keseluruhan dan “isi” foto yang terdiri dari berbagai unsur di dalamnya. Dalam foto Habibie yang sedang minum di tengah-tengah Sidang Istimewa MPR, kita melihat dua gejala tersebut dalam foto secara keseluruhan dan berbagai unsur seperti figur. Habibie, gelas, latar belakang, dan sebagainya. Unsur-unsur ini dapat dipecah-pecah lagi sesuai kejelian dan ketertarikan kita masing-masing.
Paradoks. Dengan menyebut pesan literer sebagai pesan tanpa kode, Barthes sebenarnya menciptakan istilah yang berkontradiksi dengan formula dasar sistem semiotik yang selalu mengandaikan tiga unsur: sign, signifier, dan signified atau message, expression, dan content. Mengatakan bahwa ada pesan tanpa kode berarti sama saja mengatakan ada pesan tanda content, atau tanda tanpa signified.
Foto seni dan lukisan. Apakah hipotesis Barthes itu juga dapat diterapkan dalam foto seni atau lukisan (khususnya lukisan naturalis)? Bukankah dalam foto dan gambar semacam itu aspek simbolik atau konotatif lebih diutamakan? Pada prinsipnya, Barthes berpendapat bahwa pengalaman paradoks dan real unreality juga dapat ditemukan disana. Memang harus diakui bahwa aspek simbolik lebih kuat daripada aspek literer. Akan tetapi, foto seni dan lukisan tidak pernah dapat menghilangkan karakteristik pesan literer sebagai pesan tanpa kode.
Foto berita sebagai informasi bukan seni. Bukankah kini juga ada foto seni sehingga kedudukan foto ini lebih mirip dengan lukisan dari pada foto berita? Barthes tidak menyangkal hal ini. Tapi harus diingat bahwa untuk kepentingan berita orang akan memasang foto berita dan bukan foto seni. Foto dibuat untuk kepentingan informasi, untuk mempresentasikan isi berita sedekat mungkin. Oleh karena itu foto dibuat tanpa dualitas pesan. Foto berita tidak dibuat secara artistik atau tidak dipandang sebagai foto seni melainkan foto berita. Sebagai foto berita, dia harus memberikan gambaran sepersis mungkin (verism), memberikan pesan selangsung mungkin tanpa membuat orang mempersoalkan kedudukannya sebagai analogon fakta yang sebenarnya.
2. Kode dalam Foto: Ciri-ciri dan Hakikatnya
Gambar sebagai bahasa. Kalau gambar dapat memberikan makna konotasi, gambar itu harus mempunyai denotasi. Akan tetapi, seperti sudah kita lihat, denotasi gambar adalah analogon, semacam replika langsung dari signified atau apa yang digambarkan. Jadi, kita tidak mempunyai ruang untuk menafsirkannya.
Foto dalam sistem konotasi media cetak. Dari kutipan di atas Barthes percaya bahwa surat kabar (juga periklanan) menciptakan autonomous signifying system baru yang sebelumnya tidak ada. Untuk itu kita harus meneliti tanpa harus melakukan hipotesis-hipotesis.
Kode dalam foto. Seperti sudah disebutkan di muka, tanda-tanda dalam foto dipisahkan dari foto secara keseluruhan pengalaman melihat foto secara keseluruhan berupa: itu memang pernah terjadi (“it happened”). Dalam melihat foto, pengalaman itu “belun ada isinya”. Apa isi dari “itu”? Apa yang membuat saya tertarik pada suatu gambar? Pertanyaan ini mengantar kita untuk memeriksa secara rinci berbagai unsur yang mewujudkan foto tersebut seperti bentuk, gerak-gerik, warna, lighting, dan sebagainya.
Menulis dengan Bahasa Foto: Logo-teknis
Menulis dengan bahasa gambar. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan hakikat bahasa foto sebagaimana dilukiskan di atas, apa artinya “menulis” dengan bahasa foto? Dapatkah kata “menulis” dipakai disini? Sejauh ini menulis diartikan sebagai kegiatan untuk menghasilkan signifier dan signifeid pada sistem tanda tingkat pertama. Kalau tulisan seseorang-entah tulisan tangan atau dengan komputer – jelek, maka tak akan terpahami. Karena apa yang akan dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar adalah analogon, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode, artinya: tidak pada level denotatif. Oleh karena itu Barthes menggunakan istilah “prosedur denotatif”. Menulis tidak terjadi dalam sebuah camera obscura melainkan dalam camera lucida.
Teknik menulis dengan bahasa gambar. Dalam “The Photographic Masage” Barthes menyebut enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan “menulis” karena pada  hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut.
Pose. Cara kedua ialah melalui gaya atau posisi (pose). Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih posisi objek yang sedang diambil. (Dalam perkembangan pemikiran Barthes tentang fotografi, konsep pose menduduki posisi amat penting!) Foto berita Habibie yang sedang meneguk air putih di tengah-tengah pidatonya dalam Sidang MPR yang khidmat, misalnya, memberikan pesan konotatif: presiden kami adalah seorang presiden yang “humanis”, tidak angker, jauh dari kekakuan militeristik. Pesan semacam ini dapat muncul karena ada kode presiden kami selama ini adalah presiden yang formal.
Memilih objek. pesan konotatif juga dapat dilakukan lewat pemilihan objek-objek di sekitarnya. Objek-objek ini ibarat “perbendaharaan kata” yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Dari sisi ini, pemilihan objek dapat membantu menciptakan imajinasi sintagmatik. Dari sisi lain, objek juga dapat dipakai untuk membangun imajinasi paradigmatik sejauh aspek yang ditonjolkan dari objek tersebut adalah kekuatan untuk menunjuk objek lain.
Seks. Kritik orang terhadap seks kadang mengesankan bahwa seks tidak boleh dijadikan kreativitas, objek imajinasi, termasuk objek kreativitas dalam iklan. Dalam sejarah seni, misalnya lukis dan sastra, seks menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kreativitas. Karena sifatnya yang mendasar, seks menjadi pilihan hampir semua iklan untuk alat persuasi. Persoalan muncul ketika para pemirsa tidak dapat melindungi diri dari persuasi tersebut.
Ketakutan. Di samping seks, ketakutan juga sangat dominan. Seperti halnya seks, ketakutan menjadi objek imajinasi. Ketakutan berarti perasaan tidak aman, hilang, tidak menjadi seseorang. Ketakutan berarti menyentuh soal bahaya. Ketakutan absolut adalah ketakutan akan mati, yaitu ketakutan akan ketiadaan absolut.
Keintiman. Keintiman dalam iklan meliputi manusia baik dalam keluarga maupun persahabatan. Naluri ini lebih sulit dibangkitkan karena harus dipelajari. Biasanya keintiman dibuat lewat bahaya eks-komunikasi dalam sebuah pergaulan. Iklan McDonald, seperti diteliti Jack Solomon, menggunakan keintiman keluarga sebagai basisnya.
Bintang dan idola. Tidak kalah penting dari ketiga naluri di atas adalah bintang atau idola. Orang butuh personifikasi nilai yang ditawarkan dalam iklan. Tak ada personifikasi yang lebih menghipnotis daripada bintang atau idola. Lewat foto idola, kita tidak hanya melihat “this has been” melainkan juga “he/she has been”. Juga! Kata “juga” seringkali sudah dieksplisitkan lewat kata-kata. Bintang dan idola tidak hanya berlaku dalam iklan namun juga dalam koran.
Iklan: antara seni dan promosi. Sebagai promosi, iklan seolah menjanjikan kepuasan senikmat kepuasan seksual, menjanjikan keamanan dari rasa takut, menjanjikan keintiman, dan mendekatkan kita dengan idola kita. Logo-teknik menulis – dalam arti menciptakan stimuli – di atas ketiga naluri dasar manusia ini. Bahasa iklan merupakan sebuah komunikasi yang agresif. Komunikasi promosional harus bisa memaksa (baik secara halus atau langsung) pembaca untuk mengubah perilaku, gaya hidup, dan akhirnya menjadi konsumen setia.
3. Sistem Campuran: Teks dan Gambar
Teks. Foto berita atau iklan biasanya tidak pernah berdiri sendiri. Selain gambar, kita juga menemukan tulisan yang berfungsi menjelaskan atau memberi komentar pada foto tersebut. Keberadaan foto ini membuat foto menjadi sistem yang kompleks, yaitu sistem yang terdiri dari dua sistem atau lebih dengan substansi yang berbeda.
Fungsi teks. Dalam Camera Lucida, Barthes mengatakan bahwa “foto tidak dapat mengatakan apa yang saya lihat.” Pernyataan ini berlawanan dengan apa yang kita alami ketika kita melihat foto; bahkan berlawanan dengan pengalaman Barthes, karena buku Camera Lucida tidak lain adalah hasil pengalamannya memandang foto-foto kesayangannya! Pernyataan ini dapat kita pahami secara terbalik: foto membuat kita dapat mengatakan apa saja tentang apa yang kita lihat. Atau, pernyataan itu dapat dipahami karena foto hanya bilang: “Lihat, itu sudah terjadi.”
Foto sebagai dokumen, naturalisasi. Dalam surat kabar atau iklan, foto ada untuk berita, foto ada untuk promosi. Hubungan keberadaan foto ini diungkapkan lewat teks. Karena fungsi surat kabar adalah memberikan atau memberitakan informasi, fungsi teks adalah dokumenter atau evidential. Artinya, foto docere (membuktikan) atau memberikan documentatio (bukti) pada apa yang ditulis.
Teks dalam iklan: retorika. Pada prinsipnya, fungsi teks dalam iklan sama dengan fungsi teks dalam berita. Hanya saja, dalam iklan fungsi teks harus dilihat dari fungsi sistem iklan secara keseluruhan, yaitu sebuah komunikasi untuk persuasi. Dalam iklan, kedudukan teks lebih rumit dan bervariasi. Ada teks yang berfungsi sebagai caption seperti dalam koran, ada juga teks yang menjadi bagian dari gambar itu sendiri.
Kesimpulan. Fungsi teks dalam foto membatasi dan mempercepat pesan. Teks tidak dapat dan tidak pernah dapat keluar dari makna denotatif, teks adalah metabahasa dan pemaknaannya bersifat parasit terhadap foto.
4. Membaca Foto
Kebiasaan melihat foto. Di hadapan sebuah foto, kata Barthes dalam Camera Lucida, dia sering merasa sebagai orang yang terpenjara oleh kekuatannya yang dahsyat. Paling tidak itu pengalaman Barthes dalam merefleksikan koleksi fotonya yang ia anggap bisa mengguncang batinnya. Dalam praktiknya, khususnya berhadapan dengan foto berita atau foto iklan, pengalaman semacam itu kiranya jarang kita temukan. Sebaliknya, yang terjadi adalah bahwa kita melihat foto dua atau tiga detik, kemudian kita membaca artikel berita yang bersangkutan, atau, dalam hal iklan, kita ingin tahu foto itu dipakai untuk iklan produk apa.
Membaca. Sekarang kita sampai pada persoalan yang paling rumit dan tidak menarik, yaitu membaca foto. Foto terlalu kuat untuk dibaca, karena dengan membaca kita harus melakukan tawar-menawar dengan foto. Semakin kita mengamati foto, semakin kita terperangkap oleh pesonanya. Barthes bahkan mengakui bahwa sudah terlalu banyak karya dan teori yang menjadi korban dari kedahsyatan foto. Foto tidak memberikan ruang bagi kita untuk berbeda pendapat.
Semiotika positiva: tahap-tahap membaca foto. Dalam “The Photographic Message” Barthes mengajukan tiga tahap dalam membaca foto: perspektif, kognitif, dan etis-ideologis. Tahap perseptif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal; jadi semacam verbalisasi gambar.
Foto iklan. Dalam foto iklan, gejala studium kita alami saat kita bersedia barang sejenak memperhatikan foto suatu iklan. Kita uji untuk berkomunikasi dengan lembaga iklan tentang kebutuhan-kebutuhan yang sudah diteliti dengan seksama dan diungkapkan seapik mungkin lewat logo-teknik. Kita mengaplikasikan kode-kode yang kita miliki untuk mengurai pesan foto iklan.
Animasi. Dari punctum yang menimbulkan rasa mourning itu kita mengawali perjalanan kita. Kali ini foto mendatangi kita – adveniens. Foto menyorot ke arah kita dan itu membuat kita mendatangi foto. Bukan hanya saya memandang foto melainkan foto memandang saya. Tiba-tiba foto menjadi hidup. Terjadi animasi: foto mempunyai jiwa, anima.
Desire. Foto tidak hanya memberikan amusement melainkan juga menimbulkan dorongan kuat (desire) untuk menemukan keapaan foto itu. di hadapan foto, kita masih percaya bahwa foto bukan hanya menyangkut hal-hal yang sudah terjadi. Lewat punctum, kita menemukan tempat yagn pas untuk desire kita; foto lalu menyediakan kairos of my desire. Ini penyucian desire.
5. Realisme Fotografis dalam Budaya Media
Foto dalam budaya media. Dengan istilah budaya media dimaksudkan budaya yang lahir dan berkembang lewat media massa atau teknologi informasi baru (new technology of information) atau media baru (new media). Kini juga dipakai istilah budaya media baru (new media culture). Dalam uraian di atas kita melihat fungsi unik dari foto sebagai salah satu bentuk representasi – fungsi yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk lain seperti tulisan dan film (sekalipun film mengambil bahan dasarya dari foto).
Domestikasi kekuatan foto. Kehadiran foto dalam media dipandang Barthes sebagai bentuk domestikasi atau penjinakan kekuatan “gila” dari foto. “Photography is dangerous” kata Barthes. Oleh karena itu foto harus dijinakkan. Bukankah kita dapat mengatakan sebaliknya? Foto mempunyai kekuatan luar biasa (gila) maka foto dipakai oleh media? Jinaknya foto bukanlah merupakan tujuan dari pemakaian foto dalam media, melainkan akibat (yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh media).
Iklan dan stereotipe. Gejala stereotipisasi yang menjinakkan foto paling jelas kita temukan dalam foto iklan, karena tujuan iklan adalah menciptakan stereotipe. Pilihan foto dan cara mengombinasikannya dengan teks merupakan sebuah seni tersendiri sehingga bisa menghasilkan stereotipe secepatnya dan seluas-luasnya serta bertahan selama mungkin.
Budaya iklan. Hakikat dan corak komunikasi promosional ini menempatkan iklan sebagai budaya. Iklan mempunyai syarat memadai untuk menjadi budaya. Karena kepentingan iklan adalah konsumsi, budaya yang dihasilkan dapat kita sebut budaya konsumsi atau budaya promosional. Konflik kepentingan di masyarakat konsumen dan masyarakat produsen juga melahirkan persaingan antara-para konsumen. Budaya iklan bukan hanya melahirkan jor-joran melainkan melegitimasi jor-joran.
6. Gejala Nekrokultura (Budaya Kematian) dalam Foto Media
Nekrokultura. Secara harafiah, nekrokultura berarti budaya kematian. Istilah ini dipakai untuk menunjuk gejala dalam media dimana kematian – dalam berbagai bentuknya – dihadirkan. Barthes sendiri tidak pernah menggunakan istilah nekrokultura atau budaya kematian. Dia banyak berbicara tentang budaya fantasi. Akan tetapi, menarik diperhatikan bahwa ketika berbicara tentang foto, kematian menduduki tempat sentral.
Nekrokultura dalam trauma fotografis. Untuk mendekati konsep kematian dan maknanya dalam pemikiran Barthes, tak ada konsep yang paling mudah kita pakai kecuali konsep trauma, entah itu trauma linguistik atau trauma fotografis. Dalam tulisan-tulisannya – baik yang muncul pada periode struktural maupun sesudahnya – Barthes selalu memberikan tempat khusus untuk berbicara tentang trauma atau ketakutan. Kalau budaya adalah komunikasi, dan komunikasi adalah praktik signification untuk menghasilkan makna, tak ada trauma yang lebih dahsyat kecuali saat kita gagal berkomunikasi, gagal menghasilkan signification lewat objek yang kita harapkan untuk itu. kematian berarti saat kita tidak bisa memberikan makna. Di hadapan kematian, kita harus memilih: menyerah atau mengalahkannya. Kita harus memilih. Dari pilihan-pilihan inilah akan lahir kreativitas, bentuk komunikasi yang tidak kita pakai sebelumnya.
Trauma sebagai kemiskinan kode. Seperti sudah diuraikan di atas, foto berita sudah selalu tampil sebagai konotasi. Kita tergoda untuk berbicara tentang denotasi foto berita hanya ketika kita mengalami kebuntuan. Benarkah apa yang saya saksikan itu? dengan kata lain, analogon atau replika realitas. Barthes menyebut situasi ini sebagai trauma fotografis.
Nekrokultura. Nekrokultura dapat kita pakai untuk melihat gejala budaya dalam era fotografi di masa image yang dihasilkan oleh foto tidak menimbulkan mourning. Kematian terasa datar – flat death. Nekrokultura adalah gejala budaya di mana orang puas dengan stereotipe, orang membiarkan orang lain (masyarakat atau media) berbicara atas nama saya.
Monumen. Adakah cara lain untuk membaca dan menciptakan foto selain cara imitatif, dengan stereotipe? Barthes tidak menjawabnya kecuali dalam konteks pengembangan subjek. Di hadapan suatu foto, kita dapat mengembangkan subjektivitas kita sejauh kita dapat menikmati foto sebagai monumen. Monumen (monumentum, menere; mengingat) fotografis adalah fungsi foto yang paling khas.
E. KENIKMATAN BAHASA IMAJINER
1. Wacana dan Fasisme Bahasa
Wacana – bahasa. Menggunakan kata wacana untuk saat ini sangat riskan. Keadaanya seperti ketika Saussure terpaksa menggunakan kata “sign”. Wacana berarti bukan tindakan – begitulah wacana dipakai sekarang. Dalam dunia teoretis, wacana juga kabur. Kata wacana mengalami nasib seperti kata budaya-loose. Secara teoritis dapat dibedakan dan dijelaskan akan tetai dalam analisis tidak memberikan janji apa-apa. Seperti sudah kita lihat dalam bab-bab sebelumnya, wacana biasanya dibedakan dari bahasa. Akan tetapi kerumitan penggunaan wacana ternyata – seperti dialami Barthes – berakar pada fakta bahwa wacana dan bahasa tidak dapat dipisahkan.
Fasisme kalimat (sintentia). Kekuasaan fasis bahasa kita temukan dalam kalimat (sintaks). Bentuk hubungan kalimat dan wacana/narasi mirip dengan hubungan antara pesan linguistik dan gambar yang sudah kita bicarakan di  muka. Kalimat dapat menaturalisasi budaya namun juga dapat menetralisasi “revelatory power” wacana. Analisis wacana yang dihindari Barthes adalah setiap bentuk analisis yang mempunyai kecenderungan menetralisasi kekuatan revelatif-kekuatan yang muncul dari efek kalimat namun tidak dapat direduksi ke dalam sintaks (rangkaian fonem yang ditata menurut hukum tertentu) atau hubungan sintetik. Akibatnya, analisis wacana – entah sadar atau tidak -  menempatkan kalimat sebagai satuan-satuan fasis bahasa.
Sastra. Adakah cara untuk mendekati kekuasaan fasis bahasa tanpa kita menjadi mangsa kekuasaan tersebut? Ada, yaitu sastra, kata Barthes, “memungkinkan kita memahami wicara di luar belanggu kekuasaan (outside the bounds of power) lewat pesona revolusi abadi bahasa,” karena sastra merupakan “muslihat yang menyembuhkan, strategi untuk menghindari, dan siasat yang dahsyat untuk mengelabuhi (salutary trickery, evasion, grand imposture).
Tiga fungsi sastra. Tiga fungsi ini adalah: mathesis, mimesis, dan semiosis. Fungsi mathesis adalah fungsi sastra untuk memberikan pengetahuan tentang kenyataan. Akan tetapi pengetahuan dari sastra pertama-tama bukan pengetahuan positivistik melainkan wilayah baru untuk diketahui (the possible area of knowledge); sastra tidak hanya “mematri kebenaran dan membuatnya sebagai fetis.” Sastra, singkatnya, bisa memberikan tema baru bagi wacana baru pula. Fungsi mimesis adalah fungsi untuk menghadirkan yang tidak mungkin dihadirkan, dan fungsi semiosis adalah fungsi sastra  untuk menghidupkan tanda (to act signs).
2. Teori Teks: Kamasutra Bahasa
Teori teks. Pembahasan Barthes tentang teks lebih kaya dan lebih menarik daripada pembahasannya tentang wacana. Wacana harus dibicarakan dalam konteks teks. Memang, di bidang ini pengaruh Barthes sangat kuat, khususnya di bidang seni. Dengan menelusuri gagasannya tentang teks kita juga melihat dengan jelas pergeseran pemikirannya dari semiotika positiva ke semiotika negativa. Seperti sudah dsebut di muka, pergeseran ini terjadi pada tahun 1970-an yang sudah ditandai dengan munculnya tulisan-tulisan yang lebih berfokus pada mistik bahasa daripada sibuk mencari struktur teks atau karya.
Teks imajiner. Dengan memahami indefinite deferment sebagaimana dijelaskan di atas, kita kini tahu bahwa “jangan gegabah” juga bukan berarti ada banyak signifieds sehingga kita perlu menunda dulu sebelum menentukan signified yang paling cocok dengan signifier yang kita hadapi. Infinite deferment bukan sebuah logika untuk mencari signified alternatif melainkan logika untuk menciptakan signifier secara tak terbatas.
Plural. Pluralitas teks tidak terletak pada makna (meaning) atau signified, signification suatu teks, melainkan pada “stereographic plurality of its weave of signifiers. Maksudnya, pluralitas tidak tergantung pada apa yang ditunjuk atau nilai tukar teks, melainkan pada kemungkinan untuk “memotong” dan “menjahit” hasil potongan-potongan itu menjadi jalinan baru. Teks sesungguhnya adalah cuplikan-cuplikan (“quotations without inverted commas”). Teks disebut teks teks (teks artinya jalinan) karena dia hasil dari suatu anyaman (fabrication). Hubungan antara potongan satu dengan yang lain itulah yang selama ini disebut difference.
3. Nikmatnya Kematian Author
Kematian author. Barthes berpendapat bahwa teks selalu ditulis “sekarang dan disini”, teks tidak mempunyai masa lalu, teks – bukan seperti buku – tidak mempunyai ayah-ibu. Teks tidak mempunyai asal-muasal (origin) kecuali bahasa itu sendiri.
Desakralisasi lembaga sastra. Pandangan Barthes tentang author melengkapi langkahnya untuk menggoyahkan atau sebagaimana dilihat Foucault – mendesakralisasikan lembaga sastra. Foucault sendiri kurang berminat menganalisis karya-karya sastra. Baginya, wacana sastra hanya merupakan “a point of rest, a halt, a blazon, a flat”. Meskipun demikian ia sangat menghargai apa yang dilakukan Barthes (dan Blanchot) dengan sastra. Kunci sakralitas sastra terletak pada anggapan bahwa sastra merupakan ekspresi seorang author, seorang author menjadi prinsip pemersatu suatu tulisan, oleh karena itu sastra harus dibaca sesuai dengan keinginan author (intentio auctoris). Analisis sastra tidak berbeda dengan analisis teo-logis dalam arti mencari sabda (logos) dari pengarang (author-teos).
4. Tinjauan Ulang Teori Mitos
Krisis teori mitos. Mengikuti teorinya tentang teks, Barthes meninjau kembali teorinya tentang mitos yang sudah kita bahasa dalam Bab III. Sejauh ini teori mitos sebagai kritik ideologi merupakan sumbangan teoritis Barthes yang sangat berharga (karena sangat sistematik dan komprehensif) dalam kritik budaya media. Teori mitos dapat dirumuskan ke dalam empat hipotesis: (a) mitos adalah semacam “representasi kolektif” Durkheimian, (b) mitos menaturalisasikan budaya (sejarah), (c) mitos zaman sekarang lebih banyak berupa “wacana” (“discourse”) daripada kisah panjang, dan (d) mitos zaman sekarang masuk dalam bidang kajian semiotika.
Tujuan analisis mitos: hesitation. Kalau dalam analisis tekstual kita berbicara tentang deferment, konsep serupa juga dipakai dalam analisis mitos. Hanya saja disini Barthes menekankan aspek besitation dalam analisis tekstual atau mitis. Secara khusus, analisis ini ia pakai untuk membaca teks mitis. Secara khusus, masyarakat konsumen (“They mythological tissue of a mass consumer society”). Hal ini mengasumsikan bahwa dinamika suatu masyarakat konsumen didukung oleh suatu teks mitis yang berfungsi sebagai sistem pemakanan dan cara untuk berbicara (a type of speech).

http://www.sastrajawa.com/kritik-sastra-feminis-resume-teori-feminis/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar